Soal Data 82 % Rakyat Papua Dukung Pemekaran yang Disebut Menkopolhukam
JAYAPURA-Mempertanyakan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD terkait klaim data 82% rakyat Papua mendukung pemekaran daerah otonomi baru, Majelis Rakyat Papua akan menyurati secara resmi Presiden Republik Indonesia dan Mahfud MD.
Ketua MRP Thimotius Murib mengatakan sebagai lembaga khusus di Provinsi Papua, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka pihaknya akan menyurati langsung soal data 82% tersebut agar di pertangungjawabkan.
“MRP akan menyurat resmi ke Presiden dan Menkopolhukam Mahfud MD untuk meminta pertanggungjawaban data terkait klaim 82% Rakyat Papua yang katanya mendukung pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua, supaya klaim ini jangan menjadi bola liar dan menimbulkan masalah di Papua,” kata Thimotius Murib di Jayapura, Sabtu, (9/5) lalu.
Murib mengatakan saat ini sumber daya manusia Papua tidak cukup dan tidak siap untuk menghadapi pemekaran Papua. Menurutnya, tidak ada juga jaminan bahwa tiga provinsi yang dibentuk melalui pemekaran Papua akan membuka kesempatan bekerja bagi Orang Asli Papua.
“Tidak ada partisipasi masyarakat Papua dalam pemekaran. Buktinya masyarakat asli Papua di 29 kabupaten dan kota di Papua terus melakukan penolakan terhadap pemekaran,” ujar Murib.
Murib menyampaikan Orang Asli Papua sebenarnya ada evaluasi yang menyeluruh atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun terakhir di mana evaluasi itu perlu dilakukan guna melihat sejauh mana penerapan Otsus berhasil atau gagal meningkatkan kesejahteran Orang Asli Papua. “Otonomi khusus harus evaluasi secara total dulu ,” katanya.
Ketua MRP juga menegaskan jika pembuat kebijakan tidak melibatkan OAP dalam keputusan-keputusan yang menyangkut Papua, maka dapat menimbulkan permasalahan serius.
“Saat bertemu Presiden Jokowi, MRP menyampaikan kepada Presiden bahwa cikal bakal dari kesalahan besar yang terjadi di Papua adalah perubahan kedua UU Otsus Tahun 2021 yang disahkan tanpa konsultasi dengan lembaga negara di Papua dan masyarakat sipil Papua. Oleh karenanya, rencana pembentukan DOB juga diteruskan oleh pemerintah secara sepihak,” ujar Timotius.
Timotius mengatakan jika Tiga UU DOB yang didorong oleh Mendagri dan Komisi II DPR RI merupakan mekanisme yang salah dan illegal karena merujuk asosiasi bupati yang tidak ada di UU Otsus. Karenanya Presiden dan pimpinan DPR RI perlu menunda keputusan tersebut dan mengoreksi tindakan Menteri terkait yang keliru membaca aturan.
“Ada empat alasan penting mengapa masyarakat Papua menolak DOB. Pertama, DOB masih dimoratoriumkan oleh pemerintah. Kedua, DOB provinsi lain dan daerah-daerah kabupaten di Papua tidak memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tinggi, sehingga secara fiskal akan sangat berketergantungan berat dengan pemerintah pusat, membebani APBN. Ketiga, sumber daya manusia yang berasal dari OAP hampir tidak ada atau sedikit, mayoritas adalah warga non-Papua. Yang terakhir aspirasi DOB bukan berasal dari akar rumput dan MRP sesuai UU” ujar Timotius. (oel/tri)