Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyebut pelanggaran HAM juga terjadi di Pemilu Februari lalu. Dimana banyak warga terutama kelompok marginal dan rentan yang tidak dapat menyalurkan hak suaranya. Itu disebut menjadi bagian dari unsur melanggar HAM.
Frits menyebut belum diselesaikannya kasus tersebut dikarenakan adanya beberapa kendala, misalnya jika pelakunya adalah Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) maka itu belum bisa diamankan meski masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Lalu jika pelakunya adalah oknum aparat yang menembak maka hal tersebut juga sulit diselesaikan. Sebab mereka saat itu yang terjadi adalah head to head.
Massa juga mengelar spanduk di depan Kantor Komnas HAM dan menyampaikan aspirasi bahwa sejak kasus penembakan alamarhum Tobias Silak dan Naro Dapla Agustus di Yahukimo , Polisi belum juga menyampaikan perkembangan penanganan kasus kepada keluarga.
Dari pemantauan tersebut Komnas HAM RI Perwakilan Papua telah meminta keterangan Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Kepala Puskesmas Alama, PT. Intan Angkasa Air Service, Satgas Damai Cartenz, Polres Mimika, saksi korban yang terdiri dari para tenaga kesehatan dan tenaga pendidik, serta mendapatkan sejumlah dokumen.
“Kami juga sudah kroscek kepada saksi yang melihat dan mengalami secara langsung betulkah ada tembakan dan mereka mengatakan betul. Yang berikut kami juga ingin memastikan bahwa para Nakes dan guru pasca kejadian ini nasib mereka jangan sampai diabaikan, apalagi sampai hilang," beber Frits.
Dalam pemantauan ini, kata Frits, Komnas HAM RI Perwakilan Papua telah meminta keterangan korban, keluarga korban, empat orang saksi, penyidik Polda Papua Barat serta peninjauan lokasi dan barang bukti.
“Tindakan ini memberi justifikasi untuk adanya potensi pengerahan pasukan, sebab yang dibunuh adalah warga negara asing. Dan jika negara tidak bisa mengungkap kejadian ini, menunjukan bahwa betapa lemahnya negara,” ujarnya.
Thomas mengatakan sebagai pengacara senior yang telah lama membela hak asasi manusia di Tanah Papua, tidak semestinya persitiwa ini terjadi paada Yan. Sebab didalam undang undang jelas mengatur tentang jaminan hukum seorang advokat.
“Sekarang bukan lagi kuota Polda melainkan kuota Polres, sehingga kuota Polres ini yang kami awasi. Jadi kalau ada 2 ribu yang diterima jadi anggota Polri, maka 1700 harus OAP sedangkan 300 silahkan diperebutkan orang non Papua,” sambung Frits.
“Kami yakin operasi yang dilakukan Satgas Gabungan merupakan operasi yang terukur, kiranya OPM melihat situasi ini sebagai sebuah situasi kemanusiaan yang harus dipikirkan. Sehingga aksi aksi kekersan bisa dihentikan dan masyarakat tidak menjadi korban,” kata Frits.