JAYAPURA – Adanya statemen dari salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten Jayapura yang menyinggung soal kesehatan Gubernur Papua yang tak fit untuk memimpin Papua sehingga meminta pemerintah pusat mencarikan penggantinya memantik tanggapan balik dari keluarga gubernur.
Mereka tidak terima dan menganggap statemen ini tak mendasar dan hanya menimbulkan kegaduhan. Bahkan keluarga Gubernur Lukas Enembe yang diwakili oleh Beny Kogoya ini menyampaikan bahwa pihak keluarga merasa dilecehkan dan meminta kepala suku atas nama Jackop ini meminta maaf.
“Kami ingin menyatakan bahwa di era demokrasi ini, kepala suku atau siapa saja boleh berbicara dan sah – sah saja namun di tahun yang baru dengan Natal tema nasional persaudaraan cinta kasih sehingga dan kami kaitkan dengan apa yang disampaikan oknum kepala suku ini justru membuat ketidaknyamanan,” kata Beny Kogoya didampingi beberapa rekannya saat memberikan keterangan pers di Entrop, Kamis (6/1).
Beny menyebut pernyataan tersebut blunder dan hanya menciptakan situasi daerah yang nyaman. Ia meminta para pihak tersebut meminta maaf, sebab gubernur saat ini ada di Singapura dan dalam kondisi sehat.
“Pernyataan ini sangat menyudutkan gubernur yang masih aktif bekerja. Ini sama seperti merongrong kinerja pemerintah yang ada saat ini. Kepala suku harus meminta maaf karena kesehatan adalah privasi dan hak asasi seseorang terkecuali gubernur sakit dan berhalangan tetap. Pernyataan yang membuat gaduh ini dampaknya jangan kemana – mana,” pintanya.
Lalu kata Beny, ormas yang berbicara harusnya ormas yang resmi. Bukan ormas yang dibuat sesaat untuk kepentingan tertentu. Ia meminta jika ingin berbicara politik sebaiknya dilakukan di tahun 2024, sebab saat ini adalah masa tenang untuk gubernur membangun Papua.
“Jangan menerka sesuai pikiran sendiri atau pikiran seseorang yang akhirnya menjatuhkan seseorang. Kalau merasa ada pembangunan yang kurang ya sampaikan secara arif, jangan justru menyinggung kesehatan seseorang, itu tak baik,” pungkasnya.
Senada disampaikan Paus Kogoya yang menyampaikan bahwa gubernur dipilih oleh rakyat dan ada undang – undang yang mengatur. Lalu jika tidak puas dengan pemerintahan maka itu sampaikan ke DPR bukan suara perseorangan.
“Rakyat punya perwakilan di pemerintahan. Ada DPR serta MRP dan mereka bisa mengoreksi kepemimpinan gubernur maupun OPD. Saya tokoh Lapago menolak penyampaian kepala suku itu. Harusnya kalau mau bicara kelapa suku bisa mengundang seluruh kepala suku yang ada di Papua. Jika semua setuju barulah dibawa sama – sama kepada pemerintah pusat. Tidak mudah memimpin Papua jadi jangan justru mengganggu pemerintahan yang ada dan menimbulkan kegaduhan,” cecarnya.
Ia mencatat Papua sudah dipimpin oleh 13 gubernur namun baru Lukas Enembe yang membawa perubahan besar. “Nanti sudah turun barulah berlomba – lomba mengganti sebagai wujud menjaga demokrasi, jangan seperti ini caranya,” imbuhnya.
Senada disampaikan Yohanis Wanane, Sekretaris LSM Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Provinsi Papua. Ia menyampaikan bahwa yang menjadi tuntutan Forum Peduli Kemanusiaan dan Tokoh Adat Papua mendesak pemerintah pusat untuk mengganti gubernur adalah pernyataan yang keliru, menyesatkan dan berpotensi menimbulkan kegaduhan ditingkat akar rumput. Kata Yohanis pernyataan mendesak pemerintah menunjuk calon gubernur karena dalam keadaan sakit dan tidak menyebut alasannya. Tuntutan ini kabur namun mengatasnamakan peduli kemanusiaan dan tokoh adat Papua.
“Pemerintah pusat harus melihat ini sebagai aspirasi kelompok kombatan dan kelompok yang tidak didukung masyarakat secara umum. Kami mendukung upaya pemulihan gubernur dan sepatutnya tidak disinggung sebab kesehatan adalah hal privat. Pisahkan ranah adat dan ranah politik atau pemerintahan sebab gubernur akan tetap memimpin hingga batas waktunya jadi jangan bawa kondisi pribadi untuk kepentingan politik,” sindirnya.
Terakhir Yan Wenda selaku Ketua Fraksi Demokrat di DPR Tolikara menjelaskan bahwa setelah tugas gubernur berakhir disitulah ada pemilihan. Jadi terkait apa yang disampaikan pihak tersebut menurut Yan seharusnya tokoh tersebut memahami aturan. “Saya katakan tokoh adat itu tidak paham. Tidak memberi contoh yang baik kepada generasi penerus. Apa yang disampaikan orang tua ini sangat memalukan. Sebab kalau bicara adat ya silakan tapi ini bicara seorang gubernur dan itu hak politik yang diberikan oleh masyarakat di 29 kabupaten/kota. Pemerintah pusat juga tidak punya hak memberhentikan tanpa aturan,” tegasnya.
Ia mencontohkan kursi Wagub yang kosong namun pemerintah pusat tidak bisa mengangkat seenaknya melainkan melewati mekanisme. “Kalau katakan berikan waktu hingga Maret itu sangat memalukan. Jangan mengkotak-kotakkan orang Papua dan kalau mau maju nanti tunggu tahun 2024. Jangan bicara tapi tidak paham aturan karena hanya memalukan. Lalu soal melaporkan ketua PB PON jika ada bukti lengkap ya silahkan saja, jangan justru membuang isu yang tidak dimiliki bukti,” pungkasnya. (ade/nat)