Tuesday, October 7, 2025
21.8 C
Jayapura

Baleg DPR Bahas RUU Masyarakat Hukum Adat

JAKARTA – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, menegaskan pentingnya kesamaan pandangan dari para pemangku kebijakan serta prosedur yang terintegrasi dalam mengurai persoalan masyarakat adat. Hal ini disampaikan Martin dalam Focus Group Discussion (FGD) Badan Keahlian DPR RI terkait RUU Masyarakat Hukum Adat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10).

Menurut Martin, salah satu problem utama yang dihadapi masyarakat adat adalah tersebarnya pengaturan di berbagai regulasi yang menimbulkan ego sektoral antar kementerian dan lembaga. Kondisi ini justru mempersulit masyarakat adat memperoleh pengakuan haknya.

“Masalahnya, akhirnya kemudian ada ego sektoral yang terjadi. Contoh dari Kementerian Kehutanan, tentu fokusnya adalah hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Lalu ATR/BPN fokusnya adalah tanah ulayat dan proses pendaftaran tanah,” kata Martin.Ia menjelaskan, perbedaan fokus antar kementerian kerap memunculkan ketidakcocokan, bahkan konflik di lapangan.

Baca Juga :  Ratusan Mahasiswa Lanjutkan Unjuk Rasa di DPR, Desak Tuntutan 17+8 Dipenuhi!

Misalnya, jika suatu wilayah adat diklaim masuk kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan, maka proses pengakuannya harus lewat mekanisme hutan adat. Sebaliknya, jika berada di luar kawasan hutan, mekanismenya melalui ATR/BPN.

“Untuk itu, diperlukan kesamaan pandangan dan prosedur yang terintegrasi terhadap hal tersebut. Sehingga masyarakat adat tidak menemui birokrasi yang berbelit-belit ketika ingin mendapatkan pengakuan, baik itu hutan adat maupun tanah ulayat,” jelas Martin.

JAKARTA – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, menegaskan pentingnya kesamaan pandangan dari para pemangku kebijakan serta prosedur yang terintegrasi dalam mengurai persoalan masyarakat adat. Hal ini disampaikan Martin dalam Focus Group Discussion (FGD) Badan Keahlian DPR RI terkait RUU Masyarakat Hukum Adat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10).

Menurut Martin, salah satu problem utama yang dihadapi masyarakat adat adalah tersebarnya pengaturan di berbagai regulasi yang menimbulkan ego sektoral antar kementerian dan lembaga. Kondisi ini justru mempersulit masyarakat adat memperoleh pengakuan haknya.

“Masalahnya, akhirnya kemudian ada ego sektoral yang terjadi. Contoh dari Kementerian Kehutanan, tentu fokusnya adalah hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Lalu ATR/BPN fokusnya adalah tanah ulayat dan proses pendaftaran tanah,” kata Martin.Ia menjelaskan, perbedaan fokus antar kementerian kerap memunculkan ketidakcocokan, bahkan konflik di lapangan.

Baca Juga :  DPRP Papua Selatan Akan Perjuangkan Aspirasi Mahasiswa dan Masyarakat Adat 

Misalnya, jika suatu wilayah adat diklaim masuk kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan, maka proses pengakuannya harus lewat mekanisme hutan adat. Sebaliknya, jika berada di luar kawasan hutan, mekanismenya melalui ATR/BPN.

“Untuk itu, diperlukan kesamaan pandangan dan prosedur yang terintegrasi terhadap hal tersebut. Sehingga masyarakat adat tidak menemui birokrasi yang berbelit-belit ketika ingin mendapatkan pengakuan, baik itu hutan adat maupun tanah ulayat,” jelas Martin.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/