Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Bangun Rumah Belajar di Kosarek, Jalan Kaki Tujuh Hari Tujuh Malam dari Wamena

Kisah Putri Lulusan S2 Austria Bersama Sang Suami Adit yang Mengajar Anak-anak di Pedalaman Papua (Bagian-1)

Tinggalkan Hiruk Pikuk Kota Metropolitan, Tuhan Memanggil Mengabdi di Pelosok Papua. Kitnas Inesia dan suaminya bernama Adit rela meninggalkan hiryuk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Bagaimana pengabdian Putri bersama keluarganya di pedalaman Papua ? Berikut laporannya.

Laporan: Elfira, Jayapura

AWALNYA Cenderawasih Pos berkenalan dengan Putri Kitnas Inesia di jejarang sosial Facebook. Saat itu, Putri bersama suaminya Adit masih berada di pedalaman Papua, tepatnya Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.   

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan S2 University of Innsbruck, Austria bersama suaminya rela meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Perempuan yang biasa disapa Putri itu memilih menjadi guru misi di bawah Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) dan menjalankan pendidikan holistik di kampung terisolasi di pedalaman Papua.

Setelah janjian untuk bertemu, Cenderawasih Pos akhirnya bisa menemui Putri dan suaminya Adit di Pos SIL, Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3). Dalam pertemuan ini, Putri banyak bercerita tentang awal mula dirinya mengabdi di tanah Papua.

Kepada Cenderawasih Pos, putri mengaku  sudah tinggal di Papua sejak tahun 2008 silam. Kala itu, dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada anak-anak, sehingga ia berkesempatan mengamati kondisi pendidikan dan kesehatan manakala mengunjungi berbagai kabupaten dan distrik di Papua.

Putri bersama suami dan anak saat ditemui Cenderawasih Pos di SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Setelah itu, Putri melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Innsbruck, Austria. Usai merampungkan studinya tahun 2015, Putri memutuskan untuk menjadi guru di sebuah sekolah Kristen berstandar internasional di Distrik Bokondini, Kabupaten Tolikara. Dimana suaminya Adit menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.

Tiga tahun belakangan, Tuhan menggiring perjalanannya dan suami untuk membangun Rumah Belajar di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.

Kampung Kosarek tempat pasangan suami isteri ini membangun Rumah Belajar, berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo dan cukup jauh dari Dekai ibukota Kabupaten Yahukimo. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau.

Untuk menjangkaunya hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan pesawat misi. Namun, saat pertama kali menjangkau Kosarek, Putri bersama suaminya menempuhnya dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Di Kosarek memang sudah ada sekolah formal. Namun ketika pasang suami isteri ini datang, sudah belasan tahun sekolah tersebut tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh akan pendidikan. Situasi itu yang membawa Putri dan suaminya melayani di Kosarek sejak akhir 2018 silam.  “Tuhan memanggil kami untuk mengabdi di Kosarek, sejak dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan,” ucap perempuan lulusan Ilmu Komunikasi UI ini.

Sebelum memantapkan hati mengabdi di Distrik Kosarek, Yahukimo, Pasutri yang sudah dikarunia seorang putri ini melakukan ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung yang ada di Kabupaten Yahukimo pada akhir tahun 2017.

Perjalanan dari distrik ke distrik yang dilakukan pasangan muda ini adalah untuk merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu tempat mana yang Tuhan tunjukan kepada mereka untuk menyelenggarakan misi pendidikan Allah setelah sebelumnya melayani di Bokondini.

“Sebanyak 26 kampung termasuk Kosarek kami singgahi dalam kurun waktu 42 hari perjalanan di penghujung 2017 dan awal tahun 2018. Kami tidur dengan warga setempat sembari melihat kondisi pendidikan yang ada di setiap kampung yang kami singgahi. Kami ingin merasakan Tuhan mau memanggil kami ke tempat yang mana,” tutur ibu satu anak ini.

Usai melakukan perjalanan panjang di 26 kampung di Kabupaten Yahukimo, pasang suami isteri ini kembali ke Wamena dan berdoa kepada Tuhan untuk dikirim ke tempat yang Dia rencanakan.

Doa Putri dan suaminya didengarkan Tuhan. Tuhan mengirimkan seorang penghubung yakni misionaris penerjemah Alkitab yang kemudian menghubungkan mereka dengan gereja setempat saat itu.

Misionaris penerjemah Alkitab ini tahu bahwa anak-anak yang ada di Kosarek tidak bisa membaca. Lantas siapa yang akan membaca Alkitab jika proses belajar mengajar di sekolah tidak berjalan?

“Rupanya, misionaris ini sedari lama mendoakan agar ada orang yang terpanggil menjalankan literasi di tempat di mana mereka menerjemahkan Alkitab,” ucap Putri sembari tersenyum saat ditemui di kantor SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Tahun 2018, Putri dan suaminya memutuskan pindah dari sekolah Kristen di Bokondini ke Kosarek untuk merintis pelayanan pendidikan yang mulai dari awal.

Kepekaan sosiallah yang memotivasi Putri untuk mengabdi di Papua. Tuhan memberikannya hati yang sangat sensitif untuk hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, masalah pendidikan, kesehatan dan ketimpangan sosial. “Rasanya mau menangis jika melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial itu,” tuturnya dengan raut muka sedih.

Sejak tiba pertama kali di Papua hingga kini, bisa dibilang Provinsi Papua memiliki angka partisipasi kasar murid yang paling rendah. Kualitas pendidikannya juga jauh dibandingkan standar di provinsi lain.

Dari perjalananan yang dilakukannya bersama suami di Papua, Putri bisa melihat masih banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan dan kesehatan dengan baik. Itulah yang membuat hatinya terpanggil sejak awal untuk mengabdi di Papua.

“Pada akhirnya, apa yang kami lakukan ini bukan soal kemanusiaan semata. Melainkan ini adalah panggilan Tuhan. Papua adalah tempat di mana Tuhan memanggil saya untuk berlaku adil, berbelas kasih dan rendah hati,” tegasnya.

Setelah bertemu dengan anak-anak di pelosok Papua, Putri dan suami tidak lagi berpikir untuk mencari kesuksesan dan materi di kota besar. Bagi pasangan muda ini, semua itu tidak sebanding ketika melihat perkembangan dari murid-murid mereka.

“Ketika murid-murid saya mulai memahami Alkitab, bisa tahu membaca dan menghitung. Itu penghargaan yang tidak ternilai, yang tidak bisa diukur dengan uang,” ucapnya sembari tersenyum di kursi.

Sejak 2008 hingga saat ini, Putri mengaku tidak pernah sekalipun diganggu. Bahkan saat berjalan kaki dari distrik ke distrik, dari kampung ke kampung menyusuri hutan untuk bertemu dengan anak-anak. “Tuhan pelihara dan jaga saya. Orang-orang Papua menerima saya dengan sangat baik,” ucap Putri yang menemukan jodohnya di Papua.

Di Rumah Belajar Kosarek, jumlah peserta didik sebanyak 49 orang. Sebelumnya sempat sebanyak 80-an anak yang datang belajar. Mereka mengajarkan pendidikan holistik yang berjenjang dan anak-anak juga diajarkan mandiri sedari dini, lewat beternak dan berkebun. Bahkan kebun milik Rumah Belajar menjadi tempat dimana anak-anak bisa belajar menghitung dan membaca. (fia/nat)

Putri for Cepos

Putri saat mengajar anak-anak di Rumah Belajar Kosarek, di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo belum lama ini.

Elfira/Cepos

Putri bersama suami dan anak saat ditemui Cenderawasih Pos di SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Baca Juga :  Selain Genjot Sumber PAD, Pemerintah Pusat Diharap Cari Solusi Fiskal Papua

Kisah Putri Lulusan S2 Austria Bersama Sang Suami Adit yang Mengajar Anak-anak di Pedalaman Papua (Bagian-1)

Bangun Rumah Belajar di Kosarek, Jalan Kaki Tujuh Hari Tujuh Malam dari Wamena

Tinggalkan Hiruk Pikuk Kota Metropolitan, Tuhan Memanggil Mengabdi di Pelosok Papua

Kitnas Inesia dan suaminya bernama Adit rela meninggalkan hiryuk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Bagaimana pengabdian Putri bersama keluarganya di pedalaman Papua ? Berikut laporannya.

Laporan: Elfira, Jayapura

AWALNYA Cenderawasih Pos berkenalan dengan Putri Kitnas Inesia di jejarang sosial Facebook. Saat itu, Putri bersama suaminya Adit masih berada di pedalaman Papua, tepatnya Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.   

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan S2 University of Innsbruck, Austria bersama suaminya rela meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Perempuan yang biasa disapa Putri itu memilih menjadi guru misi di bawah Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) dan menjalankan pendidikan holistik di kampung terisolasi di pedalaman Papua.

Setelah janjian untuk bertemu, Cenderawasih Pos akhirnya bisa menemui Putri dan suaminya Adit di Pos SIL, Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3). Dalam pertemuan ini, Putri banyak bercerita tentang awal mula dirinya mengabdi di tanah Papua.

Kepada Cenderawasih Pos, putri mengaku  sudah tinggal di Papua sejak tahun 2008 silam. Kala itu, dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada anak-anak, sehingga ia berkesempatan mengamati kondisi pendidikan dan kesehatan manakala mengunjungi berbagai kabupaten dan distrik di Papua.

Setelah itu, Putri melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Innsbruck, Austria. Usai merampungkan studinya tahun 2015, Putri memutuskan untuk menjadi guru di sebuah sekolah Kristen berstandar internasional di Distrik Bokondini, Kabupaten Tolikara. Dimana suaminya Adit menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.

Tiga tahun belakangan, Tuhan menggiring perjalanannya dan suami untuk membangun Rumah Belajar di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.

Kampung Kosarek tempat pasangan suami isteri ini membangun Rumah Belajar, berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo dan cukup jauh dari Dekai ibukota Kabupaten Yahukimo. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau.

Untuk menjangkaunya hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan pesawat misi. Namun, saat pertama kali menjangkau Kosarek, Putri bersama suaminya menempuhnya dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Di Kosarek memang sudah ada sekolah formal. Namun ketika pasang suami isteri ini datang, sudah belasan tahun sekolah tersebut tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh akan pendidikan. Situasi itu yang membawa Putri dan suaminya melayani di Kosarek sejak akhir 2018 silam.  “Tuhan memanggil kami untuk mengabdi di Kosarek, sejak dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan,” ucap perempuan lulusan Ilmu Komunikasi UI ini.

Sebelum memantapkan hati mengabdi di Distrik Kosarek, Yahukimo, Pasutri yang sudah dikarunia seorang putri ini melakukan ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung yang ada di Kabupaten Yahukimo pada akhir tahun 2017.

Perjalanan dari distrik ke distrik yang dilakukan pasangan muda ini adalah untuk merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu tempat mana yang Tuhan tunjukan kepada mereka untuk menyelenggarakan misi pendidikan Allah setelah sebelumnya melayani di Bokondini.

“Sebanyak 26 kampung termasuk Kosarek kami singgahi dalam kurun waktu 42 hari perjalanan di penghujung 2017 dan awal tahun 2018. Kami tidur dengan warga setempat sembari melihat kondisi pendidikan yang ada di setiap kampung yang kami singgahi. Kami ingin merasakan Tuhan mau memanggil kami ke tempat yang mana,” tutur ibu satu anak ini.

Usai melakukan perjalanan panjang di 26 kampung di Kabupaten Yahukimo, pasang suami isteri ini kembali ke Wamena dan berdoa kepada Tuhan untuk dikirim ke tempat yang Dia rencanakan.

Doa Putri dan suaminya didengarkan Tuhan. Tuhan mengirimkan seorang penghubung yakni misionaris penerjemah Alkitab yang kemudian menghubungkan mereka dengan gereja setempat saat itu.

Misionaris penerjemah Alkitab ini tahu bahwa anak-anak yang ada di Kosarek tidak bisa membaca. Lantas siapa yang akan membaca Alkitab jika proses belajar mengajar di sekolah tidak berjalan?

“Rupanya, misionaris ini sedari lama mendoakan agar ada orang yang terpanggil menjalankan literasi di tempat di mana mereka menerjemahkan Alkitab,” ucap Putri sembari tersenyum saat ditemui di kantor SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Tahun 2018, Putri dan suaminya memutuskan pindah dari sekolah Kristen di Bokondini ke Kosarek untuk merintis pelayanan pendidikan yang mulai dari awal.

Kepekaan sosiallah yang memotivasi Putri untuk mengabdi di Papua. Tuhan memberikannya hati yang sangat sensitif untuk hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, masalah pendidikan, kesehatan dan ketimpangan sosial. “Rasanya mau menangis jika melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial itu,” tuturnya dengan raut muka sedih.

Sejak tiba pertama kali di Papua hingga kini, bisa dibilang Provinsi Papua memiliki angka partisipasi kasar murid yang paling rendah. Kualitas pendidikannya juga jauh dibandingkan standar di provinsi lain.

Dari perjalananan yang dilakukannya bersama suami di Papua, Putri bisa melihat masih banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan dan kesehatan dengan baik. Itulah yang membuat hatinya terpanggil sejak awal untuk mengabdi di Papua.

“Pada akhirnya, apa yang kami lakukan ini bukan soal kemanusiaan semata. Melainkan ini adalah panggilan Tuhan. Papua adalah tempat di mana Tuhan memanggil saya untuk berlaku adil, berbelas kasih dan rendah hati,” tegasnya.

Setelah bertemu dengan anak-anak di pelosok Papua, Putri dan suami tidak lagi berpikir untuk mencari kesuksesan dan materi di kota besar. Bagi pasangan muda ini, semua itu tidak sebanding ketika melihat perkembangan dari murid-murid mereka.

“Ketika murid-murid saya mulai memahami Alkitab, bisa tahu membaca dan menghitung. Itu penghargaan yang tidak ternilai, yang tidak bisa diukur dengan uang,” ucapnya sembari tersenyum di kursi.

Sejak 2008 hingga saat ini, Putri mengaku tidak pernah sekalipun diganggu. Bahkan saat berjalan kaki dari distrik ke distrik, dari kampung ke kampung menyusuri hutan untuk bertemu dengan anak-anak. “Tuhan pelihara dan jaga saya. Orang-orang Papua menerima saya dengan sangat baik,” ucap Putri yang menemukan jodohnya di Papua.

Di Rumah Belajar Kosarek, jumlah peserta didik sebanyak 49 orang. Sebelumnya sempat sebanyak 80-an anak yang datang belajar. Mereka mengajarkan pendidikan holistik yang berjenjang dan anak-anak juga diajarkan mandiri sedari dini, lewat beternak dan berkebun. Bahkan kebun milik Rumah Belajar menjadi tempat dimana anak-anak bisa belajar menghitung dan membaca. (fia/nat)

Elfira/Cepos

Putri bersama suami dan anak saat ditemui Cenderawasih Pos di SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Baca Juga :  Adopsi Empat Balita Asal Papua, Berharap Berguna Bagi Nusa dan Bangsa

Kisah Putri Lulusan S2 Austria Bersama Sang Suami Adit yang Mengajar Anak-anak di Pedalaman Papua (Bagian-1)

Bangun Rumah Belajar di Kosarek, Jalan Kaki Tujuh Hari Tujuh Malam dari Wamena

Tinggalkan Hiruk Pikuk Kota Metropolitan, Tuhan Memanggil Mengabdi di Pelosok Papua

Kitnas Inesia dan suaminya bernama Adit rela meninggalkan hiryuk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Bagaimana pengabdian Putri bersama keluarganya di pedalaman Papua ? Berikut laporannya.

Laporan: Elfira, Jayapura

AWALNYA Cenderawasih Pos berkenalan dengan Putri Kitnas Inesia di jejarang sosial Facebook. Saat itu, Putri bersama suaminya Adit masih berada di pedalaman Papua, tepatnya Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.   

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan S2 University of Innsbruck, Austria bersama suaminya rela meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Perempuan yang biasa disapa Putri itu memilih menjadi guru misi di bawah Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) dan menjalankan pendidikan holistik di kampung terisolasi di pedalaman Papua.

Setelah janjian untuk bertemu, Cenderawasih Pos akhirnya bisa menemui Putri dan suaminya Adit di Pos SIL, Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3). Dalam pertemuan ini, Putri banyak bercerita tentang awal mula dirinya mengabdi di tanah Papua.

Kepada Cenderawasih Pos, putri mengaku  sudah tinggal di Papua sejak tahun 2008 silam. Kala itu, dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada anak-anak, sehingga ia berkesempatan mengamati kondisi pendidikan dan kesehatan manakala mengunjungi berbagai kabupaten dan distrik di Papua.

Setelah itu, Putri melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Innsbruck, Austria. Usai merampungkan studinya tahun 2015, Putri memutuskan untuk menjadi guru di sebuah sekolah Kristen berstandar internasional di Distrik Bokondini, Kabupaten Tolikara. Dimana suaminya Adit menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.

Tiga tahun belakangan, Tuhan menggiring perjalanannya dan suami untuk membangun Rumah Belajar di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.

Kampung Kosarek tempat pasangan suami isteri ini membangun Rumah Belajar, berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo dan cukup jauh dari Dekai ibukota Kabupaten Yahukimo. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau.

Untuk menjangkaunya hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan pesawat misi. Namun, saat pertama kali menjangkau Kosarek, Putri bersama suaminya menempuhnya dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Di Kosarek memang sudah ada sekolah formal. Namun ketika pasang suami isteri ini datang, sudah belasan tahun sekolah tersebut tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh akan pendidikan. Situasi itu yang membawa Putri dan suaminya melayani di Kosarek sejak akhir 2018 silam.  “Tuhan memanggil kami untuk mengabdi di Kosarek, sejak dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan,” ucap perempuan lulusan Ilmu Komunikasi UI ini.

Sebelum memantapkan hati mengabdi di Distrik Kosarek, Yahukimo, Pasutri yang sudah dikarunia seorang putri ini melakukan ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung yang ada di Kabupaten Yahukimo pada akhir tahun 2017.

Perjalanan dari distrik ke distrik yang dilakukan pasangan muda ini adalah untuk merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu tempat mana yang Tuhan tunjukan kepada mereka untuk menyelenggarakan misi pendidikan Allah setelah sebelumnya melayani di Bokondini.

“Sebanyak 26 kampung termasuk Kosarek kami singgahi dalam kurun waktu 42 hari perjalanan di penghujung 2017 dan awal tahun 2018. Kami tidur dengan warga setempat sembari melihat kondisi pendidikan yang ada di setiap kampung yang kami singgahi. Kami ingin merasakan Tuhan mau memanggil kami ke tempat yang mana,” tutur ibu satu anak ini.

Usai melakukan perjalanan panjang di 26 kampung di Kabupaten Yahukimo, pasang suami isteri ini kembali ke Wamena dan berdoa kepada Tuhan untuk dikirim ke tempat yang Dia rencanakan.

Doa Putri dan suaminya didengarkan Tuhan. Tuhan mengirimkan seorang penghubung yakni misionaris penerjemah Alkitab yang kemudian menghubungkan mereka dengan gereja setempat saat itu.

Misionaris penerjemah Alkitab ini tahu bahwa anak-anak yang ada di Kosarek tidak bisa membaca. Lantas siapa yang akan membaca Alkitab jika proses belajar mengajar di sekolah tidak berjalan?

“Rupanya, misionaris ini sedari lama mendoakan agar ada orang yang terpanggil menjalankan literasi di tempat di mana mereka menerjemahkan Alkitab,” ucap Putri sembari tersenyum saat ditemui di kantor SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Tahun 2018, Putri dan suaminya memutuskan pindah dari sekolah Kristen di Bokondini ke Kosarek untuk merintis pelayanan pendidikan yang mulai dari awal.

Kepekaan sosiallah yang memotivasi Putri untuk mengabdi di Papua. Tuhan memberikannya hati yang sangat sensitif untuk hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, masalah pendidikan, kesehatan dan ketimpangan sosial. “Rasanya mau menangis jika melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial itu,” tuturnya dengan raut muka sedih.

Sejak tiba pertama kali di Papua hingga kini, bisa dibilang Provinsi Papua memiliki angka partisipasi kasar murid yang paling rendah. Kualitas pendidikannya juga jauh dibandingkan standar di provinsi lain.

Dari perjalananan yang dilakukannya bersama suami di Papua, Putri bisa melihat masih banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan dan kesehatan dengan baik. Itulah yang membuat hatinya terpanggil sejak awal untuk mengabdi di Papua.

“Pada akhirnya, apa yang kami lakukan ini bukan soal kemanusiaan semata. Melainkan ini adalah panggilan Tuhan. Papua adalah tempat di mana Tuhan memanggil saya untuk berlaku adil, berbelas kasih dan rendah hati,” tegasnya.

Setelah bertemu dengan anak-anak di pelosok Papua, Putri dan suami tidak lagi berpikir untuk mencari kesuksesan dan materi di kota besar. Bagi pasangan muda ini, semua itu tidak sebanding ketika melihat perkembangan dari murid-murid mereka.

“Ketika murid-murid saya mulai memahami Alkitab, bisa tahu membaca dan menghitung. Itu penghargaan yang tidak ternilai, yang tidak bisa diukur dengan uang,” ucapnya sembari tersenyum di kursi.

Sejak 2008 hingga saat ini, Putri mengaku tidak pernah sekalipun diganggu. Bahkan saat berjalan kaki dari distrik ke distrik, dari kampung ke kampung menyusuri hutan untuk bertemu dengan anak-anak. “Tuhan pelihara dan jaga saya. Orang-orang Papua menerima saya dengan sangat baik,” ucap Putri yang menemukan jodohnya di Papua.

Di Rumah Belajar Kosarek, jumlah peserta didik sebanyak 49 orang. Sebelumnya sempat sebanyak 80-an anak yang datang belajar. Mereka mengajarkan pendidikan holistik yang berjenjang dan anak-anak juga diajarkan mandiri sedari dini, lewat beternak dan berkebun. Bahkan kebun milik Rumah Belajar menjadi tempat dimana anak-anak bisa belajar menghitung dan membaca. (fia/nat)

Kisah Putri Lulusan S2 Austria Bersama Sang Suami Adit yang Mengajar Anak-anak di Pedalaman Papua (Bagian-1)

Tinggalkan Hiruk Pikuk Kota Metropolitan, Tuhan Memanggil Mengabdi di Pelosok Papua. Kitnas Inesia dan suaminya bernama Adit rela meninggalkan hiryuk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Bagaimana pengabdian Putri bersama keluarganya di pedalaman Papua ? Berikut laporannya.

Laporan: Elfira, Jayapura

AWALNYA Cenderawasih Pos berkenalan dengan Putri Kitnas Inesia di jejarang sosial Facebook. Saat itu, Putri bersama suaminya Adit masih berada di pedalaman Papua, tepatnya Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.   

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan S2 University of Innsbruck, Austria bersama suaminya rela meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Perempuan yang biasa disapa Putri itu memilih menjadi guru misi di bawah Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) dan menjalankan pendidikan holistik di kampung terisolasi di pedalaman Papua.

Setelah janjian untuk bertemu, Cenderawasih Pos akhirnya bisa menemui Putri dan suaminya Adit di Pos SIL, Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3). Dalam pertemuan ini, Putri banyak bercerita tentang awal mula dirinya mengabdi di tanah Papua.

Kepada Cenderawasih Pos, putri mengaku  sudah tinggal di Papua sejak tahun 2008 silam. Kala itu, dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada anak-anak, sehingga ia berkesempatan mengamati kondisi pendidikan dan kesehatan manakala mengunjungi berbagai kabupaten dan distrik di Papua.

Putri bersama suami dan anak saat ditemui Cenderawasih Pos di SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Setelah itu, Putri melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Innsbruck, Austria. Usai merampungkan studinya tahun 2015, Putri memutuskan untuk menjadi guru di sebuah sekolah Kristen berstandar internasional di Distrik Bokondini, Kabupaten Tolikara. Dimana suaminya Adit menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.

Tiga tahun belakangan, Tuhan menggiring perjalanannya dan suami untuk membangun Rumah Belajar di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.

Kampung Kosarek tempat pasangan suami isteri ini membangun Rumah Belajar, berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo dan cukup jauh dari Dekai ibukota Kabupaten Yahukimo. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau.

Untuk menjangkaunya hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan pesawat misi. Namun, saat pertama kali menjangkau Kosarek, Putri bersama suaminya menempuhnya dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Di Kosarek memang sudah ada sekolah formal. Namun ketika pasang suami isteri ini datang, sudah belasan tahun sekolah tersebut tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh akan pendidikan. Situasi itu yang membawa Putri dan suaminya melayani di Kosarek sejak akhir 2018 silam.  “Tuhan memanggil kami untuk mengabdi di Kosarek, sejak dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan,” ucap perempuan lulusan Ilmu Komunikasi UI ini.

Sebelum memantapkan hati mengabdi di Distrik Kosarek, Yahukimo, Pasutri yang sudah dikarunia seorang putri ini melakukan ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung yang ada di Kabupaten Yahukimo pada akhir tahun 2017.

Perjalanan dari distrik ke distrik yang dilakukan pasangan muda ini adalah untuk merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu tempat mana yang Tuhan tunjukan kepada mereka untuk menyelenggarakan misi pendidikan Allah setelah sebelumnya melayani di Bokondini.

“Sebanyak 26 kampung termasuk Kosarek kami singgahi dalam kurun waktu 42 hari perjalanan di penghujung 2017 dan awal tahun 2018. Kami tidur dengan warga setempat sembari melihat kondisi pendidikan yang ada di setiap kampung yang kami singgahi. Kami ingin merasakan Tuhan mau memanggil kami ke tempat yang mana,” tutur ibu satu anak ini.

Usai melakukan perjalanan panjang di 26 kampung di Kabupaten Yahukimo, pasang suami isteri ini kembali ke Wamena dan berdoa kepada Tuhan untuk dikirim ke tempat yang Dia rencanakan.

Doa Putri dan suaminya didengarkan Tuhan. Tuhan mengirimkan seorang penghubung yakni misionaris penerjemah Alkitab yang kemudian menghubungkan mereka dengan gereja setempat saat itu.

Misionaris penerjemah Alkitab ini tahu bahwa anak-anak yang ada di Kosarek tidak bisa membaca. Lantas siapa yang akan membaca Alkitab jika proses belajar mengajar di sekolah tidak berjalan?

“Rupanya, misionaris ini sedari lama mendoakan agar ada orang yang terpanggil menjalankan literasi di tempat di mana mereka menerjemahkan Alkitab,” ucap Putri sembari tersenyum saat ditemui di kantor SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Tahun 2018, Putri dan suaminya memutuskan pindah dari sekolah Kristen di Bokondini ke Kosarek untuk merintis pelayanan pendidikan yang mulai dari awal.

Kepekaan sosiallah yang memotivasi Putri untuk mengabdi di Papua. Tuhan memberikannya hati yang sangat sensitif untuk hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, masalah pendidikan, kesehatan dan ketimpangan sosial. “Rasanya mau menangis jika melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial itu,” tuturnya dengan raut muka sedih.

Sejak tiba pertama kali di Papua hingga kini, bisa dibilang Provinsi Papua memiliki angka partisipasi kasar murid yang paling rendah. Kualitas pendidikannya juga jauh dibandingkan standar di provinsi lain.

Dari perjalananan yang dilakukannya bersama suami di Papua, Putri bisa melihat masih banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan dan kesehatan dengan baik. Itulah yang membuat hatinya terpanggil sejak awal untuk mengabdi di Papua.

“Pada akhirnya, apa yang kami lakukan ini bukan soal kemanusiaan semata. Melainkan ini adalah panggilan Tuhan. Papua adalah tempat di mana Tuhan memanggil saya untuk berlaku adil, berbelas kasih dan rendah hati,” tegasnya.

Setelah bertemu dengan anak-anak di pelosok Papua, Putri dan suami tidak lagi berpikir untuk mencari kesuksesan dan materi di kota besar. Bagi pasangan muda ini, semua itu tidak sebanding ketika melihat perkembangan dari murid-murid mereka.

“Ketika murid-murid saya mulai memahami Alkitab, bisa tahu membaca dan menghitung. Itu penghargaan yang tidak ternilai, yang tidak bisa diukur dengan uang,” ucapnya sembari tersenyum di kursi.

Sejak 2008 hingga saat ini, Putri mengaku tidak pernah sekalipun diganggu. Bahkan saat berjalan kaki dari distrik ke distrik, dari kampung ke kampung menyusuri hutan untuk bertemu dengan anak-anak. “Tuhan pelihara dan jaga saya. Orang-orang Papua menerima saya dengan sangat baik,” ucap Putri yang menemukan jodohnya di Papua.

Di Rumah Belajar Kosarek, jumlah peserta didik sebanyak 49 orang. Sebelumnya sempat sebanyak 80-an anak yang datang belajar. Mereka mengajarkan pendidikan holistik yang berjenjang dan anak-anak juga diajarkan mandiri sedari dini, lewat beternak dan berkebun. Bahkan kebun milik Rumah Belajar menjadi tempat dimana anak-anak bisa belajar menghitung dan membaca. (fia/nat)

Putri for Cepos

Putri saat mengajar anak-anak di Rumah Belajar Kosarek, di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo belum lama ini.

Elfira/Cepos

Putri bersama suami dan anak saat ditemui Cenderawasih Pos di SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Baca Juga :  Hotel Numbay dan Mapia Sumber PAD Untuk Papua

Kisah Putri Lulusan S2 Austria Bersama Sang Suami Adit yang Mengajar Anak-anak di Pedalaman Papua (Bagian-1)

Bangun Rumah Belajar di Kosarek, Jalan Kaki Tujuh Hari Tujuh Malam dari Wamena

Tinggalkan Hiruk Pikuk Kota Metropolitan, Tuhan Memanggil Mengabdi di Pelosok Papua

Kitnas Inesia dan suaminya bernama Adit rela meninggalkan hiryuk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Bagaimana pengabdian Putri bersama keluarganya di pedalaman Papua ? Berikut laporannya.

Laporan: Elfira, Jayapura

AWALNYA Cenderawasih Pos berkenalan dengan Putri Kitnas Inesia di jejarang sosial Facebook. Saat itu, Putri bersama suaminya Adit masih berada di pedalaman Papua, tepatnya Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.   

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan S2 University of Innsbruck, Austria bersama suaminya rela meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Perempuan yang biasa disapa Putri itu memilih menjadi guru misi di bawah Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) dan menjalankan pendidikan holistik di kampung terisolasi di pedalaman Papua.

Setelah janjian untuk bertemu, Cenderawasih Pos akhirnya bisa menemui Putri dan suaminya Adit di Pos SIL, Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3). Dalam pertemuan ini, Putri banyak bercerita tentang awal mula dirinya mengabdi di tanah Papua.

Kepada Cenderawasih Pos, putri mengaku  sudah tinggal di Papua sejak tahun 2008 silam. Kala itu, dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada anak-anak, sehingga ia berkesempatan mengamati kondisi pendidikan dan kesehatan manakala mengunjungi berbagai kabupaten dan distrik di Papua.

Setelah itu, Putri melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Innsbruck, Austria. Usai merampungkan studinya tahun 2015, Putri memutuskan untuk menjadi guru di sebuah sekolah Kristen berstandar internasional di Distrik Bokondini, Kabupaten Tolikara. Dimana suaminya Adit menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.

Tiga tahun belakangan, Tuhan menggiring perjalanannya dan suami untuk membangun Rumah Belajar di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.

Kampung Kosarek tempat pasangan suami isteri ini membangun Rumah Belajar, berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo dan cukup jauh dari Dekai ibukota Kabupaten Yahukimo. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau.

Untuk menjangkaunya hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan pesawat misi. Namun, saat pertama kali menjangkau Kosarek, Putri bersama suaminya menempuhnya dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Di Kosarek memang sudah ada sekolah formal. Namun ketika pasang suami isteri ini datang, sudah belasan tahun sekolah tersebut tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh akan pendidikan. Situasi itu yang membawa Putri dan suaminya melayani di Kosarek sejak akhir 2018 silam.  “Tuhan memanggil kami untuk mengabdi di Kosarek, sejak dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan,” ucap perempuan lulusan Ilmu Komunikasi UI ini.

Sebelum memantapkan hati mengabdi di Distrik Kosarek, Yahukimo, Pasutri yang sudah dikarunia seorang putri ini melakukan ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung yang ada di Kabupaten Yahukimo pada akhir tahun 2017.

Perjalanan dari distrik ke distrik yang dilakukan pasangan muda ini adalah untuk merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu tempat mana yang Tuhan tunjukan kepada mereka untuk menyelenggarakan misi pendidikan Allah setelah sebelumnya melayani di Bokondini.

“Sebanyak 26 kampung termasuk Kosarek kami singgahi dalam kurun waktu 42 hari perjalanan di penghujung 2017 dan awal tahun 2018. Kami tidur dengan warga setempat sembari melihat kondisi pendidikan yang ada di setiap kampung yang kami singgahi. Kami ingin merasakan Tuhan mau memanggil kami ke tempat yang mana,” tutur ibu satu anak ini.

Usai melakukan perjalanan panjang di 26 kampung di Kabupaten Yahukimo, pasang suami isteri ini kembali ke Wamena dan berdoa kepada Tuhan untuk dikirim ke tempat yang Dia rencanakan.

Doa Putri dan suaminya didengarkan Tuhan. Tuhan mengirimkan seorang penghubung yakni misionaris penerjemah Alkitab yang kemudian menghubungkan mereka dengan gereja setempat saat itu.

Misionaris penerjemah Alkitab ini tahu bahwa anak-anak yang ada di Kosarek tidak bisa membaca. Lantas siapa yang akan membaca Alkitab jika proses belajar mengajar di sekolah tidak berjalan?

“Rupanya, misionaris ini sedari lama mendoakan agar ada orang yang terpanggil menjalankan literasi di tempat di mana mereka menerjemahkan Alkitab,” ucap Putri sembari tersenyum saat ditemui di kantor SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Tahun 2018, Putri dan suaminya memutuskan pindah dari sekolah Kristen di Bokondini ke Kosarek untuk merintis pelayanan pendidikan yang mulai dari awal.

Kepekaan sosiallah yang memotivasi Putri untuk mengabdi di Papua. Tuhan memberikannya hati yang sangat sensitif untuk hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, masalah pendidikan, kesehatan dan ketimpangan sosial. “Rasanya mau menangis jika melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial itu,” tuturnya dengan raut muka sedih.

Sejak tiba pertama kali di Papua hingga kini, bisa dibilang Provinsi Papua memiliki angka partisipasi kasar murid yang paling rendah. Kualitas pendidikannya juga jauh dibandingkan standar di provinsi lain.

Dari perjalananan yang dilakukannya bersama suami di Papua, Putri bisa melihat masih banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan dan kesehatan dengan baik. Itulah yang membuat hatinya terpanggil sejak awal untuk mengabdi di Papua.

“Pada akhirnya, apa yang kami lakukan ini bukan soal kemanusiaan semata. Melainkan ini adalah panggilan Tuhan. Papua adalah tempat di mana Tuhan memanggil saya untuk berlaku adil, berbelas kasih dan rendah hati,” tegasnya.

Setelah bertemu dengan anak-anak di pelosok Papua, Putri dan suami tidak lagi berpikir untuk mencari kesuksesan dan materi di kota besar. Bagi pasangan muda ini, semua itu tidak sebanding ketika melihat perkembangan dari murid-murid mereka.

“Ketika murid-murid saya mulai memahami Alkitab, bisa tahu membaca dan menghitung. Itu penghargaan yang tidak ternilai, yang tidak bisa diukur dengan uang,” ucapnya sembari tersenyum di kursi.

Sejak 2008 hingga saat ini, Putri mengaku tidak pernah sekalipun diganggu. Bahkan saat berjalan kaki dari distrik ke distrik, dari kampung ke kampung menyusuri hutan untuk bertemu dengan anak-anak. “Tuhan pelihara dan jaga saya. Orang-orang Papua menerima saya dengan sangat baik,” ucap Putri yang menemukan jodohnya di Papua.

Di Rumah Belajar Kosarek, jumlah peserta didik sebanyak 49 orang. Sebelumnya sempat sebanyak 80-an anak yang datang belajar. Mereka mengajarkan pendidikan holistik yang berjenjang dan anak-anak juga diajarkan mandiri sedari dini, lewat beternak dan berkebun. Bahkan kebun milik Rumah Belajar menjadi tempat dimana anak-anak bisa belajar menghitung dan membaca. (fia/nat)

Elfira/Cepos

Putri bersama suami dan anak saat ditemui Cenderawasih Pos di SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Baca Juga :  Buat Batik Ciprat dan Tulis, Tembus Pasar Mancanegara

Kisah Putri Lulusan S2 Austria Bersama Sang Suami Adit yang Mengajar Anak-anak di Pedalaman Papua (Bagian-1)

Bangun Rumah Belajar di Kosarek, Jalan Kaki Tujuh Hari Tujuh Malam dari Wamena

Tinggalkan Hiruk Pikuk Kota Metropolitan, Tuhan Memanggil Mengabdi di Pelosok Papua

Kitnas Inesia dan suaminya bernama Adit rela meninggalkan hiryuk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Bagaimana pengabdian Putri bersama keluarganya di pedalaman Papua ? Berikut laporannya.

Laporan: Elfira, Jayapura

AWALNYA Cenderawasih Pos berkenalan dengan Putri Kitnas Inesia di jejarang sosial Facebook. Saat itu, Putri bersama suaminya Adit masih berada di pedalaman Papua, tepatnya Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.   

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan S2 University of Innsbruck, Austria bersama suaminya rela meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Perempuan yang biasa disapa Putri itu memilih menjadi guru misi di bawah Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) dan menjalankan pendidikan holistik di kampung terisolasi di pedalaman Papua.

Setelah janjian untuk bertemu, Cenderawasih Pos akhirnya bisa menemui Putri dan suaminya Adit di Pos SIL, Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3). Dalam pertemuan ini, Putri banyak bercerita tentang awal mula dirinya mengabdi di tanah Papua.

Kepada Cenderawasih Pos, putri mengaku  sudah tinggal di Papua sejak tahun 2008 silam. Kala itu, dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada anak-anak, sehingga ia berkesempatan mengamati kondisi pendidikan dan kesehatan manakala mengunjungi berbagai kabupaten dan distrik di Papua.

Setelah itu, Putri melanjutkan pendidikan S2-nya di University of Innsbruck, Austria. Usai merampungkan studinya tahun 2015, Putri memutuskan untuk menjadi guru di sebuah sekolah Kristen berstandar internasional di Distrik Bokondini, Kabupaten Tolikara. Dimana suaminya Adit menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.

Tiga tahun belakangan, Tuhan menggiring perjalanannya dan suami untuk membangun Rumah Belajar di Distrik Kosarek, Kabupaten Yahukimo.

Kampung Kosarek tempat pasangan suami isteri ini membangun Rumah Belajar, berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo dan cukup jauh dari Dekai ibukota Kabupaten Yahukimo. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau.

Untuk menjangkaunya hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan pesawat misi. Namun, saat pertama kali menjangkau Kosarek, Putri bersama suaminya menempuhnya dengan berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Di Kosarek memang sudah ada sekolah formal. Namun ketika pasang suami isteri ini datang, sudah belasan tahun sekolah tersebut tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh akan pendidikan. Situasi itu yang membawa Putri dan suaminya melayani di Kosarek sejak akhir 2018 silam.  “Tuhan memanggil kami untuk mengabdi di Kosarek, sejak dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan,” ucap perempuan lulusan Ilmu Komunikasi UI ini.

Sebelum memantapkan hati mengabdi di Distrik Kosarek, Yahukimo, Pasutri yang sudah dikarunia seorang putri ini melakukan ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung yang ada di Kabupaten Yahukimo pada akhir tahun 2017.

Perjalanan dari distrik ke distrik yang dilakukan pasangan muda ini adalah untuk merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu tempat mana yang Tuhan tunjukan kepada mereka untuk menyelenggarakan misi pendidikan Allah setelah sebelumnya melayani di Bokondini.

“Sebanyak 26 kampung termasuk Kosarek kami singgahi dalam kurun waktu 42 hari perjalanan di penghujung 2017 dan awal tahun 2018. Kami tidur dengan warga setempat sembari melihat kondisi pendidikan yang ada di setiap kampung yang kami singgahi. Kami ingin merasakan Tuhan mau memanggil kami ke tempat yang mana,” tutur ibu satu anak ini.

Usai melakukan perjalanan panjang di 26 kampung di Kabupaten Yahukimo, pasang suami isteri ini kembali ke Wamena dan berdoa kepada Tuhan untuk dikirim ke tempat yang Dia rencanakan.

Doa Putri dan suaminya didengarkan Tuhan. Tuhan mengirimkan seorang penghubung yakni misionaris penerjemah Alkitab yang kemudian menghubungkan mereka dengan gereja setempat saat itu.

Misionaris penerjemah Alkitab ini tahu bahwa anak-anak yang ada di Kosarek tidak bisa membaca. Lantas siapa yang akan membaca Alkitab jika proses belajar mengajar di sekolah tidak berjalan?

“Rupanya, misionaris ini sedari lama mendoakan agar ada orang yang terpanggil menjalankan literasi di tempat di mana mereka menerjemahkan Alkitab,” ucap Putri sembari tersenyum saat ditemui di kantor SIL, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat (18/3).

Tahun 2018, Putri dan suaminya memutuskan pindah dari sekolah Kristen di Bokondini ke Kosarek untuk merintis pelayanan pendidikan yang mulai dari awal.

Kepekaan sosiallah yang memotivasi Putri untuk mengabdi di Papua. Tuhan memberikannya hati yang sangat sensitif untuk hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, masalah pendidikan, kesehatan dan ketimpangan sosial. “Rasanya mau menangis jika melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial itu,” tuturnya dengan raut muka sedih.

Sejak tiba pertama kali di Papua hingga kini, bisa dibilang Provinsi Papua memiliki angka partisipasi kasar murid yang paling rendah. Kualitas pendidikannya juga jauh dibandingkan standar di provinsi lain.

Dari perjalananan yang dilakukannya bersama suami di Papua, Putri bisa melihat masih banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan dan kesehatan dengan baik. Itulah yang membuat hatinya terpanggil sejak awal untuk mengabdi di Papua.

“Pada akhirnya, apa yang kami lakukan ini bukan soal kemanusiaan semata. Melainkan ini adalah panggilan Tuhan. Papua adalah tempat di mana Tuhan memanggil saya untuk berlaku adil, berbelas kasih dan rendah hati,” tegasnya.

Setelah bertemu dengan anak-anak di pelosok Papua, Putri dan suami tidak lagi berpikir untuk mencari kesuksesan dan materi di kota besar. Bagi pasangan muda ini, semua itu tidak sebanding ketika melihat perkembangan dari murid-murid mereka.

“Ketika murid-murid saya mulai memahami Alkitab, bisa tahu membaca dan menghitung. Itu penghargaan yang tidak ternilai, yang tidak bisa diukur dengan uang,” ucapnya sembari tersenyum di kursi.

Sejak 2008 hingga saat ini, Putri mengaku tidak pernah sekalipun diganggu. Bahkan saat berjalan kaki dari distrik ke distrik, dari kampung ke kampung menyusuri hutan untuk bertemu dengan anak-anak. “Tuhan pelihara dan jaga saya. Orang-orang Papua menerima saya dengan sangat baik,” ucap Putri yang menemukan jodohnya di Papua.

Di Rumah Belajar Kosarek, jumlah peserta didik sebanyak 49 orang. Sebelumnya sempat sebanyak 80-an anak yang datang belajar. Mereka mengajarkan pendidikan holistik yang berjenjang dan anak-anak juga diajarkan mandiri sedari dini, lewat beternak dan berkebun. Bahkan kebun milik Rumah Belajar menjadi tempat dimana anak-anak bisa belajar menghitung dan membaca. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya