Thursday, April 18, 2024
32.7 C
Jayapura

Ikhtiar Membangun Papua Melalui Jalan Budaya

Bupati Mathius Awoitauw ketika melaunching buku Kembali ke Kampung Adat di Suni Garden Lake Hotel & Resort, Selasa (5/1). ( FOTO: Robert Mboik/Cepos)

Bupati Mathius Awoitauw Luncurkan Buku “Kembali ke Kampung Adat”

SENTANI-Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw,SE, M.Si., secara resmi melaunching buku  dengan judul “Kembali ke Kampung Adat”. Kegiatan itu bertempat di Suni Garden Lake Hotel & Resort, Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (5/1).

Buku setebal 180 halaman tersebut ditulis oleh Bupati Mathius Awoitauw dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Mathius Awoitauw mengungkapkan, awal mula muncul gagasan menulis buku ini tidak terlepas dari pengalamannya selama  27 tahun di dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Pada kesempatan lain tentu saja ketika memimpin Kabupaten Jayapura pada periode pertama dan saat ini masuk periode yang kedua.

“Tampaknya ada benang merah, ketika akhirnya saya merefleksikan secara sangat mendalam praktek pembangunan yang ada di tanah Papua selama puluhan tahun. Bukan saja pembangunan dalam arti tata kelola pemerintahan dan masyarakat, tetapi terutama pembangunan manusia Papua. Dengan kata lain ada yang ‘hilang’ dari seluruh perjalanan orang Papua selama bertahun-tahun. Akhirnya saya temukan itu dalam tercerabutnya anak-anak Papua dari akar budayanya. Sehingga bicara tentang kampung adat sebenarnya adalah bicara tentang bagaimana mengembalikan sesuatu yang hilang dari orang-orang Papua,” kata Mathius saat launching buku, Selasa (5/1).

Dikatakan, gagasan “Kembali ke Kampung Adat” merupakan bentuk restorasi pembangunan di Papua.

Bagi Mathius, praktek dan pola pembangunan yang ada di Papua selama ini makin membuat anak-anak Papua terasing dari akar budayanya sendiri. Artinya, ada pola pembangunan selama ini yang cukup sistematis yang menyebabkan anak-anak Papua menjadi terasing dari budayanya sendiri. 

Bupati Jayapura Mathius Awoitauw bersama pihak terkait  ketika memberikan keterangan pers usai kegiatan bedah buku “Kembali ke kampung adat,” di Suni Garden Lake Hotel & Resort, Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (5/1). ( FOTO: Robert Mboik/Cepos)

“Sementara dalam banyak pengalaman saya, kebetulan saya adalah juga anak kepala suku, sedikit banyak mengerti bagaimana akar budaya orang Papua justru menjadi sumber nilai dalam seluruh tatanan kehidupannya. Jika itu dipraktekan secara konsisten justru mampu menjawab seluruh tantangan kehidupan orang Papua pada zaman modern saat ini,” tegas Ketua DPW Partai NasDem Provinsi Papua ini. 

Berdasarkan pengalamannya sejak awal merintis Program Kampung Adat di Kabupaten Jayapura, sambutan masyarakat luar biasa. Adanya gagasan kembali ke kampung adat seakan menjadi jawaban atas kerinduan masyarakat selama ini yang tidak diberi tempat dalam pembangunan. Sekaligus gagasan kembali ke kampung adat merupakan tawaran pembangunan yang relevan dengan situasi Papua saat ini.
“Saya tegaskan dalam buku ini bahwa bahwa praktek pembangunan di Papua selama ini sebenarnya adalah praktek penaklukan atas alam dan atas orang-orang Papua,” tegasnya.

Sementara dalam kacamata masyarakat adat Papua, alam dan manusia adalah satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan. Dalam budayanya, manusia Papua hidup menyatu dengan alam dan mereka bertugas menjaga alamnya. “Itulah juga faktanya, dalam kearifan adat Papua, adalah tugas seorang ondoafi atau ondofolo untuk memastikan alam yang memberi dia hidup tetap terjaga dan terawat dengan baik,” jelas Mathius.

Baca Juga :  Pulau Mansinam Akan Dipadati 15 Ribu Lebih Orang

Lanjut Mathius, dalam kacamata masyarakat adat, kehidupan sosial, politik dan ekonomi akan tetap berkelanjutan jika seluruh masyarakat merawat alam dan lingkungannya. Dengan kata lain gagasan tentang kesatuan manusia dengan alam lingkungannya sangat relevan dengan masalah ekologi, termasuk di Papua.

Gagasan ini menyadarkan manusia untuk menaruh hormat pada alam lingkungan dan melestarikannya. “Maka tentu saja prinsip ini tentu berlawanan dengan mentalitas teknologis yang selama ini mendominasi pembangunan. Termasuk di Papua, yang telah menguras sumber alam secara kasar, serakah, dan membahayakan kelestarian lingkungan hidup. Di sinilah peran masyarakat adat itu sangat besar dan luar biasa,” katanya.
Terkait pembangunan yang selama ini berjalan di Papua diakuinya  di tengah ambisi pemerintah untuk memajukan tanah Papua, terdapat masyarakat adat Papua yang terpinggirkan, serta alam yang rusak parah. Bukan hanya itu, proyek-proyek penebangan kayu, perkebunan skala besar, pertambangan, dan berbagai proyek di Papua hanya menguntungkan segelintir orang, yakni pemilik modal dan para birokrat. 

“Karena itu, gagasan mengembangkan kampung adat ini adalah bagian dari upaya saya mengembalikan jati diri masyarakat adat di seluruh Papua. Solusi untuk Papua adalah solusi budaya yaitu mengembalikan jatidiri masyarakat adat. Ini jauh lebih penting dari semua solusi yang lain,” tegasnya.

Menurut Mathius, bagian penting lain dari buku ini  adalah idenya untuk menggali ke dalam akar budaya segala macam soal yang selama ini melilit orang-orang Papua. 

Bagi Mathius, gagasan kampung adat sebagai gerakan pembangunan di tanah Papua yang merupakan jalan budaya yang harus dilakukan di seluruh Papua. Sekaligus sebagai antitesis dari berbagai pembangunan yang selama ini sudah dilakukan di Papua. 

“Dengan kata lain pembangunan fisik maupun sosial budaya orang asli Papua di tanah Papua seharusnya disesuaikan dengan nilai budaya, hukum adat, norma, dan aturan budaya orang Papua. Agar rencana pembangunan tersebut dapat didukung dengan potensi alam dan kondisi sosial budaya masyarakat asli Papua,” jelasnya.
Bukan hanya itu budaya juga bisa menjadi jalan bagi pengelolaan konflik yang tepat. Karena bisa mencegah agresi sosial sebagai akibat dari pelbagai keluhan yang terakumulasi sekian puluh tahun. Dengan jalan budaya, kata dia ada cukup ruang berkembang bagi penduduk asli Papua di tingkat akar rumput dan bagian lainnya dari masyarakat madani di Papua.

“Dan bagi saya, kampung adat memungkinkan semua upaya-upaya ini bisa dilakukan. Karena dalam ruang adat itu masyarakat bisa berbicara secara jujur tentang dirinya, dan dari sana mereka memiliki kepercayaan diri akan nilai-nilainya sendiri untuk hidup,” ungkapnya.
Gagasan kembali ke kampung adat menurutnya merupakan terjemahan terbaik Otsus.

Baca Juga :  TNI/Polri Ditempatkan di Daerah Rawan KKB

Ditegaskan pula, secara filosofis, di balik kekhususan otonomi khusus Papua, sesungguhnya apa yang dilakukan di Kabupaten Jayapura inilah yang menjadi terjemahan terbaiknya. Apalagi jika diterjemahkan dalam wadah yang disebut dengan kampung adat, maka di sanalah terjemahan yang tepat dari filosofi kekhususan itu.

“Dalam refleksi saya selama memimpin Kabupaten Jayapura, pendekatan pembangunan politik dan pembangunan budaya ini menjadi sangat relevan ketika kita berbicara tentang Papua yang berdaya di masa depan. Papua ini kaya adat dan budayanya, dan di sanalah sebenarnya kita menemukan jawaban yang sejati dan benar tentang soal-soal yang selama ini melilit orang-orang Papua,” beber Mathius. 

Dikatakan Mathius, bahwa gagasan kampung adat adalah sebuah upaya untuk mengembalikan wajah Papua yang sudah lama hilang. 

Dalam catatan Mathius problem yang selama ini terjadi adalah hilangnya wajah dan jati diri orang Papua. Siapa orang Papua, saat ini tidak dikenali lagi. “Bayangkan, kehilangan jati diri adalah kehilangan tentang seluruh keberadaan kehidupan. Dengan hilangnya identitas, maka siapa pun tentu akan tidak kuat berdiri. Dalam kondisi tak berdaya, tentu tidak ada pilihan lain, mereka menyerah kalah, mereka tersudutkan, terpinggirkan, dan inilah situasi Papua hari-hari ini. Meretas Kampung Adat adalah meretas sebuah jalan untuk membantu anak-anak Papua menemukan jalan kembali kepada jatidiri atau identitas asali mereka; sebuah perjalanan pulang kembali pada akar, kembali menemukan Siapa Diri Mereka sebenarnya,” katanya.

Point penting lain menurut Mathius adalah Gagasan Kembali ke Kampung Adat sebenarnya menjawab arti merdeka desungguhnya. “Utamanya bagi saya, pengembangan kampung adat, yang pertama dan utama adalah jalan yang membantu masyarakat Papua kembali ke dalam rumah mereka sendiri yaitu rumah jati diri Papua. Memang, ini bukan satu-satunya cara dan jalan. Tetapi patut menjadi tawaran solusi di tengah pelik dan kompleksnya persoalan Papua yang seakan tak pernah tuntas. Sekali lagi, Papua selama ini banyak didiskusikan tetapi jarang memberi solusi. Diskusi soal Papua selalu diseret pada persoalan politik yang pelik tetapi kita lupa soal utama di depan mata, yaitu jalan budaya yang justru mengatasi segala rumit dan peliknya soal politik Papua. Bahkan jauh saya merenung, gagasan kampung adat yang berupaya mengembalikan identitas dan jatidiri asli anak-anak Papua sebenarnya adalah jalan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya,”bebernya.

Bagi MAthius, arti merdeka sesungguhnya atas penemuan identitas asli dan merdeka karena diakui harkat dan martabatnya. “Merdeka karena mampu menggali dari dalam akar budaya sendiri segala solusi atas masalah yang selama ini dihadapi,” pungkasnya.(roy/nat)

Bupati Mathius Awoitauw ketika melaunching buku Kembali ke Kampung Adat di Suni Garden Lake Hotel & Resort, Selasa (5/1). ( FOTO: Robert Mboik/Cepos)

Bupati Mathius Awoitauw Luncurkan Buku “Kembali ke Kampung Adat”

SENTANI-Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw,SE, M.Si., secara resmi melaunching buku  dengan judul “Kembali ke Kampung Adat”. Kegiatan itu bertempat di Suni Garden Lake Hotel & Resort, Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (5/1).

Buku setebal 180 halaman tersebut ditulis oleh Bupati Mathius Awoitauw dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Mathius Awoitauw mengungkapkan, awal mula muncul gagasan menulis buku ini tidak terlepas dari pengalamannya selama  27 tahun di dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Pada kesempatan lain tentu saja ketika memimpin Kabupaten Jayapura pada periode pertama dan saat ini masuk periode yang kedua.

“Tampaknya ada benang merah, ketika akhirnya saya merefleksikan secara sangat mendalam praktek pembangunan yang ada di tanah Papua selama puluhan tahun. Bukan saja pembangunan dalam arti tata kelola pemerintahan dan masyarakat, tetapi terutama pembangunan manusia Papua. Dengan kata lain ada yang ‘hilang’ dari seluruh perjalanan orang Papua selama bertahun-tahun. Akhirnya saya temukan itu dalam tercerabutnya anak-anak Papua dari akar budayanya. Sehingga bicara tentang kampung adat sebenarnya adalah bicara tentang bagaimana mengembalikan sesuatu yang hilang dari orang-orang Papua,” kata Mathius saat launching buku, Selasa (5/1).

Dikatakan, gagasan “Kembali ke Kampung Adat” merupakan bentuk restorasi pembangunan di Papua.

Bagi Mathius, praktek dan pola pembangunan yang ada di Papua selama ini makin membuat anak-anak Papua terasing dari akar budayanya sendiri. Artinya, ada pola pembangunan selama ini yang cukup sistematis yang menyebabkan anak-anak Papua menjadi terasing dari budayanya sendiri. 

Bupati Jayapura Mathius Awoitauw bersama pihak terkait  ketika memberikan keterangan pers usai kegiatan bedah buku “Kembali ke kampung adat,” di Suni Garden Lake Hotel & Resort, Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (5/1). ( FOTO: Robert Mboik/Cepos)

“Sementara dalam banyak pengalaman saya, kebetulan saya adalah juga anak kepala suku, sedikit banyak mengerti bagaimana akar budaya orang Papua justru menjadi sumber nilai dalam seluruh tatanan kehidupannya. Jika itu dipraktekan secara konsisten justru mampu menjawab seluruh tantangan kehidupan orang Papua pada zaman modern saat ini,” tegas Ketua DPW Partai NasDem Provinsi Papua ini. 

Berdasarkan pengalamannya sejak awal merintis Program Kampung Adat di Kabupaten Jayapura, sambutan masyarakat luar biasa. Adanya gagasan kembali ke kampung adat seakan menjadi jawaban atas kerinduan masyarakat selama ini yang tidak diberi tempat dalam pembangunan. Sekaligus gagasan kembali ke kampung adat merupakan tawaran pembangunan yang relevan dengan situasi Papua saat ini.
“Saya tegaskan dalam buku ini bahwa bahwa praktek pembangunan di Papua selama ini sebenarnya adalah praktek penaklukan atas alam dan atas orang-orang Papua,” tegasnya.

Sementara dalam kacamata masyarakat adat Papua, alam dan manusia adalah satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan. Dalam budayanya, manusia Papua hidup menyatu dengan alam dan mereka bertugas menjaga alamnya. “Itulah juga faktanya, dalam kearifan adat Papua, adalah tugas seorang ondoafi atau ondofolo untuk memastikan alam yang memberi dia hidup tetap terjaga dan terawat dengan baik,” jelas Mathius.

Baca Juga :  Venue Sudah Siap Sambut PON

Lanjut Mathius, dalam kacamata masyarakat adat, kehidupan sosial, politik dan ekonomi akan tetap berkelanjutan jika seluruh masyarakat merawat alam dan lingkungannya. Dengan kata lain gagasan tentang kesatuan manusia dengan alam lingkungannya sangat relevan dengan masalah ekologi, termasuk di Papua.

Gagasan ini menyadarkan manusia untuk menaruh hormat pada alam lingkungan dan melestarikannya. “Maka tentu saja prinsip ini tentu berlawanan dengan mentalitas teknologis yang selama ini mendominasi pembangunan. Termasuk di Papua, yang telah menguras sumber alam secara kasar, serakah, dan membahayakan kelestarian lingkungan hidup. Di sinilah peran masyarakat adat itu sangat besar dan luar biasa,” katanya.
Terkait pembangunan yang selama ini berjalan di Papua diakuinya  di tengah ambisi pemerintah untuk memajukan tanah Papua, terdapat masyarakat adat Papua yang terpinggirkan, serta alam yang rusak parah. Bukan hanya itu, proyek-proyek penebangan kayu, perkebunan skala besar, pertambangan, dan berbagai proyek di Papua hanya menguntungkan segelintir orang, yakni pemilik modal dan para birokrat. 

“Karena itu, gagasan mengembangkan kampung adat ini adalah bagian dari upaya saya mengembalikan jati diri masyarakat adat di seluruh Papua. Solusi untuk Papua adalah solusi budaya yaitu mengembalikan jatidiri masyarakat adat. Ini jauh lebih penting dari semua solusi yang lain,” tegasnya.

Menurut Mathius, bagian penting lain dari buku ini  adalah idenya untuk menggali ke dalam akar budaya segala macam soal yang selama ini melilit orang-orang Papua. 

Bagi Mathius, gagasan kampung adat sebagai gerakan pembangunan di tanah Papua yang merupakan jalan budaya yang harus dilakukan di seluruh Papua. Sekaligus sebagai antitesis dari berbagai pembangunan yang selama ini sudah dilakukan di Papua. 

“Dengan kata lain pembangunan fisik maupun sosial budaya orang asli Papua di tanah Papua seharusnya disesuaikan dengan nilai budaya, hukum adat, norma, dan aturan budaya orang Papua. Agar rencana pembangunan tersebut dapat didukung dengan potensi alam dan kondisi sosial budaya masyarakat asli Papua,” jelasnya.
Bukan hanya itu budaya juga bisa menjadi jalan bagi pengelolaan konflik yang tepat. Karena bisa mencegah agresi sosial sebagai akibat dari pelbagai keluhan yang terakumulasi sekian puluh tahun. Dengan jalan budaya, kata dia ada cukup ruang berkembang bagi penduduk asli Papua di tingkat akar rumput dan bagian lainnya dari masyarakat madani di Papua.

“Dan bagi saya, kampung adat memungkinkan semua upaya-upaya ini bisa dilakukan. Karena dalam ruang adat itu masyarakat bisa berbicara secara jujur tentang dirinya, dan dari sana mereka memiliki kepercayaan diri akan nilai-nilainya sendiri untuk hidup,” ungkapnya.
Gagasan kembali ke kampung adat menurutnya merupakan terjemahan terbaik Otsus.

Baca Juga :  Grebek Markas KKB, 22 Orang Diamankan

Ditegaskan pula, secara filosofis, di balik kekhususan otonomi khusus Papua, sesungguhnya apa yang dilakukan di Kabupaten Jayapura inilah yang menjadi terjemahan terbaiknya. Apalagi jika diterjemahkan dalam wadah yang disebut dengan kampung adat, maka di sanalah terjemahan yang tepat dari filosofi kekhususan itu.

“Dalam refleksi saya selama memimpin Kabupaten Jayapura, pendekatan pembangunan politik dan pembangunan budaya ini menjadi sangat relevan ketika kita berbicara tentang Papua yang berdaya di masa depan. Papua ini kaya adat dan budayanya, dan di sanalah sebenarnya kita menemukan jawaban yang sejati dan benar tentang soal-soal yang selama ini melilit orang-orang Papua,” beber Mathius. 

Dikatakan Mathius, bahwa gagasan kampung adat adalah sebuah upaya untuk mengembalikan wajah Papua yang sudah lama hilang. 

Dalam catatan Mathius problem yang selama ini terjadi adalah hilangnya wajah dan jati diri orang Papua. Siapa orang Papua, saat ini tidak dikenali lagi. “Bayangkan, kehilangan jati diri adalah kehilangan tentang seluruh keberadaan kehidupan. Dengan hilangnya identitas, maka siapa pun tentu akan tidak kuat berdiri. Dalam kondisi tak berdaya, tentu tidak ada pilihan lain, mereka menyerah kalah, mereka tersudutkan, terpinggirkan, dan inilah situasi Papua hari-hari ini. Meretas Kampung Adat adalah meretas sebuah jalan untuk membantu anak-anak Papua menemukan jalan kembali kepada jatidiri atau identitas asali mereka; sebuah perjalanan pulang kembali pada akar, kembali menemukan Siapa Diri Mereka sebenarnya,” katanya.

Point penting lain menurut Mathius adalah Gagasan Kembali ke Kampung Adat sebenarnya menjawab arti merdeka desungguhnya. “Utamanya bagi saya, pengembangan kampung adat, yang pertama dan utama adalah jalan yang membantu masyarakat Papua kembali ke dalam rumah mereka sendiri yaitu rumah jati diri Papua. Memang, ini bukan satu-satunya cara dan jalan. Tetapi patut menjadi tawaran solusi di tengah pelik dan kompleksnya persoalan Papua yang seakan tak pernah tuntas. Sekali lagi, Papua selama ini banyak didiskusikan tetapi jarang memberi solusi. Diskusi soal Papua selalu diseret pada persoalan politik yang pelik tetapi kita lupa soal utama di depan mata, yaitu jalan budaya yang justru mengatasi segala rumit dan peliknya soal politik Papua. Bahkan jauh saya merenung, gagasan kampung adat yang berupaya mengembalikan identitas dan jatidiri asli anak-anak Papua sebenarnya adalah jalan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya,”bebernya.

Bagi MAthius, arti merdeka sesungguhnya atas penemuan identitas asli dan merdeka karena diakui harkat dan martabatnya. “Merdeka karena mampu menggali dari dalam akar budaya sendiri segala solusi atas masalah yang selama ini dihadapi,” pungkasnya.(roy/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya