SENTANI-Kapolres Jayapura, AKBP Fredrickus Maclarimboen mengakui sudah menerima pengajuan surat izin dari masyarakat terkait rencana aksi penolakan DOB dan Otsus yang rencananya akan digelar di Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (3/6).
“Untuk menyikapi selebaran isu terkait dengan aksi penolakan DOB dan Otsus, seperti sikap-sikap kami sebelumnya baik itu jilid pertama, kedua. Tetap kami pelajari semua permohonan dari mereka,” ujar Fredrickus Maclarimboen, di Sentani, Rabu (1/6).
Menurutnya apabila pengajuan aksi tersebut memenuhi syarat ataupun tidak memenuhi syarat akan tetap dijawab melalui surat resmi kepada pihak terkait.
Tentunya kata dia secara prinsip pihaknya akan melihat materi yang selama ini dilaksanakan selama dua kali aksi tersebut dilakukan, dimana pihaknya memastikan itu tidak sesuai dengan aturan atau konstitusi.
“Belum memenuhi syarat baik formil terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum,” bebernya.
Dikatakan, untuk menjaga suasana Kamtibmas di Kabupaten Jayapura pihaknya berkomitmen bahwa tidak diizinkan untuk melaksanakan aksi di Sentani. Sejauh ini Sentani hanya dijadikan sebagai titik kumpul saja tetapi tujuan dari penyampaian aspirasi ini dilakukan ke DPR Papua.
“Kami yang di Sentani menyikapi untuk tidak ada pergerakan massa menuju ke Jayapura,” tegasnya.
Untuk menyikapi situasi ini pihaknya juga sudah memberikan imbauan dalam bentuk meme melalui medsos. Yang intinya penanganan terhadap rencana aksi itu maka dia tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang pertama dan yang kedua.
“Surat pemberitahuan sudah masuk tetapi kita sedang mempelajari. Mungkin besok akan dijawab surat itu,” pungkasnya.
Sementara itu, Petisi Rakyat Papua, (PRP) kembali memberikan imbauan umum untuk aksi Nasional Petisi Rakyat Papua, Jumat (3/6).
Rencana aksi ini disampaikan kepada Cenderawasih Pos, melalui imbauan umum aksi Nasional Petisi Rakyat Papua pada 3 Juni melalui pesan WhatsApnya, Rabu, (1/6).
Dalam imbauan itu, Jubir PRP Jefry Wenda mengatakan pasca pengesahan UU Otonomi Khusus jilid II yang tercantum dalam UU No.2 tahun 2021 tentang Otonomi khusus, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengundang 9 bupati yang berasal dari wilayah pegunungan tengah Papua. Pertemuan yang digelar 14 Maret 2022 tersebut, mengagendakan persiapan pemekaran provinsi di Wilayah Papua khususnya Pegunungan Tengah. Pembahasan tersebut didasarkan pasal 76 UU Ayat 3, No. 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua.
“Tuntutan pemekaran Provinsi, sebelumnya disampaikan oleh beberapa elit politik di Papua dengan landasan: 1). SK Gubernur Papua Barat No. 125/72/3/2020 tentang pemekaran Provinsi Papua Barat Daya. 2). Deklarasi 4 Bupati (Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digul). 3). Deklarasi di Timika pada tanggal 4 februari 2021 meliputi Kab. Timika, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Nabire dan Puncak. 4). Permintaan ketua Asosiasi Pegunungan tengah Papua, Befa Yigibalom kepada presiden Jokowi di Jakarta,” katanya.
Dikatakan, keputusan sepihak Kementerian Dalam Negeri bersama elit-elit politik praktis di Papua menimbulkan protes masyarakat, yang kemudian melakukan aksi demonstrasi damai sejak Maret – Mei 2022.
Jefry Wenda mengklaim 26 wilayah menyatakan untuk menolak pemekaran wilayah dan Otonomi Khusus, yaitu: Jayapura, Wamena, Lanny Jaya, Nabire, Dogiyai, Paniai, Timika, Fak-fak, Kaimana, Sorong, Manokwari, Yahukimo, Biak, Serui, Merauke, Makassar, Maluku, Manado, Bali, Surabaya, Malang, Jember, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Bandung.
Beberapa wilayah mengalami represif dan intimidasi TNI-Polri dalam melakukan aksi demonstrasi damai. Hal ini menurutnya menunjukan penjajahan Indonesia di Papua dengan watak militer.
“Dengan segala macam kebijakan Jakarta yang berdampak pada ancaman genosida, ekosida secara sistematis dan terstruktur diatas tanah Papua, maka kami yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua mengeluarkan iimbauan aksi nasional. Kepada 122 organisasi gerakan akar rumput, pemuda mahasiswa dan rakyat Papua yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua serta 718.179 suara rakyat Papua yang telah menandatangani petisi yang tersebar di seluruh Papua dan Indonesia untuk segera mobilisasi umum menuju aksi nasional pada tanggal 3 Juni 2022 guna menolak kebijakan Jakarta di Papua tentang Otsus dan Pemekaran,” katanya.
Ia meminta kepada seluruh rakyat Papua yang ada di West Papua dan Indonesia untuk segera melibatkan diri dalam aksi nasional 3 Juni guna menolak segala bentuk produk hukum kebijakan kolonialisme–Indonesia yang hakikatnya untuk mempertahankan penjajahan di bumi West Papua.
“Kami mengimbau kepada saudara kami non-Papua (Amber) dari berbagai suku; Jawa, Madura, Batak, Toraja, bugis, NTT dsb, yang telah lama hidup di atas negeri tercinta West Papua dan telah menganggap diri bagian dari rakyat bangsa Papua untuk dapat berpsrtisipasi dalam rencana aksi serentak di seluruh bumi tercinta kita, West Papua.Kami mengimbau agar rakyat Papua untuk tidak terprovokasi dengan aksi atau program tandingan negara yang bertujuan untuk memecah belah kekuatan rakyat Papua,” pintanya.
Selain itu, kepada Dewan Gereja Papua (DGP), Koalisi Penegak Hukum dan HAM di Papua yang di dalamnya terdiri dari LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP Papua, PBH Cendrawsih, KPKC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan Jayapura, Elsham Papua, Walhi Papua, Yadupa Papua, LP3BH dll, untuk dapat mengadwoksi jalannya aksi nasional ini.
“Kami mengimbau kepada kepala Kepolisian Republik Indonesai di Papua, baik Polda Papua dan Papua Barat untuk dapat mengawal jalanya aksi nasional Petisi Rakyat Papua dengan tertib, aman dan damai serta mendesak bahawan untuk tidak merespon aksi demonstrasi tersebut secara membabi-buta. Petisi Rakyat Papua bertanggung jawab atas semua rangkaian aksi nasional yang akan dilaksanakan pada 3 Juni 2022,” tutupnya. (ade/bet/oel/nat)