JAKARTA-Final Liga Champions 2024/2025 antara PSG dan Inter Milan bukan sekadar pertarungan fisik. Ini adalah duel kecerdasan, strategi, dan visi, para gelandang jenius yang mengubah arah sepak bola modern.
Selama satu dekade terakhir, pressing jadi standar mutlak dalam taktik sepak bola elite. Namun, partai puncak musim ini menunjukkan penguasaan bola dan teknik kelas atas bisa jadi senjata utama meraih kemenangan.
Kedua tim memiliki pendekatan berbeda. Meski menekan lawan dengan intensitas tinggi, PSG dan Inter lebih mengandalkan kecerdikan dalam membaca situasi, bukan hanya tenaga dalam mengejar bola.
Alih-alih hanya fokus merebut bola, laga ini menunjukkan siapa yang lebih piawai menggunakannya. Lini tengah kedua tim menjadi panggung utama duel kecerdasan taktik yang mengubah paradigma permainan.
PSG kini tak lagi bergantung pada trio flamboyan seperti Messi, Neymar, dan Mbappe yang minim kontribusi defensif. Mereka berubah menjadi tim kolektif dengan gelandang yang mampu memikat secara teknis dan cerdas secara taktik.
Joao Neves, Fabian Ruiz, dan Vitinha, menjadi pusat permainan yang tak hanya mampu merebut bola, tapi juga sangat nyaman mendistribusikannya. Kombinasi ini menciptakan sirkulasi bola yang halus dan sulit dibaca oleh lawan.
Neves menyatakan, cara terbaik bertahan adalah membawa bola di kaki. Itu merangkum filosofi PSG era baru bertahan lewat penguasaan bola, bukan tekanan membabi buta.
Rotasi peran ketiga gelandang itu pun sering mengecoh lawan. Sulit membedakan siapa yang berperan sebagai regista, mezzala, atau trequartista dalam sistem mereka yang cair.
Sementara Inter Milan tampil dengan pendekatan lebih matang dan teknikal. Hakan Calhanoglu sebagai playmaker klasik menjadi pengatur tempo permainan dari lini paling dalam.