Sunday, May 12, 2024
27.7 C
Jayapura

Kontroversi Larangan Puasa Pemain Muslim, Federasi Sepak Bola Prancis Dikecam

Pendekatan FFF terhadap Ramadhan sejalan dengan prinsip netralitas yang diatur dalam undang-undang pendirian federasi. Pasal tersebut menegaskan larangan terhadap ekspresi politik, ideologi, agama, atau serikat pekerja dalam kompetisi dan acara olahraga.

Namun, kebijakan ini tetap menuai kritik karena dianggap melanggar kebebasan beragama dan menghambat partisipasi para pemain Muslim dalam tim nasional.

Philippe Diallo merujuk pada Pasal 1 undang-undang pendirian federasi, yang menurutnya menjamin penghormatan terhadap ‘prinsip netralitas’. Berdasarkan pasal tersebut, “setiap pidato atau pertunjukan yang bersifat politik, ideologi, agama atau serikat pekerja” dilarang dalam kompetisi dan acara, dan pelanggar akan dikenakan “proses disipliner dan/atau pidana.”

Larangan puasa bagi pemain Muslim juga bukan kali pertama FFF mendapat kritik terkait sikapnya terhadap keberagaman agama dalam olahraga. Tahun lalu, sebuah email bocor mengungkapkan perintah kepada wasit untuk tidak menghentikan pertandingan saat matahari terbenam selama bulan Ramadhan, yang juga menuai kontroversi serupa.

Baca Juga :  Pemkot Awali Safari Ramadan di Koya Tengah

“Lapangan sepak bola, stadion, gymnasium, bukanlah tempat ekspresi politik atau agama, melainkan tempat netral di mana nilai-nilai olahraga, seperti kesetaraan, persaudaraan, ketidakberpihakan, belajar menghormati wasit, diri sendiri, dan orang lain, harus dilakukan,” kata email tersebut, seraya menambahkan bahwa akan ada konsekuensi disipliner bagi wasit yang tidak mematuhinya.

Di tengah reaksi keras, selama pertandingan pada 2 April, kelompok penggemar Paris Saint-Germain mengangkat papan bertuliskan: “Kencan, segelas air, mimpi buruk FFF.”

Selain itu, FFF juga telah menjadi sorotan karena larangan terhadap pemain perempuan mengenakan jilbab, yang dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Meskipun Federasi Internasional Sepak Bola Asosiasi (FIFA) telah mencabut aturan serupa, FFF tetap mempertahankan kebijakan larangan tersebut.

Dewan Negara, mahkamah agung Prancis memutuskan bahwa “federasi olahraga, yang bertanggung jawab untuk memastikan berfungsinya layanan publik yang pengelolaannya dipercayakan kepada mereka, dapat memaksakan kepada pemainnya kewajiban netralitas pakaian selama kompetisi dan acara olahraga untuk menjamin kelancaran, menjalankan pertandingan dan mencegah konfrontasi apa pun.”

Baca Juga :  Preview Crystal Palace vs Tottenham Hotspur: Richy Jangan Ketinggalan

Mereka menyatakan larangan berhijab yang dilakukan FFF, meskipun FIFA telah mencabut aturan serupa beberapa tahun sebelumnya, merupakan tindakan yang “pantas dan proporsional”.

Kontroversi ini menunjukkan bahwa isu sekularisme dan kebebasan beragama masih menjadi perdebatan hangat di Prancis, terutama dalam konteks olahraga yang seharusnya menjadi ajang inklusi dan persatuan. Kritik terhadap FFF menyoroti perlunya dialog yang lebih terbuka dan pengakuan akan keberagaman dalam olahraga, sebagai langkah menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai hak asasi manusia bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang agama atau budaya mereka. (*)

SUmber: Jawapos

Pendekatan FFF terhadap Ramadhan sejalan dengan prinsip netralitas yang diatur dalam undang-undang pendirian federasi. Pasal tersebut menegaskan larangan terhadap ekspresi politik, ideologi, agama, atau serikat pekerja dalam kompetisi dan acara olahraga.

Namun, kebijakan ini tetap menuai kritik karena dianggap melanggar kebebasan beragama dan menghambat partisipasi para pemain Muslim dalam tim nasional.

Philippe Diallo merujuk pada Pasal 1 undang-undang pendirian federasi, yang menurutnya menjamin penghormatan terhadap ‘prinsip netralitas’. Berdasarkan pasal tersebut, “setiap pidato atau pertunjukan yang bersifat politik, ideologi, agama atau serikat pekerja” dilarang dalam kompetisi dan acara, dan pelanggar akan dikenakan “proses disipliner dan/atau pidana.”

Larangan puasa bagi pemain Muslim juga bukan kali pertama FFF mendapat kritik terkait sikapnya terhadap keberagaman agama dalam olahraga. Tahun lalu, sebuah email bocor mengungkapkan perintah kepada wasit untuk tidak menghentikan pertandingan saat matahari terbenam selama bulan Ramadhan, yang juga menuai kontroversi serupa.

Baca Juga :  Rugi Rp 3,7 Triliun

“Lapangan sepak bola, stadion, gymnasium, bukanlah tempat ekspresi politik atau agama, melainkan tempat netral di mana nilai-nilai olahraga, seperti kesetaraan, persaudaraan, ketidakberpihakan, belajar menghormati wasit, diri sendiri, dan orang lain, harus dilakukan,” kata email tersebut, seraya menambahkan bahwa akan ada konsekuensi disipliner bagi wasit yang tidak mematuhinya.

Di tengah reaksi keras, selama pertandingan pada 2 April, kelompok penggemar Paris Saint-Germain mengangkat papan bertuliskan: “Kencan, segelas air, mimpi buruk FFF.”

Selain itu, FFF juga telah menjadi sorotan karena larangan terhadap pemain perempuan mengenakan jilbab, yang dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Meskipun Federasi Internasional Sepak Bola Asosiasi (FIFA) telah mencabut aturan serupa, FFF tetap mempertahankan kebijakan larangan tersebut.

Dewan Negara, mahkamah agung Prancis memutuskan bahwa “federasi olahraga, yang bertanggung jawab untuk memastikan berfungsinya layanan publik yang pengelolaannya dipercayakan kepada mereka, dapat memaksakan kepada pemainnya kewajiban netralitas pakaian selama kompetisi dan acara olahraga untuk menjamin kelancaran, menjalankan pertandingan dan mencegah konfrontasi apa pun.”

Baca Juga :  Pemkot Awali Safari Ramadan di Koya Tengah

Mereka menyatakan larangan berhijab yang dilakukan FFF, meskipun FIFA telah mencabut aturan serupa beberapa tahun sebelumnya, merupakan tindakan yang “pantas dan proporsional”.

Kontroversi ini menunjukkan bahwa isu sekularisme dan kebebasan beragama masih menjadi perdebatan hangat di Prancis, terutama dalam konteks olahraga yang seharusnya menjadi ajang inklusi dan persatuan. Kritik terhadap FFF menyoroti perlunya dialog yang lebih terbuka dan pengakuan akan keberagaman dalam olahraga, sebagai langkah menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai hak asasi manusia bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang agama atau budaya mereka. (*)

SUmber: Jawapos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya