Friday, November 22, 2024
25.7 C
Jayapura

Sahkan RUU PKS, Jangan Tunggu Hingga Perempuan Habis

JAYAPURA-Kekerasan terhadap perempuan mulai dari pemerkosaan ataupun pelecehan seksual yang sering terjadi di Indonesia khususnya di Papua, mendorong Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) mendesak DPR RI untuk  segera mengesahkan Rancangan Undang undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Data Cenderawasih Pos, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2021 yang ditangani Satuan Reskrim Polresta Jayapura Kota yakni, sebanyak 38 kasus KDRT, 35 kasus kekerasan terhadap anak, 14 kasus pencabulan, 4 kasus pemerkosaan dan 18 kasus persetubuhan.

Direktur LBH Apik Nur Aida Duwila menyampaikan, tingkat kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan dan anak masih terus terjadi di Papua. Belum lama ini di Timika, oknum tokoh agama melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Sementara di Jayapura, dua oknum TNI melakukan pemerkosaan terhadap seorang perempuan.

Dengan maraknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual, Nona sapaan akrabnya menilai tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda disahkannya RUU PKS. “Sejak dulu kami mendesak agar RUU PKS segera disahkan, kami mendukung statmen presiden bahwa perlindungan terhadap perempuan itu dengan mensahkannya RUU PKS,” kata Nona kepada Cenderawasih Pos, Kamis (6/1).

Baca Juga :  Akan Dorong Unmus Buka Fakultas Kedokteran

Lanjut Nona, korban pemerkosaan ataupun pelecehan seksual tidak saja menginginkan pelaku diproses hukum, melainkan juga butuh pemulihan. Sebagaimana RUU PKS isinya tentang bagaimana korban dalam  proses penegakan hukum dan juga dalam proses pemulihan psikososialnya.

“Desakan masyarakat terutama kami pemerhati perempuan yang selalu mendampingi anak dan perempuan, berharap RUU PKS segera disahkan, tidak ada alasan lain. Ketika RUU lainnya bisa disahkan, kenapa RUU PKS seakan tidak mau disahkan. Ini semakin menimbulkan pertanyaan kenapa RUU PKS belum juga diketok palu,” tegas Nona.

Malah kata Nona, beberapa elemen dalam RUU PKS dipangkas. Seakan menandakan pemerintah takut sekali dengan RUU PKS. Padahal, ketika RUU PKS disahkan. Banyak cara yang digunakan untuk melindungi korban, bagaimana pemulihan korban, apa saja yang dilakukan pemerintah untuk korban dan ada tugasnya LSM.

“Apakah mau menunggu sampai perempuan habis, atau memang sengaja mau dihabiskan dengan tidak disahkannya RUU PKS. Sepertinya, perempuan sekedar dianggap objek, bukan subjek hukum. Perempuan dianggap warga negara nomor dua, sehingga itu kekerasan  terhadap perempuan sering terjadi,” tutur Nona.

Baca Juga :  Ini Pesan Mendagri Untuk Lima Penjabat Kepala Daerah yang Baru Dilantik

Dikatakan Nona, pihaknya sering kesulitan untuk memproses hukum pelaku pelecehan seksual atau pemerkosaan. Terlebih, jika para pelaku punya kekuasaan. Sementara dilain sisi, korban justru mendapatkan bullying dan victim blaming dari masyarakat ataupun lingkungannya.

“Korban pemerkosaan ataupun pelecehan seksual, kerap kali disudutkan, mendapatkam bullying hingga victim blaming. Masyarakat bukannya memberi dukungan terhadap korban, malah menyalahkan korban. Padahal, korban butuh pemulihan psikososial,” ucap Nona.

Sekedar diketahui, RUU PKS bertujuan untuk melindungi hak hak korban yang selama ini tidak diperdulikan. RUU ini juga bisa menegakkan keadilan dan memberikan proses hukum bagi kasus kasus kekerasan terhadap perempuan.

Adapun urgensi pengesahan RUU PKS yakni angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan bagi perempuan korban, tidak adanya system pemidanaan dan penindakan terhadap  beberapa jenis kekerasan seksual selama ini, korban dan keluarga  akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. (fia/nat)

JAYAPURA-Kekerasan terhadap perempuan mulai dari pemerkosaan ataupun pelecehan seksual yang sering terjadi di Indonesia khususnya di Papua, mendorong Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) mendesak DPR RI untuk  segera mengesahkan Rancangan Undang undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Data Cenderawasih Pos, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2021 yang ditangani Satuan Reskrim Polresta Jayapura Kota yakni, sebanyak 38 kasus KDRT, 35 kasus kekerasan terhadap anak, 14 kasus pencabulan, 4 kasus pemerkosaan dan 18 kasus persetubuhan.

Direktur LBH Apik Nur Aida Duwila menyampaikan, tingkat kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan dan anak masih terus terjadi di Papua. Belum lama ini di Timika, oknum tokoh agama melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Sementara di Jayapura, dua oknum TNI melakukan pemerkosaan terhadap seorang perempuan.

Dengan maraknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual, Nona sapaan akrabnya menilai tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda disahkannya RUU PKS. “Sejak dulu kami mendesak agar RUU PKS segera disahkan, kami mendukung statmen presiden bahwa perlindungan terhadap perempuan itu dengan mensahkannya RUU PKS,” kata Nona kepada Cenderawasih Pos, Kamis (6/1).

Baca Juga :  Hakim Tipikor Batal Bacakan Vonis Lukas Enembe

Lanjut Nona, korban pemerkosaan ataupun pelecehan seksual tidak saja menginginkan pelaku diproses hukum, melainkan juga butuh pemulihan. Sebagaimana RUU PKS isinya tentang bagaimana korban dalam  proses penegakan hukum dan juga dalam proses pemulihan psikososialnya.

“Desakan masyarakat terutama kami pemerhati perempuan yang selalu mendampingi anak dan perempuan, berharap RUU PKS segera disahkan, tidak ada alasan lain. Ketika RUU lainnya bisa disahkan, kenapa RUU PKS seakan tidak mau disahkan. Ini semakin menimbulkan pertanyaan kenapa RUU PKS belum juga diketok palu,” tegas Nona.

Malah kata Nona, beberapa elemen dalam RUU PKS dipangkas. Seakan menandakan pemerintah takut sekali dengan RUU PKS. Padahal, ketika RUU PKS disahkan. Banyak cara yang digunakan untuk melindungi korban, bagaimana pemulihan korban, apa saja yang dilakukan pemerintah untuk korban dan ada tugasnya LSM.

“Apakah mau menunggu sampai perempuan habis, atau memang sengaja mau dihabiskan dengan tidak disahkannya RUU PKS. Sepertinya, perempuan sekedar dianggap objek, bukan subjek hukum. Perempuan dianggap warga negara nomor dua, sehingga itu kekerasan  terhadap perempuan sering terjadi,” tutur Nona.

Baca Juga :  NFRPB Minta Pemerintah Pusat Pikirkan Rakyat Non OAP

Dikatakan Nona, pihaknya sering kesulitan untuk memproses hukum pelaku pelecehan seksual atau pemerkosaan. Terlebih, jika para pelaku punya kekuasaan. Sementara dilain sisi, korban justru mendapatkan bullying dan victim blaming dari masyarakat ataupun lingkungannya.

“Korban pemerkosaan ataupun pelecehan seksual, kerap kali disudutkan, mendapatkam bullying hingga victim blaming. Masyarakat bukannya memberi dukungan terhadap korban, malah menyalahkan korban. Padahal, korban butuh pemulihan psikososial,” ucap Nona.

Sekedar diketahui, RUU PKS bertujuan untuk melindungi hak hak korban yang selama ini tidak diperdulikan. RUU ini juga bisa menegakkan keadilan dan memberikan proses hukum bagi kasus kasus kekerasan terhadap perempuan.

Adapun urgensi pengesahan RUU PKS yakni angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan bagi perempuan korban, tidak adanya system pemidanaan dan penindakan terhadap  beberapa jenis kekerasan seksual selama ini, korban dan keluarga  akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya