JAYAPURA – Ketua Eksekutif United Liberation Movement Fot Wets Papua, (ULMWP) Benny Wenda mengatakan bahwa keprihatinannya yang mendalam atas rasis yang dilakukan Ormas dan Angota TNI di Surabaya bagi masyarakat Papua.
Selaku Ketua Eksekutif dan pemimpian politik Bangsa Papua dalam relesnya yang di terima Cenderawasih Pos Rabu, (21/8). Ia menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas situasi mahasiswa Papua di Indonesia khususnya di Malang dan Surabaya.
Ia mengatakan rasis yang dilakukan oknum Ormas dan angota TNI di Surabaya adalah kebiasaan lama yang terus di pupuk dan di terapkan bagi masyarakat Papua.
“Saya perlu menegaskan bahwa situasi yang dialami oleh mahasiswa Papua di Malang danSurabaya, merupakan gambaran kecil apa yang dipratekkan pemerintah Indonesia kepada bangsa Papua selama 56 tahun ini, sebagaimana juga pernah rakyat dan pemimpin Indonesia mengalaminya di zaman pemerintahan yang berkuasa sebelumnya,” katanya.
Kata Benny Reaksi dan Aksi rakyat Bangsa Papua di beberapa tempat di West Papua di Manokwari, Kota Sorong, Sorong Selatan, Jayapura, Kaimana, Bintuni, Serui, Biak, Merauke, Wamena, Nabire dan beberapa tempat lainnya West Papua merupakan reaksi spontanitas mereka dalam rangka membela harga diri dan martabat orang Papua sebagai manusia ciptaan Tuhan. Sehingga menurutnya aparat pemerintahan tidak perlu meresponnya dengan kekerasan.
Lanjutnya, Indonesia tidak perlu menghawatirkan tentang perjuangan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua. sebaliknya, ini sudah waktunya, sebagai kado Kemerdekaan Indonesia yang ke 74 memberikan pilihan kepada Rakyat West Papua untuk Menentukan Nasibnya sendiri.(oel/gin)
JAYAPURA – Niat Gubernur Papua, Lukas Enembe untuk memulangkan mahasiswa Papua yang kuliah di luar Papua khususnya dibeberapa provinsi mendapat dukungan dari tiga anggota DPR Papua, Nathan Pahabol, Radius Simbolon dan Emus Gwijangge.
Ketiganya berpendapat bahwa bila memang mahasiswa disana tak nyaman dan merasa terancam maka keinginan gubernur ini tepat. Namun untuk menindaklanjutinya ketiga anggota DPRP ini sepakah untuk dibentuk tim lebih dulu kemudian dilakukan pendataan dan penelusuran.
“Saya melihat itu sesuai dengan aspirasi orang tua dan mahasiswa sendiri. Cuma kami beri masukan agar lewat tim dan pendataan. Jangan sampai di Papua malah bingung mereka akan kemana dan malah menimbulkan masalah baru,” kata Sekretaris Komisi V DPRP, Nathan Pahabol melalui ponselnya, Rabu (21/8).
Pendataan dianggap penting karena mahasiswa yang menentukan masa depannya, jangan sampai berhenti kuliah pada semester akhir atau akhirnya di Papua tak ada jurusan yang sesuai atau bahkan tak ada kampus yang bisa menampung. “Kalau urusan pulang itu gampang saja yang penting jangan jadi masalah baru,” imbuhnya.
Radius juga berkomentar sama. Ia berpendapat perlu dilakukan pendataan lebih dulu dan memastikan keamanan mahasiswa Papua di luar. “Tidak apa-apa, ketimbang kuliah di luar tapi tidak aman mending kembali saja,” jelasnya.
Emus Gwijangga juga menuturkan hal serupa. Ia mengatakan pemerintah provinsi pasti ada pertimbangan khusus dari statemen tersebut. Namun Emus melihat bahwa pernyataan gubernur tersebut merupakan pernyataan spontan dan akan menjadi pilihan terakhir. “Saya pikir itu disampaikan karena situasi seperti sekarang tapi harus dibicarakan sama-sama dulu sebab ada banyak hal yang harus disiapkan bila akan dipulangkan,” katanya.
Disini yang terpenting kata Emus adalah bagaimana pemda setempat memberikan jaminan keamanan bagi anak-anak Papua yang kuliah di luar. Namun disini ketiganya juga sepakat bahwa keberadaan mahasiswa Papua di luar Papua juga perlu dievaluasi. Dicek waktu perkuliahannya sebab bila sudah belarut-larut tak lulus maka ini juga perlu dipertanyakan.
“Ini juga penting, kita perlu tahu apakah mereka kuliah benar atau tidak. Jangan sudah lewat dari semester 8 atau 10 tapi tidak lulus-lulus,” singgung Nathan
“Perlu evaluasi total baik orang tua, gereja dan pemerintah sebagai sumbr pendanaan, jangan terus bertahan tapi tidak kuliah dengan benar. Tapi jika kuliahnya benar dan merasa aman ya silahkan tetap tinggal,” jelas Nathan Pahabol. (ade/gin)