Friday, March 29, 2024
25.7 C
Jayapura

IDI Berhentikan Permanen Keanggotaan Mantan Menkes Terawan

Berawal Dari Kasus Brain Wash, Dinilai Tidak Ada Iktikad Baik

JAKARTA-Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memutuskan pemberhentian secara permanen mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Sebelumnya pada 2018 lalu Terawan sempat diberhentikan sementara selama 12 bulan.

Keputusan PB IDI tersebut dibacakan dalam Muktamar IDI ke XXXI di Kota Banda Aceh pada 25 Maret lalu. Keputusan penjatuhan sanksi ini dilandasi dari hasil keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat IDI tertanggal 8 Februari 2022.

Dalam suratnya MKEK menyatakan Terawan telah melakukan tindakan pelanggaran etik berat (serious ethical misconduct). Setelah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara pada 2018 hingga 2022 MKEK menilai Terawan tidak menunjukkan iktikad baik untuk melakukan klarifikasi atau sejenisnya. MKEK juga menyebutkan menyampaikan Terawan melakukan promosi kepada masyarakat tentang Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai.

Epidemolog Universitas Indonesia sekaligus anggota IDI Wilayah DKI Jakarta Pandu Riyono mengatakan kasus yang mendera Terawan sudah lama. Bahkan sebelum Terawan diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kesehatan pada 2019 lalu. Dia menegaskan kasus Terawan semula tidak ada kaitannya dengan Vaksin Nusantara.

Pandu mengatakan Terawan sudah diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi, pembelaan, atau sejenisnya pada 2018 lalu. Tetapi kesempatan itu tidak digunakan. Sebagai sejawat sesama dokter, Pandu mengatakan pengurus IDI sejatinya ingin ada iktikad baik dari Terawan.

’’Kalaupun ada sanksi, paling banter pembinaan,’’ katanya. Tetapi ternyata sampai keluar keputusan pemberhentian permanen, tidak ada iktikad baik dari Terawan. Pandu menegaskan IDI tetap mendukung inovasi di dunia kedokteran atau medis. Selama dilakukan dengan kaidah yang benar.

Dia menegaskan sanksi yang dijatuhkan MKEK atau IDI itu murni urusan internal profesi kedokteran. Tidak ada kaitannya dengan urusan politik. Terawan juga tidak bisa berlindung di balik relasinya di kalangan militer maupun politisi.

’’Ini murni internal dan melindungi masyarakat,’’ katanya. Pandu mengatakan bisa dibayangkan bagaimana dampaknya ketika masyarakat disodori sebuah layanan kesehatan yang belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kalaupun berhasil untuk satu atau dua orang, selama belum ada kajian ilmiah, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maupun profesi.

Baca Juga :  Ikut Di-OTT, Tiga Pejabat Pemprov Maluku Utara Diterbangkan ke Markas KPK

Data yang diterima Pandu menunjukkan kasus Terawan terjadi sejak 2013. Saat itu Terawan sebagai terlapor urusan kode etik melakukan tindakan pengobatan terhadap pasien stroke iskemik kronik yang dikenal sebagai BW (brain washing). Praktik dilakukan Terawan sejak 2013 meskipun pada saat itu belum ada evidence based medicine (EBM). Pada saat itu Terawan menyanggupi untuk menuliskan soal BW di majalan Neurologi, tetapi sampai sekarang belum terwujud.

Jawa Pos sudah berusaha menghubungi petinggi pengurus PB IDI tetapi tidak ada respon. Begitupun dengan ponsel Terawan, tetapi tidak berbalas. Jajaran humas PB IDI menyampaikan pengurus baru selesai menjalankan kegiatan akbar di Banda Aceh, sehingga belum ada respon resmi.

DPR RI ikut menyoroti pemecatan Terawan. Anggota Komisi IX Lucy Kurniasari mengatakan, pemecatan Terawan berlebihan dan tidak proporsional. IDI tidak seharusnya memecat mantan menteri kesehatan itu hanya karena dinilai  melanggar etik profesi. “Terawan seharusnya cukup diberi peringatan dan pembinaan agar dapat memperbaiki kesalahan etik,” terangnya kepada Jawa Pos.

Menurut dia, pemecatan itu bisa menjadi preseden bagi profesi kedokteran di tanah air. Para dokter dikhawatirkan akan takut melakukan inovasi di bidang kesehatan yang tidak sesuai dengan pakem yang lazim di dunia kedokteran.

Padahal, kata dia, inovasi kerap kali muncul dari temuan di luar pakem yang ditetapkan suatu profesi. “Kreativitas dalam memodifikasi metode riset kerap dapat mendorong temuan di luar yang diperkirakan sebelumnya,” papar politikus Partai Demokrat itu.

Karena itu, lanjut Lucy, jika semuanya harus mengacu pada pakem profesi, dikhawatirkan dapat membelenggu para dokter menghasilkan inovasi di bidang kesehatan. Para dokter akan mencari jalan aman dengan tetap berlindung pada pakem yang sudah ditetapkan.

Baca Juga :  Pastikan Tak Ada Dwifungsi TNI

Untuk mencegah hal itu terjadi, selayaknya IDI mencabut keputusan terkait pemecatan Terawan. “IDI lebih baik mengedepankan pembinaan terhadap anggotanya agar inovasi di bidang kesehatan di Indonesia tetap berkembang,” tegas Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surabaya itu.

Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menyatakan, pemecatan secara permanen Terawan dari keanggotaan IDI sangat disayangkan. Pasalnya, Terawan adalah salah satu dokter terbaik yang dimiliki Indonesia. Sebagai dokter dan anggota TNI, banyak prestasi yang sudah ditorehkan. Bahkan tidak berlebihan bila disebut bahwa RSPAD menjadi salah satu rumah sakit besar yang berkualitas baik berkat tangan dingin Terawan.

Saleh benar-benar terkejut dengan keputusan itu. Muktamar semestinya dijadikan sebagai wadah konsolidasi dan silaturrahim dalam merajut persatuan. “Kok ini malah dijadikan sebagai wadah pemecatan. Permanen lagi. Ini kan aneh ya,?” tuturnya.

Dia meminta Kementerian Kesehatan untuk mengambil tindakan. Salah satunya, dengan memfasilitasi pertemuan IDI dengan Terawan. Berbagai persoalan dan isu yang beredar harus diselesaikan. Melalui dialog yang baik, semua masalah diharapkan dapat selesai.

Ketua Fraksi PAN DPR RI itu, hanya di Indonesia ada seorang dokter profesional yang dipecat. Tidak tanggung-tanggung, yang dipecat adalah seorang dokter berpangkat Letnan Jenderal dan pernah memimpin RSPAD bertahun-tahun lamanya. “Bahkan, beliau pernah menjabat sebagai menteri kesehatan RI,” jelasnya.

Pemecatan itu tentu tidak bisa dibiarkan. Sebab, akan bisa menjadi preseden buruk ke depan. Dikhawatirkan akan menyusul lagi pemecatan-pemecatan berikut dengan berbagai alasan lain. “Bagaimana tidak? Mantan menteri kesehatan saja bisa dipecat? Apalagi yang lain. Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak boleh tinggal diam. Mohon ini difasilitasi dan didamaikan. Itu pasti lebih baik bagi semua,” tandasnya. (wan/lum/JPG)

Berawal Dari Kasus Brain Wash, Dinilai Tidak Ada Iktikad Baik

JAKARTA-Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memutuskan pemberhentian secara permanen mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Sebelumnya pada 2018 lalu Terawan sempat diberhentikan sementara selama 12 bulan.

Keputusan PB IDI tersebut dibacakan dalam Muktamar IDI ke XXXI di Kota Banda Aceh pada 25 Maret lalu. Keputusan penjatuhan sanksi ini dilandasi dari hasil keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat IDI tertanggal 8 Februari 2022.

Dalam suratnya MKEK menyatakan Terawan telah melakukan tindakan pelanggaran etik berat (serious ethical misconduct). Setelah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara pada 2018 hingga 2022 MKEK menilai Terawan tidak menunjukkan iktikad baik untuk melakukan klarifikasi atau sejenisnya. MKEK juga menyebutkan menyampaikan Terawan melakukan promosi kepada masyarakat tentang Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai.

Epidemolog Universitas Indonesia sekaligus anggota IDI Wilayah DKI Jakarta Pandu Riyono mengatakan kasus yang mendera Terawan sudah lama. Bahkan sebelum Terawan diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kesehatan pada 2019 lalu. Dia menegaskan kasus Terawan semula tidak ada kaitannya dengan Vaksin Nusantara.

Pandu mengatakan Terawan sudah diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi, pembelaan, atau sejenisnya pada 2018 lalu. Tetapi kesempatan itu tidak digunakan. Sebagai sejawat sesama dokter, Pandu mengatakan pengurus IDI sejatinya ingin ada iktikad baik dari Terawan.

’’Kalaupun ada sanksi, paling banter pembinaan,’’ katanya. Tetapi ternyata sampai keluar keputusan pemberhentian permanen, tidak ada iktikad baik dari Terawan. Pandu menegaskan IDI tetap mendukung inovasi di dunia kedokteran atau medis. Selama dilakukan dengan kaidah yang benar.

Dia menegaskan sanksi yang dijatuhkan MKEK atau IDI itu murni urusan internal profesi kedokteran. Tidak ada kaitannya dengan urusan politik. Terawan juga tidak bisa berlindung di balik relasinya di kalangan militer maupun politisi.

’’Ini murni internal dan melindungi masyarakat,’’ katanya. Pandu mengatakan bisa dibayangkan bagaimana dampaknya ketika masyarakat disodori sebuah layanan kesehatan yang belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kalaupun berhasil untuk satu atau dua orang, selama belum ada kajian ilmiah, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maupun profesi.

Baca Juga :  Pemkab Toraja Utara Masih Berlakukan SE Larangan Lintas Hewan

Data yang diterima Pandu menunjukkan kasus Terawan terjadi sejak 2013. Saat itu Terawan sebagai terlapor urusan kode etik melakukan tindakan pengobatan terhadap pasien stroke iskemik kronik yang dikenal sebagai BW (brain washing). Praktik dilakukan Terawan sejak 2013 meskipun pada saat itu belum ada evidence based medicine (EBM). Pada saat itu Terawan menyanggupi untuk menuliskan soal BW di majalan Neurologi, tetapi sampai sekarang belum terwujud.

Jawa Pos sudah berusaha menghubungi petinggi pengurus PB IDI tetapi tidak ada respon. Begitupun dengan ponsel Terawan, tetapi tidak berbalas. Jajaran humas PB IDI menyampaikan pengurus baru selesai menjalankan kegiatan akbar di Banda Aceh, sehingga belum ada respon resmi.

DPR RI ikut menyoroti pemecatan Terawan. Anggota Komisi IX Lucy Kurniasari mengatakan, pemecatan Terawan berlebihan dan tidak proporsional. IDI tidak seharusnya memecat mantan menteri kesehatan itu hanya karena dinilai  melanggar etik profesi. “Terawan seharusnya cukup diberi peringatan dan pembinaan agar dapat memperbaiki kesalahan etik,” terangnya kepada Jawa Pos.

Menurut dia, pemecatan itu bisa menjadi preseden bagi profesi kedokteran di tanah air. Para dokter dikhawatirkan akan takut melakukan inovasi di bidang kesehatan yang tidak sesuai dengan pakem yang lazim di dunia kedokteran.

Padahal, kata dia, inovasi kerap kali muncul dari temuan di luar pakem yang ditetapkan suatu profesi. “Kreativitas dalam memodifikasi metode riset kerap dapat mendorong temuan di luar yang diperkirakan sebelumnya,” papar politikus Partai Demokrat itu.

Karena itu, lanjut Lucy, jika semuanya harus mengacu pada pakem profesi, dikhawatirkan dapat membelenggu para dokter menghasilkan inovasi di bidang kesehatan. Para dokter akan mencari jalan aman dengan tetap berlindung pada pakem yang sudah ditetapkan.

Baca Juga :  Ikut Di-OTT, Tiga Pejabat Pemprov Maluku Utara Diterbangkan ke Markas KPK

Untuk mencegah hal itu terjadi, selayaknya IDI mencabut keputusan terkait pemecatan Terawan. “IDI lebih baik mengedepankan pembinaan terhadap anggotanya agar inovasi di bidang kesehatan di Indonesia tetap berkembang,” tegas Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surabaya itu.

Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menyatakan, pemecatan secara permanen Terawan dari keanggotaan IDI sangat disayangkan. Pasalnya, Terawan adalah salah satu dokter terbaik yang dimiliki Indonesia. Sebagai dokter dan anggota TNI, banyak prestasi yang sudah ditorehkan. Bahkan tidak berlebihan bila disebut bahwa RSPAD menjadi salah satu rumah sakit besar yang berkualitas baik berkat tangan dingin Terawan.

Saleh benar-benar terkejut dengan keputusan itu. Muktamar semestinya dijadikan sebagai wadah konsolidasi dan silaturrahim dalam merajut persatuan. “Kok ini malah dijadikan sebagai wadah pemecatan. Permanen lagi. Ini kan aneh ya,?” tuturnya.

Dia meminta Kementerian Kesehatan untuk mengambil tindakan. Salah satunya, dengan memfasilitasi pertemuan IDI dengan Terawan. Berbagai persoalan dan isu yang beredar harus diselesaikan. Melalui dialog yang baik, semua masalah diharapkan dapat selesai.

Ketua Fraksi PAN DPR RI itu, hanya di Indonesia ada seorang dokter profesional yang dipecat. Tidak tanggung-tanggung, yang dipecat adalah seorang dokter berpangkat Letnan Jenderal dan pernah memimpin RSPAD bertahun-tahun lamanya. “Bahkan, beliau pernah menjabat sebagai menteri kesehatan RI,” jelasnya.

Pemecatan itu tentu tidak bisa dibiarkan. Sebab, akan bisa menjadi preseden buruk ke depan. Dikhawatirkan akan menyusul lagi pemecatan-pemecatan berikut dengan berbagai alasan lain. “Bagaimana tidak? Mantan menteri kesehatan saja bisa dipecat? Apalagi yang lain. Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak boleh tinggal diam. Mohon ini difasilitasi dan didamaikan. Itu pasti lebih baik bagi semua,” tandasnya. (wan/lum/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya