JAYAPURA-Fenomena pengibaran bendera One Peace yang muncul di sejumlah wilayah Indonesia jelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2025 menjadi sorotan publik.
Meski di Papua belum ditemukan pengibaran bendera tersebut, Direktur Eksekutif Papuan Observator for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufy, mengimbau pemerintah agar tidak panik atau bereaksi berlebihan terhadap fenomena ini.
Menurutnya, pengibaran bendera One Peace merupakan bagian dari kebebasan berekspresi generasi muda serta wujud dinamika demokrasi di Indonesia. “Bendera One Peace ini tidak setara dengan bendera separatis, bahkan tidak tergolong sebagai bendera resmi. Pemerintah tidak perlu panik secara berlebihan,” ujarnya, Minggu (10/8).
Thomas menilai, respons negara seharusnya lebih mengedepankan kebijaksanaan, melihat fenomena ini sebagai refleksi perjalanan bangsa yang telah mencapai usia 80 tahun pasca kemerdekaan. Ia berpendapat, kritik yang disampaikan generasi muda melalui simbol-simbol seperti bendera One Peace perlu dimaknai sebagai koreksi terhadap jalannya negara.
“Anak-anak muda mungkin melihat persoalan negara baik dari sisi hukum, demokrasi, maupun kebijakan yang dianggap diabaikan dan dikendalikan kepentingan oligarki sudah tidak berjalan di rel yang semestinya. Ini sebenarnya koreksi kepada negara, jangan terlalu represif dan vulgar dalam menyikapi fenomena ini,” tuturnya.