Friday, December 27, 2024
32.7 C
Jayapura

UMP 2022 Naik Rata-rata Hanya 1,09 Persen

JAKARTA-Tahun depan, pekerja/buruh sepertinya harus kembali gigit jari. Setelah ditetapkan tak naik di tahun 2021, upah minimum provinsi (UMP) tahun depan bakal naik tipis. Rata-rata sekitar 1,09 persen. 

Angka tersebut diperoleh dari perhitungan besaran UMP 2020 yang dilakukan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) merujuk PP 36/2021 tentang pengupahan. Di mana, formula perhitungan tak lagi mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi seperti PP 78/2015. Namun, menggunakan 10 data ekonomi dan ketenagakerjaan dari BPS dengan formula khusus dalam PP 36/2021. Perhitungan juga bisa dilakukan melalui kalkulator upah minimum yang ada pada laman http://wagepedia.kemnaker.go.id/.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kemenaker Indah Anggoro Putri menuturkan, angka 1,09 persen tersebut merupakan rata-rata dari semua provinsi. ”Bukan berarti setiap provinsi naik 1,09 persen,” ujarnya dalam seminar terkait UMP 2022 secara daring, kemarin (15/11).

Empat provinsi bahkan tidak akan mengalami kenaikan UMP di tahun depan. Hal ini lantaran, nilai UM 2021 lebih tinggi dari batas atas upah minimum. Sehingga, sesuai dengan PP 36/2021 maka UM 2022 ditetapkan sama dengan UP 2021. Keempat provinsi itu, yakni Sumatera Selatan Rp 3.144.446, Sulawesi Utara Rp 3.310.723, Sulawesi Selatan Rp 3.165.876, dan Sulawesi Barat Rp 2.678.863. 

Selain kenaikan rata-rata UMP 2022, diperoleh pula sejumlah data statistik lainnya. Diketahui, UMP 2022 tertinggi dipegang oleh DKI Jakarta Rp 4.453.724. Sementara, untuk perhitungan UMP 2022 terendah adalah Jawa Tengah sebesar Rp 1.813.011.

Sedangkan, untuk UM kabupaten/kota (UMK) tertinggi di Kota Palu. Nilai kenaikannya sebesar Rp 174.840. untuk nilai kenaikan UMK terendah yakni Kabupaten Padang Lawas Utara sebesar Rp 277. 

Baca Juga :  Pelajar Ugal-ugalan, Tabrak Polisi dan 12 Orang Terluka

Kemudian, dari seluruh provinsi di Indonesia, yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi adalah Maluku Utara dengan kenaikan 12,76 persen. Sementara, untuk pertumbuhan ekonomi terendah ialah Bali -5,83 persen. Untuk data inflasi, daerah dengan tingkat inflasi tertinggi adalah Bangka Belitung sebesar 3,29 persen dan terendah Papua -0,40 persen.

Adapun, untuk UMP 2022 ini akan ditentukan oleh masing-masing gubernur di tiap provinsi paling lambat 21 November 2021. Sedangkan deadline penetapan UMK pada 30 November 2021. ”Jadi tidak benar kalau upah minimum ditetapkan oleh Kemenaker,” tegasnya. 

Putri menambahkan, UM ini berlaku untuk pekerja yang telah bekerja kurang dari 12 bulan. Adapun pekerja yang sudah bekerja lebih dari satu tahun, maka besaran upahnya ditetapkan berdasarkan struktur upah masing-masing perusahaan. 

Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) Timboel Siregar menilai, kenaikan UMP yang terlalu kecil bisa berdampak pada daya beli pekerja/buruh. Dikhawatirkan, daya beli pekerja/buruh bakal semakin tergerus di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun. 

Karenanya, diharapkan para gubernur bisa menetapkan UMP/UMK sesuai dengan kondisi di wilayahnya. Sebab, para gubernur juga harus memikirkan konsumsi masyarakat di wilayahnya sehingga daya beli pekerja/buruh pun bisa membaik. ”Yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayahnya,” ungkapnya. 

Tahun lalu pun, sejumlah gubernur menetapkan UMP/K tidak mengikuti SE Menaker. Salah satunya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menaikkan UMP 2021 sebesar 5,65 persen atau menjadi Rp 1.868.000. Angka tersebut termasuk yang tertinggi di Indonesia. 

Baca Juga :  Warga Antusias Saksikan Gerhana Matahari Total

Namun, lanjut dia, bila para gubernur dipaksa mengikuti rumus-rumus di PP No. 36 Tahun 2021 maka bisa dikatakan kewenangan mereka di UU Cipta Kerja dikerdilkan oleh PP no. 36 Tahun 2021. Gubernur hanya sebagai “tukang stempel” saja. 

Selain itu, Timboel menilai, jika variabel-variabel yang ada dalam rumus penetapan UMP/K dianalisis rata-rata konsumsi per kapita cenderung akan turun. Sementara, rata-rata jumlah anggota keluarga dan rata-rata jumlah anggota keluarga yang bekerja setiap tahunnya tidak berubah secara signifikan. Kondisi ini akan menyebabkan nilai Batas Atas (BA) akan relatif cenderung turun. 

Nilai BA yang relatif turun akan berdampak pada kenaikan UMP/UMK yang berada di bawah nilai inflasi. Simulasi kenaikan UMP/UMK 2022 yang telah terpublikasi pun menunjukkan kenaikan UMP/UMK mayoritas di bawah 1 persen. Bahkan, ada pula yang tidak naik karena nilai BA di bawah nilai UMP/UMK eksisting. 

”Sementara nilai inflasi di atas 1 persen. Maka dipastikan daya beli buruh, pekerja dan keluarganya akan menurun. Upah buruh/pekerja tergerus inflasi,” keluhnya.

Kondisi penurunan daya beli ini, lanjut dia, akan menyumbang pada kondisi penurunan rata-rata konsumsi per kapita di suatu wilayah. Di mana, data tersebut akan dijadikan data acuan untuk penentuan UMP/UMK tahun berikutnya. Potensi penurunan rata-rata konsumsi per kapita ini pun akan dikontribusi oleh penentuan UM bagi pekerja di sektor usaha kecil mikro berdasarkan garis kemiskinan.

”Kondisi ini yang akan menjadi lingkaran setan bagi perekonomian provinsi maupun kabupaten dan kota,” ungkapnya. (mia/JPG)

JAKARTA-Tahun depan, pekerja/buruh sepertinya harus kembali gigit jari. Setelah ditetapkan tak naik di tahun 2021, upah minimum provinsi (UMP) tahun depan bakal naik tipis. Rata-rata sekitar 1,09 persen. 

Angka tersebut diperoleh dari perhitungan besaran UMP 2020 yang dilakukan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) merujuk PP 36/2021 tentang pengupahan. Di mana, formula perhitungan tak lagi mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi seperti PP 78/2015. Namun, menggunakan 10 data ekonomi dan ketenagakerjaan dari BPS dengan formula khusus dalam PP 36/2021. Perhitungan juga bisa dilakukan melalui kalkulator upah minimum yang ada pada laman http://wagepedia.kemnaker.go.id/.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kemenaker Indah Anggoro Putri menuturkan, angka 1,09 persen tersebut merupakan rata-rata dari semua provinsi. ”Bukan berarti setiap provinsi naik 1,09 persen,” ujarnya dalam seminar terkait UMP 2022 secara daring, kemarin (15/11).

Empat provinsi bahkan tidak akan mengalami kenaikan UMP di tahun depan. Hal ini lantaran, nilai UM 2021 lebih tinggi dari batas atas upah minimum. Sehingga, sesuai dengan PP 36/2021 maka UM 2022 ditetapkan sama dengan UP 2021. Keempat provinsi itu, yakni Sumatera Selatan Rp 3.144.446, Sulawesi Utara Rp 3.310.723, Sulawesi Selatan Rp 3.165.876, dan Sulawesi Barat Rp 2.678.863. 

Selain kenaikan rata-rata UMP 2022, diperoleh pula sejumlah data statistik lainnya. Diketahui, UMP 2022 tertinggi dipegang oleh DKI Jakarta Rp 4.453.724. Sementara, untuk perhitungan UMP 2022 terendah adalah Jawa Tengah sebesar Rp 1.813.011.

Sedangkan, untuk UM kabupaten/kota (UMK) tertinggi di Kota Palu. Nilai kenaikannya sebesar Rp 174.840. untuk nilai kenaikan UMK terendah yakni Kabupaten Padang Lawas Utara sebesar Rp 277. 

Baca Juga :  Tragedi Kiwirok Melanggar HAM

Kemudian, dari seluruh provinsi di Indonesia, yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi adalah Maluku Utara dengan kenaikan 12,76 persen. Sementara, untuk pertumbuhan ekonomi terendah ialah Bali -5,83 persen. Untuk data inflasi, daerah dengan tingkat inflasi tertinggi adalah Bangka Belitung sebesar 3,29 persen dan terendah Papua -0,40 persen.

Adapun, untuk UMP 2022 ini akan ditentukan oleh masing-masing gubernur di tiap provinsi paling lambat 21 November 2021. Sedangkan deadline penetapan UMK pada 30 November 2021. ”Jadi tidak benar kalau upah minimum ditetapkan oleh Kemenaker,” tegasnya. 

Putri menambahkan, UM ini berlaku untuk pekerja yang telah bekerja kurang dari 12 bulan. Adapun pekerja yang sudah bekerja lebih dari satu tahun, maka besaran upahnya ditetapkan berdasarkan struktur upah masing-masing perusahaan. 

Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) Timboel Siregar menilai, kenaikan UMP yang terlalu kecil bisa berdampak pada daya beli pekerja/buruh. Dikhawatirkan, daya beli pekerja/buruh bakal semakin tergerus di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun. 

Karenanya, diharapkan para gubernur bisa menetapkan UMP/UMK sesuai dengan kondisi di wilayahnya. Sebab, para gubernur juga harus memikirkan konsumsi masyarakat di wilayahnya sehingga daya beli pekerja/buruh pun bisa membaik. ”Yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayahnya,” ungkapnya. 

Tahun lalu pun, sejumlah gubernur menetapkan UMP/K tidak mengikuti SE Menaker. Salah satunya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menaikkan UMP 2021 sebesar 5,65 persen atau menjadi Rp 1.868.000. Angka tersebut termasuk yang tertinggi di Indonesia. 

Baca Juga :  Dua Prajurit Akhirnya Gugur

Namun, lanjut dia, bila para gubernur dipaksa mengikuti rumus-rumus di PP No. 36 Tahun 2021 maka bisa dikatakan kewenangan mereka di UU Cipta Kerja dikerdilkan oleh PP no. 36 Tahun 2021. Gubernur hanya sebagai “tukang stempel” saja. 

Selain itu, Timboel menilai, jika variabel-variabel yang ada dalam rumus penetapan UMP/K dianalisis rata-rata konsumsi per kapita cenderung akan turun. Sementara, rata-rata jumlah anggota keluarga dan rata-rata jumlah anggota keluarga yang bekerja setiap tahunnya tidak berubah secara signifikan. Kondisi ini akan menyebabkan nilai Batas Atas (BA) akan relatif cenderung turun. 

Nilai BA yang relatif turun akan berdampak pada kenaikan UMP/UMK yang berada di bawah nilai inflasi. Simulasi kenaikan UMP/UMK 2022 yang telah terpublikasi pun menunjukkan kenaikan UMP/UMK mayoritas di bawah 1 persen. Bahkan, ada pula yang tidak naik karena nilai BA di bawah nilai UMP/UMK eksisting. 

”Sementara nilai inflasi di atas 1 persen. Maka dipastikan daya beli buruh, pekerja dan keluarganya akan menurun. Upah buruh/pekerja tergerus inflasi,” keluhnya.

Kondisi penurunan daya beli ini, lanjut dia, akan menyumbang pada kondisi penurunan rata-rata konsumsi per kapita di suatu wilayah. Di mana, data tersebut akan dijadikan data acuan untuk penentuan UMP/UMK tahun berikutnya. Potensi penurunan rata-rata konsumsi per kapita ini pun akan dikontribusi oleh penentuan UM bagi pekerja di sektor usaha kecil mikro berdasarkan garis kemiskinan.

”Kondisi ini yang akan menjadi lingkaran setan bagi perekonomian provinsi maupun kabupaten dan kota,” ungkapnya. (mia/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya