Sunday, November 24, 2024
28.7 C
Jayapura

Dijual ke Luar Negeri Harganya Bisa 15 Kali Lipat

Kratom atau Purik, ”Pohon Uang” dalam Bayang-Bayang Legalitas

Dulu tumbuh liar di tepi sungai, kini kratom atau purik dibudidayakan dan sudah bisa dipanen enam bulan setelah tanam. Permintaan terbesar datang dari Amerika Serikat dan Kanada.

ARIEF NUGROHO, Kapuas Hulu

SEPINTAS, tidak ada yang istimewa dari tanaman ini. Seperti halnya tanaman yang tumbuh liar di pinggir aliran sungai dan hutan tropis di Kalimantan Barat. Masyarakat lokal menyebutnya purik.

Tapi, di balik penampilannya yang biasa saja itu, berkat manfaat yang dikandungnya, kratom atau purik kini dianggap sebagai penyelamat nasib masyarakat pedalaman, khususnya para petani karet.Sampai-sampai tanaman bernama Latin Mitragyna speciosa itu dijuluki ”pohon uang.”

Nun di Istana Kepresidenan Jakarta, kratom juga sampai jadi bahasan rapat khusus Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri. Seusai rapat, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko memastikan kalau Kementerian Kesehatan tidak memasukkan tanaman tersebut sebagai golongan narkotika. Lalu untuk mengetahui khasiatnya secara ilmiah, BRIN diminta meneliti. ”BRIN lakukan langkah riset lanjutan untuk mengetahui seberapa besar bahayanya,” ucap Moeldoko Kamis (20/6) lalu.

Di sisi lain, Badan Narkotika Nasional (BNN) tetap bersikeras meminta kratom dilarang dikonsumsi selama masih dalam penelitian, kecuali untuk kepentingan riset. ”Kratom memiliki efek samping yang berbahaya bagi tubuh, terlebih jika digunakan dengan dosis tinggi,’’ ujar Kepala BNN RI Komjen Pol Marthinus Hukom dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta pada Jumat (21/6).

Di Jakarta menjadi perdebatan, tidak demikian halnya di sentranya, desa pemasok terbesar, Nanga Sambus, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Purik lewat daunnya napas baru perekonomian warga. Penyelamat di saat harga karet atau getah serta komoditas lain terjun bebas.

Di tingkat petani, 1 kilogram purik berbentuk remahan (bubuk kasar) dihargai Rp 30 ribu hingga 35 ribu per kilogram. Beda lagi jika sudah berbentuk powder atau tepung, harganya kian melambung tinggi. Terlebih jika dipasarkan ke luar negeri, harganya bisa mencapai Rp 500 ribu per kilogram atau lebih dari 15 kali lipat.

Baca Juga :  Jangan Hanya Bangunan yang Megah, Tapi Pelayanan juga Diperhatikan

Jadi, tidak heran jika masyarakat yang semula mengolah komoditas lokal seperti karet dan minyak sawit berbondong-bondong beralih menanam tanaman tersebut. Dari 278 kepala keluarga atau sekitar 800 jiwa, sekitar 90 persen di antaranya kini menjadi petani purik.

Salah satunya Sumantri. Bertani purik sejak 2018, pria yang sehari-hari bekerja sebagai perangkat desa ini memiliki lebih dari 2.000 batang pohon yang ditanam di atas lahan seluas 2 hektare. Menurut dia, menanam purik terbukti menjamin kesejahteraan meskipun masih dibayang-bayangi kekhawatiran soal regulasi dan legalitas.

’’Kalau yang sudah lama, sekali panen pendapatan mereka bisa mencapai Rp 15 juta hingga 40 juta. Tergantung jumlah batang dan luasan lahannya,” kata pria yang akrab disapa Coy itu kepada Pontianak Post yang beberapa waktu lalu mengunjungi desa tersebut.

Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat yang lain. Terutama bagi yang tidak memiliki lahan.

”Mereka menjadi buruh petik saat panen. Per kilogram dibayar Rp 2.000 dan rata-rata sehari mereka bisa menghasilkan 50 kilogram daun purik,” katanya.

Belum lagi buruh jemur dan giling. Per hari mereka dibayar antara Rp 80 ribu sampai Rp100 ribu.

Dibandingkan karet, lanjut Sumatri, purik jauh lebih menghasilkan. Perawatannya pun cukup gampang. Usia panen pascatanam juga cenderung lebih singkat: sekitar 6 bulan saja.

Proses Pengolahan

Di Nanga Sambus, proses pengolahan daun purik secara lengkap bisa disaksikan. Mulai penjemuran, pengeringan, sampai penggilingan menjadi remahan.

Menurut Sumantri, ada beberapa proses yang harus dilakukan pascapanen sampai purik layak dijual. Proses pertama, penjemuran.

Proses itu memakan waktu satu sampai dua hari, bergantung kondisi cuaca. Setelah daun mulai mengering dan betul-betul kering, selanjutnya adalah penggilingan. Dari daun kering menjadi remahan atau bubuk kasar.

Kemudian, dari remahan dilanjutkan proses penyaringan dengan menggunakan alat saring yang biasa disebut tampik. Alat itu berfungsi memisahkan tulang daun dengan serbuk. ”Setelah melewati proses itu, baru bisa dijual. Biasanya diambil oleh pengumpul. Satu kilogram dihargai Rp 30 ribu,” katanya.

Baca Juga :  Drama Jelang Kelahiran di Tepi Laut Jadi Pemicunya

Untuk proses penggilingan, masyarakat Desa Nanga Sambus memiliki mesin penggiling yang dirakit sendiri. Terdiri atas ember, penggaris besi (digunakan sebagai baling-baling untuk menghaluskan daun), dan dinamo mesin air. Beberapa komponen itu dirakit sedemikian rupa menjadi alat penggiling sederhana.

  Sumantri tidak menampik, masifnya bisnis daun purik itu mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian yang luasannya mencapai 8 hektare. Sedangkan untuk area karet yang dialihkan menjadi tempat menanam purik, luasannya mencapai 50–70 persen dari total lahan.

”Pasca anjloknya harga karet, masyarakat lebih memilih menanam purik. Pohon-pohon karet ditebangi, sawah-sawah yang dulunya ditanami padi sebagian ditanami purik,” bebernya.

Selain Sumantri, ada Ebet. Dalam bisnis itu, Ebet salah satu dari beberapa orang yang menampung purik dari masyarakat. Dari tangan Ebet, purik dalam bentuk remahan dikirim melalui ekspedisi ke Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Dalam sepekan, Ebet mampu mengirim remahan purik sebanyak 3–4 ton. Bergantung permintaan pasar. ”Sekali kirim 3–4 ton. Tergantung permintaan,” katanya.

Purik dalam bentuk remahan kemudian diproses menjadi powder atau tepung sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri. ”Sekarang permintaan dari Amerika Serikat dan Kanada yang paling banyak,” lanjutnya.

Obat Herbal

Menurut Ebet, daun purik telah lama ada. Bahkan, daunnya biasa digunakan masyarakat sebagai obat herbal.

Kini daun yang telah mereka akrabi sejak dulu itu jadi mata pencaharian baru. ”Kami bahkan tidak tahu, sampai kapan bisnis ini berjalan. Apalagi dulu pernah ada isu bahwa purik golongan narkoba. Harapan kami, pemerintah segera memberikan solusi, salah satunya soal aturannya,” kata Ebet. (*/c6/ttg)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Kratom atau Purik, ”Pohon Uang” dalam Bayang-Bayang Legalitas

Dulu tumbuh liar di tepi sungai, kini kratom atau purik dibudidayakan dan sudah bisa dipanen enam bulan setelah tanam. Permintaan terbesar datang dari Amerika Serikat dan Kanada.

ARIEF NUGROHO, Kapuas Hulu

SEPINTAS, tidak ada yang istimewa dari tanaman ini. Seperti halnya tanaman yang tumbuh liar di pinggir aliran sungai dan hutan tropis di Kalimantan Barat. Masyarakat lokal menyebutnya purik.

Tapi, di balik penampilannya yang biasa saja itu, berkat manfaat yang dikandungnya, kratom atau purik kini dianggap sebagai penyelamat nasib masyarakat pedalaman, khususnya para petani karet.Sampai-sampai tanaman bernama Latin Mitragyna speciosa itu dijuluki ”pohon uang.”

Nun di Istana Kepresidenan Jakarta, kratom juga sampai jadi bahasan rapat khusus Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri. Seusai rapat, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko memastikan kalau Kementerian Kesehatan tidak memasukkan tanaman tersebut sebagai golongan narkotika. Lalu untuk mengetahui khasiatnya secara ilmiah, BRIN diminta meneliti. ”BRIN lakukan langkah riset lanjutan untuk mengetahui seberapa besar bahayanya,” ucap Moeldoko Kamis (20/6) lalu.

Di sisi lain, Badan Narkotika Nasional (BNN) tetap bersikeras meminta kratom dilarang dikonsumsi selama masih dalam penelitian, kecuali untuk kepentingan riset. ”Kratom memiliki efek samping yang berbahaya bagi tubuh, terlebih jika digunakan dengan dosis tinggi,’’ ujar Kepala BNN RI Komjen Pol Marthinus Hukom dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta pada Jumat (21/6).

Di Jakarta menjadi perdebatan, tidak demikian halnya di sentranya, desa pemasok terbesar, Nanga Sambus, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Purik lewat daunnya napas baru perekonomian warga. Penyelamat di saat harga karet atau getah serta komoditas lain terjun bebas.

Di tingkat petani, 1 kilogram purik berbentuk remahan (bubuk kasar) dihargai Rp 30 ribu hingga 35 ribu per kilogram. Beda lagi jika sudah berbentuk powder atau tepung, harganya kian melambung tinggi. Terlebih jika dipasarkan ke luar negeri, harganya bisa mencapai Rp 500 ribu per kilogram atau lebih dari 15 kali lipat.

Baca Juga :  Penyuluhan di Sekolah-sekolah, Termasuk Mendorong Program Kampung Bersinar

Jadi, tidak heran jika masyarakat yang semula mengolah komoditas lokal seperti karet dan minyak sawit berbondong-bondong beralih menanam tanaman tersebut. Dari 278 kepala keluarga atau sekitar 800 jiwa, sekitar 90 persen di antaranya kini menjadi petani purik.

Salah satunya Sumantri. Bertani purik sejak 2018, pria yang sehari-hari bekerja sebagai perangkat desa ini memiliki lebih dari 2.000 batang pohon yang ditanam di atas lahan seluas 2 hektare. Menurut dia, menanam purik terbukti menjamin kesejahteraan meskipun masih dibayang-bayangi kekhawatiran soal regulasi dan legalitas.

’’Kalau yang sudah lama, sekali panen pendapatan mereka bisa mencapai Rp 15 juta hingga 40 juta. Tergantung jumlah batang dan luasan lahannya,” kata pria yang akrab disapa Coy itu kepada Pontianak Post yang beberapa waktu lalu mengunjungi desa tersebut.

Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat yang lain. Terutama bagi yang tidak memiliki lahan.

”Mereka menjadi buruh petik saat panen. Per kilogram dibayar Rp 2.000 dan rata-rata sehari mereka bisa menghasilkan 50 kilogram daun purik,” katanya.

Belum lagi buruh jemur dan giling. Per hari mereka dibayar antara Rp 80 ribu sampai Rp100 ribu.

Dibandingkan karet, lanjut Sumatri, purik jauh lebih menghasilkan. Perawatannya pun cukup gampang. Usia panen pascatanam juga cenderung lebih singkat: sekitar 6 bulan saja.

Proses Pengolahan

Di Nanga Sambus, proses pengolahan daun purik secara lengkap bisa disaksikan. Mulai penjemuran, pengeringan, sampai penggilingan menjadi remahan.

Menurut Sumantri, ada beberapa proses yang harus dilakukan pascapanen sampai purik layak dijual. Proses pertama, penjemuran.

Proses itu memakan waktu satu sampai dua hari, bergantung kondisi cuaca. Setelah daun mulai mengering dan betul-betul kering, selanjutnya adalah penggilingan. Dari daun kering menjadi remahan atau bubuk kasar.

Kemudian, dari remahan dilanjutkan proses penyaringan dengan menggunakan alat saring yang biasa disebut tampik. Alat itu berfungsi memisahkan tulang daun dengan serbuk. ”Setelah melewati proses itu, baru bisa dijual. Biasanya diambil oleh pengumpul. Satu kilogram dihargai Rp 30 ribu,” katanya.

Baca Juga :  Kebangkitan Yesus Kristus Memberi Harapan, Dampak Besar Bagi Orang yang Percaya

Untuk proses penggilingan, masyarakat Desa Nanga Sambus memiliki mesin penggiling yang dirakit sendiri. Terdiri atas ember, penggaris besi (digunakan sebagai baling-baling untuk menghaluskan daun), dan dinamo mesin air. Beberapa komponen itu dirakit sedemikian rupa menjadi alat penggiling sederhana.

  Sumantri tidak menampik, masifnya bisnis daun purik itu mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian yang luasannya mencapai 8 hektare. Sedangkan untuk area karet yang dialihkan menjadi tempat menanam purik, luasannya mencapai 50–70 persen dari total lahan.

”Pasca anjloknya harga karet, masyarakat lebih memilih menanam purik. Pohon-pohon karet ditebangi, sawah-sawah yang dulunya ditanami padi sebagian ditanami purik,” bebernya.

Selain Sumantri, ada Ebet. Dalam bisnis itu, Ebet salah satu dari beberapa orang yang menampung purik dari masyarakat. Dari tangan Ebet, purik dalam bentuk remahan dikirim melalui ekspedisi ke Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Dalam sepekan, Ebet mampu mengirim remahan purik sebanyak 3–4 ton. Bergantung permintaan pasar. ”Sekali kirim 3–4 ton. Tergantung permintaan,” katanya.

Purik dalam bentuk remahan kemudian diproses menjadi powder atau tepung sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri. ”Sekarang permintaan dari Amerika Serikat dan Kanada yang paling banyak,” lanjutnya.

Obat Herbal

Menurut Ebet, daun purik telah lama ada. Bahkan, daunnya biasa digunakan masyarakat sebagai obat herbal.

Kini daun yang telah mereka akrabi sejak dulu itu jadi mata pencaharian baru. ”Kami bahkan tidak tahu, sampai kapan bisnis ini berjalan. Apalagi dulu pernah ada isu bahwa purik golongan narkoba. Harapan kami, pemerintah segera memberikan solusi, salah satunya soal aturannya,” kata Ebet. (*/c6/ttg)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya