Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Perubahan Paradigma dan Pemenuhan Hak Disabilitas: Formalitas atau Keharusan?

PENYANDANG  Disabilitas seringkali dipandang sebagai kelompok masyarakat dengan berbagai keterbatasan. Mereka dianggap tidak mampu mandiri karena memerlukan bantuan untuk dapat menjalani aktivitas hariannya. Faktanya, penyandang disabilitas juga memiliki banyak potensi dan kelebihan yang bukan hanya mendukung kemandirian tetapi juga menorehkan berbagai prestasi yang menginspirasi

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, penduduk disabilitas diperkirakan sejumlah 6,2 juta jiwa dengan kategori sedang dan berat. Sebagian besar penyandang disabilitas tersebut termasuk dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun) dengan jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.

Menurut data Susenas tersebut, kondisi sosial ekonomi penyandang disabilitas masih sangat timpang dibandingkan bukan penyandang disabilitas. Dalam hal pendidikan misalnya, sekitar 48% penyandang disabilitas mengalami putus sekolah dan tidak memiliki ijazah pendidikan formal. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas jauh lebih banyak bekerja di sektor informal, atau bahkan tidak bekerja sama sekali. Sehingga tidak heran, kemiskinan bukanlah hal yang tidak lazim bagi mereka. Tingkat kemiskinan penyandang disabilitas diperkirakan masih sekitar 15% pada tahun 2021.

Kondisi tersebut hanya sebagian tantangan yang mereka hadapi. Tantangan dalam penanganan isu-isu yang berkaitan dengan disabilitas banyak berkaitan dengan stigma dan persepsi masyarakat terhadap mereka. Seringkali penyandang disabilitas mengalami diskriminasi dan menghadapi stigma sosial yang menghambat kemandirian dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam berbagai aktivitas. Penyandang disabilitas juga dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak mampu berdaya dan hanya membutuhkan bantuan sosial.

Sejauh ini, keterbatasan tersebut menjadikan tantangan tersendiri bagi para penyandang disabilitas untuk menjadi produktif dan berkontribusi aktif di lingkungannya. Terlebih pada masa Pandemi Covid-19, penyandang disabilitas termasuk kelompok masyarakat rentan yang sangat terdampak, baik dari aspek sosial, kesehatan, maupun ekonomi. Hasil studi (2021) menunjukkan bahwa selama pandemi, penyandang disabilitas sangat rentan terhadap gangguan psikososial dan banyak yang mengalami kehilangan pekerjaan. Mereka sulit untuk mendapat pekerjaan kembali yang berakibat menurunnya pendapatan, bahkan sebagian tidak dapat memenuhi konsumsi sehari-hari yang memadai. Selain itu, dampak pandemi juga mengharuskan penyandang disabilitas mengurangi kunjungan terapi dan rehabilitasi baik karena faktor ekonomi maupun kesehatan.

Baca Juga :  Satria-1 Meluncur ke Orbit dengan Selamat

Perubahan Paradigma Terhadap Disabilitas

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong perubahan paradigma terhadap penyandang disabilitas. Masyarakat harus mengubah pemikiran bahwa penanganan disabilitas hanya merupakan isu sosial dan mereka hanya diberikan bantuan (charity based). Pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas harus berdasarkan pemenuhan hak (human right based). Dalam hal ini, kebijakan dan program pemberdayaan disabilitas bukan hanya tanggung jawab Kementerian Sosial dan/atau Dinas Sosial di tingkat daerah, namun menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh kementerian/lembaga dan perangkat daerah. Dengan demikian, pemberdayaan penyandang disabilitas mencakup seluruh sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, serta layanan dan fasilitas publik.

Indonesia telah meratifikasi convention on the rights of persons with disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), mengesahkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, beserta dengan berbagai peraturan turunan sebagai pedoman dan acuan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan pelindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Data Terpilah sebagai Prasyarat Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Meskipun dukungan regulasi dan kebijakan terkait penyandang disabilitas sudah cukup baik dan didukung dengan keberadaan Organisasi Penyandang Disabilitas yang sangat aktif, sebagian penyandang disabilitas masih memiliki keterbatasan dalam mengakses program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan kualitas data terpilah disabilitas yang dapat mengidentifikasi dimana mereka, kondisi mereka, dan kebutuhannya apa. Hal ini sangat mempengaruhi ketepatan penyusunan dan penentuan sasaran program dan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dilaksanakan pada 15 Oktober – 14 November 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi salah satu upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas dan ketersediaan data terpilah penyandang disabilitas di Indonesia. Melalui Regsosek, pemerintah akan memiliki basis data yang tidak hanya menyediakan informasi mengenai kondisi dan tingkat kedisabilitasan seseorang tetapi juga menyediakan data dan informasi mengenai profil kependudukan, tingkat pendidikan, kondisi sosial ekonomi, dan juga tingkat kesejahteraannya.

Baca Juga :  Mendagri Minta Penjabat Kada Jadi Teladan Sosok Pemimpin Daerah

Dengan adanya data terpilah lengkap dengan profil dan tingkat kesejahteraannya, pemerintah akan mampu mengidentifikasi tantangan dan kebutuhan penyandang disabilitas sehingga program dan layanan yang diberikan dapat dirancang secara tepat sasaran dan tepat manfaat. Lebih lanjut, ketersediaan data by name by address dan dilengkapi dengan kepemilikan dokumen kependudukan bagi seluruh penduduk akan meningkatkan kepastian penyandang disabilitas untuk mengakses program dan layanan pemerintah. Program dan layanan pemerintah yang dimaksud bukan hanya terbatas pada program perlindungan sosial, tetapi juga program-program yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, pelatihan keterampilan, pemberdayaan, dan lain sebagainya.

Selain itu, berkaca pada pembelajaran pandemi COVID-19 dan berbagai kejadian bencana di Indonesia, data sosial ekonomi seluruh penduduk dengan pengelompokan kesejahteraan juga menjadi hal yang sangat diperlukan untuk memastikan pemerintah dapat memberikan respon yang tepat bagi penyandang disabilitas yang terdampak kejadian tidak terduga.

Perubahan paradigma dan upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara yang setara menjadi sebuah keharusan dan harus dilakukan melalui kolaborasi berbagai pihak -pemerintah, swasta, dan masyarakat. Namun, upaya-upaya yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan tidak akan berdampak secara optimal bagi penyandang disabilitas tanpa didasarkan pada data dan informasi yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan. Regsosek hadir untuk memastikan pelaksanaan pelindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui berbagai program dan kebijakan yang komprehensif dan tepat. (**)

 

PENYANDANG  Disabilitas seringkali dipandang sebagai kelompok masyarakat dengan berbagai keterbatasan. Mereka dianggap tidak mampu mandiri karena memerlukan bantuan untuk dapat menjalani aktivitas hariannya. Faktanya, penyandang disabilitas juga memiliki banyak potensi dan kelebihan yang bukan hanya mendukung kemandirian tetapi juga menorehkan berbagai prestasi yang menginspirasi

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, penduduk disabilitas diperkirakan sejumlah 6,2 juta jiwa dengan kategori sedang dan berat. Sebagian besar penyandang disabilitas tersebut termasuk dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun) dengan jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.

Menurut data Susenas tersebut, kondisi sosial ekonomi penyandang disabilitas masih sangat timpang dibandingkan bukan penyandang disabilitas. Dalam hal pendidikan misalnya, sekitar 48% penyandang disabilitas mengalami putus sekolah dan tidak memiliki ijazah pendidikan formal. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas jauh lebih banyak bekerja di sektor informal, atau bahkan tidak bekerja sama sekali. Sehingga tidak heran, kemiskinan bukanlah hal yang tidak lazim bagi mereka. Tingkat kemiskinan penyandang disabilitas diperkirakan masih sekitar 15% pada tahun 2021.

Kondisi tersebut hanya sebagian tantangan yang mereka hadapi. Tantangan dalam penanganan isu-isu yang berkaitan dengan disabilitas banyak berkaitan dengan stigma dan persepsi masyarakat terhadap mereka. Seringkali penyandang disabilitas mengalami diskriminasi dan menghadapi stigma sosial yang menghambat kemandirian dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam berbagai aktivitas. Penyandang disabilitas juga dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak mampu berdaya dan hanya membutuhkan bantuan sosial.

Sejauh ini, keterbatasan tersebut menjadikan tantangan tersendiri bagi para penyandang disabilitas untuk menjadi produktif dan berkontribusi aktif di lingkungannya. Terlebih pada masa Pandemi Covid-19, penyandang disabilitas termasuk kelompok masyarakat rentan yang sangat terdampak, baik dari aspek sosial, kesehatan, maupun ekonomi. Hasil studi (2021) menunjukkan bahwa selama pandemi, penyandang disabilitas sangat rentan terhadap gangguan psikososial dan banyak yang mengalami kehilangan pekerjaan. Mereka sulit untuk mendapat pekerjaan kembali yang berakibat menurunnya pendapatan, bahkan sebagian tidak dapat memenuhi konsumsi sehari-hari yang memadai. Selain itu, dampak pandemi juga mengharuskan penyandang disabilitas mengurangi kunjungan terapi dan rehabilitasi baik karena faktor ekonomi maupun kesehatan.

Baca Juga :  PDIP Sebut Beberapa Ketum Parpol Dipegang Kartu Trufnya Oleh Penguasa

Perubahan Paradigma Terhadap Disabilitas

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong perubahan paradigma terhadap penyandang disabilitas. Masyarakat harus mengubah pemikiran bahwa penanganan disabilitas hanya merupakan isu sosial dan mereka hanya diberikan bantuan (charity based). Pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas harus berdasarkan pemenuhan hak (human right based). Dalam hal ini, kebijakan dan program pemberdayaan disabilitas bukan hanya tanggung jawab Kementerian Sosial dan/atau Dinas Sosial di tingkat daerah, namun menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh kementerian/lembaga dan perangkat daerah. Dengan demikian, pemberdayaan penyandang disabilitas mencakup seluruh sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, serta layanan dan fasilitas publik.

Indonesia telah meratifikasi convention on the rights of persons with disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), mengesahkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, beserta dengan berbagai peraturan turunan sebagai pedoman dan acuan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan pelindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Data Terpilah sebagai Prasyarat Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Meskipun dukungan regulasi dan kebijakan terkait penyandang disabilitas sudah cukup baik dan didukung dengan keberadaan Organisasi Penyandang Disabilitas yang sangat aktif, sebagian penyandang disabilitas masih memiliki keterbatasan dalam mengakses program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan kualitas data terpilah disabilitas yang dapat mengidentifikasi dimana mereka, kondisi mereka, dan kebutuhannya apa. Hal ini sangat mempengaruhi ketepatan penyusunan dan penentuan sasaran program dan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dilaksanakan pada 15 Oktober – 14 November 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi salah satu upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas dan ketersediaan data terpilah penyandang disabilitas di Indonesia. Melalui Regsosek, pemerintah akan memiliki basis data yang tidak hanya menyediakan informasi mengenai kondisi dan tingkat kedisabilitasan seseorang tetapi juga menyediakan data dan informasi mengenai profil kependudukan, tingkat pendidikan, kondisi sosial ekonomi, dan juga tingkat kesejahteraannya.

Baca Juga :  HIPMI Sambut Baik Pertamina Hadirkan 100 Unit Pertashop

Dengan adanya data terpilah lengkap dengan profil dan tingkat kesejahteraannya, pemerintah akan mampu mengidentifikasi tantangan dan kebutuhan penyandang disabilitas sehingga program dan layanan yang diberikan dapat dirancang secara tepat sasaran dan tepat manfaat. Lebih lanjut, ketersediaan data by name by address dan dilengkapi dengan kepemilikan dokumen kependudukan bagi seluruh penduduk akan meningkatkan kepastian penyandang disabilitas untuk mengakses program dan layanan pemerintah. Program dan layanan pemerintah yang dimaksud bukan hanya terbatas pada program perlindungan sosial, tetapi juga program-program yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, pelatihan keterampilan, pemberdayaan, dan lain sebagainya.

Selain itu, berkaca pada pembelajaran pandemi COVID-19 dan berbagai kejadian bencana di Indonesia, data sosial ekonomi seluruh penduduk dengan pengelompokan kesejahteraan juga menjadi hal yang sangat diperlukan untuk memastikan pemerintah dapat memberikan respon yang tepat bagi penyandang disabilitas yang terdampak kejadian tidak terduga.

Perubahan paradigma dan upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara yang setara menjadi sebuah keharusan dan harus dilakukan melalui kolaborasi berbagai pihak -pemerintah, swasta, dan masyarakat. Namun, upaya-upaya yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan tidak akan berdampak secara optimal bagi penyandang disabilitas tanpa didasarkan pada data dan informasi yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan. Regsosek hadir untuk memastikan pelaksanaan pelindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui berbagai program dan kebijakan yang komprehensif dan tepat. (**)

 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya