Jokowi Imbau Pemulihan Merata hingga Singgung Krisis Ukraina
JAKARTA – Presiden Joko Widodo membuka pertemuan pertama para menteri dan Gubernur Bank Sentral G20 atau the 1st Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting – G20, kemarin (17/2). Dalam pertemuan yang berlangsung secara hybrid itu, Jokowi menyatakan bahwa saat ini harus ada sinergi antar negara dalam merumuskan kebijakan fiscal dan moneter.
Pada kesempatan itu, Jokowi menekankan bahwa pandemi belum berakhir dan tidak negara yang dapat bangkit sendirian. Semua negara saling terkoneksi dan tidak ada yang terisolasi.
Ia merujuk pada pidato ‘winter is coming’ yang pernah disampaikannya pada pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali 2018 lalu. Kala itu, Jokowi menuai pujian dari berbagai perwakilan negara sahabat dan pejabat penting dunia karena pidato yang menganalogikan keadaan ekonomi dunia dengan serial televisi Game of Thrones itu.
‘’Sebagaimana saya katakan pada IMF-World Bank tahun 2018, the winter is coming dan saat ini winter yang berat benar-benar datang. Pandemi belum berakhir, dan ekonomi dunia masih terguncang,’’ bebernya.
Dalam situasi yang berat seperti ini, ia mengimbau seluruh negara saling bahu membahu mendorong pemulihan. Menurutnya, tidak ada satu negara pun yang bisa bangkit sendiri. Semua negara harus saling terkoneksi, tidak ada yang terisolasi. Itu juga selaras dengan tema G20 yakni ‘Recover Together, Recover Stronger’.
Melihat pandemi Covid-18 ini, arsitektur kesehatan global harus diperkuat. Selain itu juga memfasilitasi transisi energi menuju ekonomi hijau.
Selain mengimbau pemulihan global yang merata, mantan Gubernur DKI itu juga meminta rivalitas yang membahayakan dunia agar dihentikan. Ia pun menyinggung ketegangan yang terjadi di Ukraina.
‘’Bukan saatnya untuk membuat ketegangan baru yang mengganggu pemulihan dunia, apalagi yang membahayakan keselamatan dunia, sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini. Saat ini semua pihak harus menghentikan rivalitas dan ketegangan,’’ jelasnya.
Jokowi optimistis, rangkaian pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral tersebut dalam merumuskan langkah konkret yang bisa segera dilaksanakan. ”Segera tampak hasilnya,” ujarnya.
Menurut Kepala Negara, para negara anggota G20 harus terus bekerja sama dalam mengatasi permasalahan. Misalnya terkait pengendalian inflasi yang terus mningkat, kelangkaan pangan, serta mencegah terjadinya kelaparan.
“Kita juga mempunyai tugas untuk melakukan beberapa transformasi,” ucapnya. Jokowi merincikan transformasi yang dimaksud antara lain terkait transisi ekonomi baru, transformasi digital yang merata. Selain itu harus mendukung usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM).
“Dengan semangat recover together, recover stronger, Indonesia mendorong pembahasan agenda-agenda prioritas dunia,” ucap Jokowi.
Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, untuk mencapai pemulihan yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan pertumbuhan inklusif, penting untuk mengatasi masalah atas luka ekonomi (scarring effect) yang berkepanjangan.
Sebagai salah satu fokus dari G20, Ani juga menyoroti pentingnya isu perubahan iklim yang menjadi ancaman yang lebih besar dari pandemi.
“Masa pandemi merupakan peringatan yang cukup keras kepada kita semua akan betapa rentannya ekonomi global terhadap kejutan-kejutan non tradisional,’’ katanya.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu melanjutkan, seluruh pihak harus mengingat bahwa perubahan iklim dapat menimbulkan dampak yang jauh lebih besar dari pandemi.
‘’Disinilah peran G20 dibutuhkan dalam memerangi perubahan iklim. Bukan hanya dalam penurunan emisi karbon, tetapi juga menemukan skema untuk meningkatkan dan mengarahkan lebih banyak pembiayaan dan investasi pada teknologi berkelanjutan yang memfasilitasi aksi iklim,’’ jelas Ani.
Ani menyebut, kolaborasi berbagai negara sangat diperlukan. Sehingga bisa merumuskan kebijakan bersama agar keluar dari krisis atau exit strategy yang tepat untuk mendukung pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan mengatasi dampak berkepanjangan atau scarring effect.
Adapun pemulihan yang tidak merata menyebabkan pengangguran tinggi, investasi lemah, produktivitas rendah. Jika tidak ditangani dengan baik dan cepat, pasti akan meninggalkan bekas luka atau scarring effect yang berkepanjangan.
Dalam pidatonya, Ani juga menyebut bahwa Indonesia menjadi presidensi G20 di waktu yang sangat menantang. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat RI untuk mengakomodir isu-isu penting yang dibicarakan pada pertemuan G20.
Dia juga menyambut dengan hangat para delegasi dari berbagai negara anggota G20. ‘’Saya harap anda akan menikmati masa tugas anda selama di Jakarta. Tentu ini bukan Bali,’’ jelasnya berceloteh.
Pertemuan itu awalnya memang akan diadakan di Bali, namun harus digeser sesuai survei yang dibagikan kepada peserta atau delegasi G20. Sehingga, agenda itu diadakan di JCC, Jakarta pada 17-18 Februari 2022.
‘’Tapi Anda akan terkejut bahwa Jakarta sangat hijau dan juga merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi kita semua untuk mengadakan pertemuan yang sangat produktif,’’ kata perempuan yang berulang tahun setiap 26 Agustus itu.
Pada pertemuan 1st Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) Meetings ini, negara anggota G20 akan membahas mengenai langkah untuk mengatasi masalah kesehatan, mendorong pemerataan vaksin, mendorong pemulihan ekonomi global lebih merata, hingga arah normalisasi kebijakan fiskal dan moneter. Hasil diskusi dari pertemuan G20 ini akan mengkalibrasi dan merumuskan kebijakan yang tepat untuk keluar dari krisis atau (exit strategy).
Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, perlu kalibrasi, perencanaan, dan komunikasi kebijakan yang baik (well calibrated, well planned, well communicated) oleh setiap negara untuk memulihkan luka ekonomi. Khususnya dalam mendorong produktivitas, investasi, ketenagakerjaan, dan realokasi modal.
Setidaknya, ada enam agenda unggulan pada presidensi G20 tahun ini. Yakni, strategi untuk mendorong pemulihan, mengatasi scarring effect (bekas luka) ekonomi, sistem pembayaran digital, keuangan berkelanjutan, inklusi keuangan, dan perpajakan internasional.
Dia menyatakan pentingnya membahas startegi untuk mendukung pemulihan ekonomi global pasca pandemi Covid-19 di G20. Mengingat, sejumlah negara maju telah melakukan normalisasi kebijakan moneter (tapering off). Hal tersebut berpotensi membuat kondisi keuangan global lebih ketat. Sekaligus menyebabkan arus modal asing keluar (capital outflow) dari negara emerging market.
“Dari latar belakang tersebut, akan membabas bagaimana G20 akan menjaga momentum pemulihan ekonomi global dari sentimen negatif kebijakan setiap negara yang memiliki kemampu berbeda-beda. Sehingga nanti kita kalibrasi, kita rancang, dan dikomunikasikan,” papar Perry.
Mengingat, persebaran SARS-CoV-2 telah mengganggu rantai pasok dan permintaan. Sehingga, membuat roda perekonomian berhenti, meningkatkan angka pengangguran, investasi menurun, dan produktivitas rendah. “Jika tidak ditangani dengan benar, pasti akan meninggalkan scarring effect (ekonomi) yang bertahan lama,” imbuhnya.
Selain itu, pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 telah mengubah pola kebutuhan transaksi masyarakat. Makanya, pemerintah akan fokus pada dua topik. Yaitu, pembayaran lintas batas dan Central bank digital currency (CBDC).
Artinya, G20 menjadi ajang untuk mempromosikan pembayaran lintas batas yang lebih murah, cepat, transparan, dan lebih mudah diakses. Selain itu, juga dapat menjalin kolaborasi yang lebih kuat untuk lebih memahami implikasi CBDC terhadap sistem moneter internasional. Termasuk pada dampak kebijakan ekonomi terhadap suatu negara (spillover) dan aliran modal.
Menurut Perry, pandemi menjadi peringatan bahwa ekonomi global mungkin sangat terpengaruh oleh guncangan non-tradisional. Seperti, perubahan iklim yang juga dapat menimbulkan ancaman serius. Oleh karena itu perlu untuk mengatasi risiko dan membangun kembali menuju pemulihan perkeonomian hijau dan berkelanjutan. Meski demikian, masing-masing negara memiliki kapasitas dan kecepatan yang berbeda dalam menangani masalah tersebut.
“Makanya, agenda keuangan berkelanjutan akan berfokus pada memanfaatkan G20 untuk dapat mendorong transisi yang adil dan terjangkau. Menuju ekonomi rendah karbon dan keuangan berkelanjutan, baik dari perspektif makroekonomi maupun stabilitas keuangan,” jelas alumnus Iowa State University itu.
Di sisi lain, pagebluk juga memperlebar ketimpangan bagi kelompok yang paling rentan dan kurang terlayani. Termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Perry mengatakan, perluasan pembayaran dan ekonomi digital menawarkan jalan untuk meningkatkan akses keuangan bagi UMKM. Dengan harapan, sektor tersebut mampu mendorong pemulihan ekonomi domestik maupun global.
“Secara keseluruhan, agenda untuk tahun 2022 bertujuan untuk memastikan pemulihan yang inklusif, kuat, dan berkelanjutan. Kami percaya bahwa kepemimpinan global G20 memainkan peran penting untuk mencapai hal ini, dan kami berharap dapat melakukan diskusi yang bermanfaat dan konstruktif hari ini,” tandasnya. (dee/lyn/han/JPG)