“Kami sudah cek ternyata ada dari luar jadi tidak murni mahasiswa. Hanya menggunakan kampus biar disebut mahasiswa,” ungkap Kapolresta. Dari kericuhan ini polisi juga menembakkan gas air mata sehingga situasi sempat tegang apalagi tak hanya pendemo yang terkena luapan gas yang berefek perih tersebut melainkan aparat juga banyak yang berhamburan karena kondisi angin yang berputar sehingga dampak gas air mata ini mengena semua yang ada di lokasi saat itu.
Bahkan dua jam setelah kejadian efek dari gas air mata masih terasa. Untungnya kata Kapolres dari kejadian ini tak ada korban. “Tidak ada anggota kami yang terluka,” ungkap Fredrickus. Aparat kemudian berhasil memukul mundur massa ke dalam area Kampus Uncen Atas, dan arus lalu lintas di kawasan Waena tetap berjalan normal.
Karena gagal melakukan long march dan mendapat pengawalan ketat akhirnya massa yang berjumlah sekitar 100 orang ini memilih membacakan pernyataan sikap secara internal di area kampus. Ini dipimpin Kamus Bayage. Dalam pernyataan sikapnya, Solidaritas Peduli Uncen menyinggung sejarah politik Papua, mulai dari proklamasi kemerdekaan oleh Belanda pada 1 Desember 1961, Perjanjian New York (15 Agustus 1962), Roma Agreement, hingga pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang mereka nilai penuh manipulasi.
Mereka menegaskan, PBB, Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian yang dianggap tidak demokratis tersebut. Adapun 12 poin pernyataan sikap yang disampaikan, diantaranya; mendesak PBB, Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat bertanggung jawab atas manipulasi New York Agreement dan Roma Agreement.