Thursday, April 18, 2024
29.7 C
Jayapura

Forkorus : Tak Ada Alasan Lagi, Indonesia Harus Membuka Diri

JAYAPURA –  Pemerintah Indonesia kembali diminta mempelajari persoalan hukum Internasional yang berkaitan dengan bangsa Papua. Indonesia menurut Presiden Negara Federal  Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yaboisembut sudah harus membuka diri untuk mengecek kembali status Papua saat ini. Membuka diri membahas pelaksanaan perundingan pengakuan dan peralihan kekuasaan kedaulatan penuh dari NKRI kepada NFRPB. Ini disampaikan Forkorus  lewat naskah yang dibacakan Onesimus Banundi selaku Ketua Dewan Nasional Papua (DNP) atau Ketua DPR nya NFRPB.

“Presiden NFRPB menyatakan bahwa West Papua telah dimasukkan melalui hukum dan dikeluarkan dari NKRI  melalui hukum Internasional. Diklaim sepihak telah bergabung dengan NKRI lewat New York Agreement pada 15 Oktober tahun 1962 namun ini diclearkan lewat deklarasi bangsa Papua pada Kongres Rakyat Papua III, 19 Oktober 2011 lalu,” kata Onesimus kepada wartawan di Abepura, Kamis (3/3) kemarin.

  Ia ketika itu didampingi beberapa pendukung yakni Daud Woria dari Teluk Wodama, Stevanus Robaha dan Yan Kumbubui dari Kepulauan Yapen. Onesimus menjelaskan bahwa lewat proses Trikora ketika itu presiden Ir Soekarno memerintahkan untuk menggagalkan pembentukan negara boneka atau Papua.

Padahal Papua seak 1 Desember 1961, Papua  sudah menyatakan sebagian kemerdekaannya. New York Agreement dianggap sebagai perjanjian sepihak antara Indonesia dan Belanda namun pada 19 Oktober 2011 lewat deklarasi bangsa Papua Barat telah menyatakan kemerdekaan penuh dan  meminta NFRPB harus dikeluarkan dari Indonesia melalui hukum Internasional karena ini (deklarasi) satu proses untuk membentuk suatu negara. “Mengapa dikatakan dimasukkan melalui hukum dan dikeluarkan dari NKRI lewat hukum internasional. New York Agreement ini membuat Papua dimasukkan secara sepihak namun kembali dikeluarkan pada kongres rakyat Papua II pada 19 Oktober,” jelas Onesimus.

Baca Juga :  Tiga Kepala Kampung Ikut Diamankan Saat Penggrebekan Markas KKB 

Beberapa negara di kawasan pacific pelan – pelan juga menunjukkan simpatinya. Disini Forkorus sampaikan terimakasih kepada  pejabat perdana menteri Fiji yang  mengeluarkan statemen lewat diplomatnya bahwa Fiji mengambil pendekatan multilateral  untuk isu – isu mengenai West Papua yang telah berjuang untuk kemerdekaan dari Indonesia. “Itu disampaikan pejabat perdana mentee, Sayed Khaiyum yang menyampaikan posisi pemerintah Fiji adalah membantu menegakkan  menegakkan aturan hukum internasional,” beber Onesimus.

Presiden Forkorus lanjut Onesimus berpesan agar Indonesia membuka diri membahas perundingan sebab tak ada kata  lain untuk menghindar. “Hari ini ratusan orang Indonesia di Ukraina semua sibuk menyelamatkan. Lalu bagaimana dengan sekitar 6 juta penduduk Indonesia yang ada di Papua dan jika tidak lewat perundingan  kemudian terjadi ada intervensi internasional maka ia harus segera berfikir soal penduduknya,” singgungnya.

Baca Juga :  Tewas, Korban Laka Pertama di Awal Tahun

Ia meminta pemerintah Indonesia kembali mempelajari deklarasi yang dilakukan pada 19 Oktober bahwa itu adalah satu syarat sah untuk mendapatkan pengakuan dan usai kongres terjadi penyerangan dan menewaskan beberapa orang warga sipil. “Penyerangan terjadi karena dibacakannya deklarasi kemerdekaan bangsa Papua  dan ini menjadi bukti sentral adanya sengketa hukum aneksasi wilayah kedaulatan politik atas wilayah Nederlands Nieuw Guinea. Itu tak bisa dibantah oleh pihak manapun dan ketika itu ada 2 anggota penjaga tanah Papua (petapa) dan seorang mahasiswa yang juga tertembak dan tewas,” beber Banundi.

Ditambahkan bahwa persoalan sengketa hukum aneksasi kedauatan politik bangsa Papua saat ini menjelma menjadi 3 persoalan yaitu pertama persoalan otonomi khusus, kedua persoalan adanya beberapa kelompok orang asli Papua  yang menolak Otsus dan meminta referendum dan ketiga adalah deklarasi sepihak  kemerdekaan bangsa Papua. “Meski ada 3 persoalan namun persoalan bangsa Papua yang dianeksasi pada1 Mei 1963 melaui  New York Agreement pada 15 Oktober 1962 ini yang menjadi masalah sehingga Indonesia tak bisa menghindar lagi, harus membuka diri,” tutupnya. (ade)

JAYAPURA –  Pemerintah Indonesia kembali diminta mempelajari persoalan hukum Internasional yang berkaitan dengan bangsa Papua. Indonesia menurut Presiden Negara Federal  Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yaboisembut sudah harus membuka diri untuk mengecek kembali status Papua saat ini. Membuka diri membahas pelaksanaan perundingan pengakuan dan peralihan kekuasaan kedaulatan penuh dari NKRI kepada NFRPB. Ini disampaikan Forkorus  lewat naskah yang dibacakan Onesimus Banundi selaku Ketua Dewan Nasional Papua (DNP) atau Ketua DPR nya NFRPB.

“Presiden NFRPB menyatakan bahwa West Papua telah dimasukkan melalui hukum dan dikeluarkan dari NKRI  melalui hukum Internasional. Diklaim sepihak telah bergabung dengan NKRI lewat New York Agreement pada 15 Oktober tahun 1962 namun ini diclearkan lewat deklarasi bangsa Papua pada Kongres Rakyat Papua III, 19 Oktober 2011 lalu,” kata Onesimus kepada wartawan di Abepura, Kamis (3/3) kemarin.

  Ia ketika itu didampingi beberapa pendukung yakni Daud Woria dari Teluk Wodama, Stevanus Robaha dan Yan Kumbubui dari Kepulauan Yapen. Onesimus menjelaskan bahwa lewat proses Trikora ketika itu presiden Ir Soekarno memerintahkan untuk menggagalkan pembentukan negara boneka atau Papua.

Padahal Papua seak 1 Desember 1961, Papua  sudah menyatakan sebagian kemerdekaannya. New York Agreement dianggap sebagai perjanjian sepihak antara Indonesia dan Belanda namun pada 19 Oktober 2011 lewat deklarasi bangsa Papua Barat telah menyatakan kemerdekaan penuh dan  meminta NFRPB harus dikeluarkan dari Indonesia melalui hukum Internasional karena ini (deklarasi) satu proses untuk membentuk suatu negara. “Mengapa dikatakan dimasukkan melalui hukum dan dikeluarkan dari NKRI lewat hukum internasional. New York Agreement ini membuat Papua dimasukkan secara sepihak namun kembali dikeluarkan pada kongres rakyat Papua II pada 19 Oktober,” jelas Onesimus.

Baca Juga :  Di Nduga, 4 Warga Meregang Nyawa

Beberapa negara di kawasan pacific pelan – pelan juga menunjukkan simpatinya. Disini Forkorus sampaikan terimakasih kepada  pejabat perdana menteri Fiji yang  mengeluarkan statemen lewat diplomatnya bahwa Fiji mengambil pendekatan multilateral  untuk isu – isu mengenai West Papua yang telah berjuang untuk kemerdekaan dari Indonesia. “Itu disampaikan pejabat perdana mentee, Sayed Khaiyum yang menyampaikan posisi pemerintah Fiji adalah membantu menegakkan  menegakkan aturan hukum internasional,” beber Onesimus.

Presiden Forkorus lanjut Onesimus berpesan agar Indonesia membuka diri membahas perundingan sebab tak ada kata  lain untuk menghindar. “Hari ini ratusan orang Indonesia di Ukraina semua sibuk menyelamatkan. Lalu bagaimana dengan sekitar 6 juta penduduk Indonesia yang ada di Papua dan jika tidak lewat perundingan  kemudian terjadi ada intervensi internasional maka ia harus segera berfikir soal penduduknya,” singgungnya.

Baca Juga :  Hindari Kelelahan, KPU Batasi Jam Kerja KPPS

Ia meminta pemerintah Indonesia kembali mempelajari deklarasi yang dilakukan pada 19 Oktober bahwa itu adalah satu syarat sah untuk mendapatkan pengakuan dan usai kongres terjadi penyerangan dan menewaskan beberapa orang warga sipil. “Penyerangan terjadi karena dibacakannya deklarasi kemerdekaan bangsa Papua  dan ini menjadi bukti sentral adanya sengketa hukum aneksasi wilayah kedaulatan politik atas wilayah Nederlands Nieuw Guinea. Itu tak bisa dibantah oleh pihak manapun dan ketika itu ada 2 anggota penjaga tanah Papua (petapa) dan seorang mahasiswa yang juga tertembak dan tewas,” beber Banundi.

Ditambahkan bahwa persoalan sengketa hukum aneksasi kedauatan politik bangsa Papua saat ini menjelma menjadi 3 persoalan yaitu pertama persoalan otonomi khusus, kedua persoalan adanya beberapa kelompok orang asli Papua  yang menolak Otsus dan meminta referendum dan ketiga adalah deklarasi sepihak  kemerdekaan bangsa Papua. “Meski ada 3 persoalan namun persoalan bangsa Papua yang dianeksasi pada1 Mei 1963 melaui  New York Agreement pada 15 Oktober 1962 ini yang menjadi masalah sehingga Indonesia tak bisa menghindar lagi, harus membuka diri,” tutupnya. (ade)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya