Saturday, April 27, 2024
25.7 C
Jayapura

Meninggalnya Dua Warga Binaan Dinilai Janggal

Pihak keluarga, Maikel Alitnowe dan Selyus Logo saat  mengadu ke  LBH Papua dan melakukan jumpa pers di ruang konfrensi pers lembaga bantuan Hukum, Tanah Hitam Selasa (7/6).( FOTO : Noel/Cepos)

JAYAPURA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua) Nilai  kasus kematian dua korban warga binaan Lembaga Permasyarakatan Klas II A Abepura atas nama Maikel Ilintamon (25 Tahun) dan Selyus Logo tida sesuai hak yang ada dalam undang-undang. Karena mengarah pada undang undang HAM No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua)  Eman Gobay mengatakan,  mewakili keluarga korban telah memberikan kuasa kepada LBH untuk mengawali Kasus kematian 2 (dua) orang warga binaan Lembaga Permasyarakatan Klas II A Abepura atas nama Maikel Ilintamon (25 Tahun) dan Selyus Logo.

LBH Papua akan memperjuangkan hak-hak narapidana yang mengalami korban kekerasan. Pada hari Senin 6 Mei 2019 lalu.

Gobay mengatakan, kabar kematian dua orang warga binaan Lemabaga Pemasyarakatan Kelas II A  tersebut menjadi Viral di media Sosial. Dengan menyebutkan penyebab kematian mengalami tindakan kekerasan terhadap penghuni lapas yang mengakibatkan meniggal dunia. Menurutnya kenyaataan itu sangat bertolak belakang dengan penerapan sistim pemasyarakatan yang diatur pada pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1945  Tentang Pemasyarakatan.

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, agar mereka dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab,” kata Emanuel Gobay Kepada wartawan, di ruang konfrensi pers lembaga bantuan Hukum, Tanah Hitam Selasa (7/6).

“Maka kami sudah melakukan penandatanganan kuasa. Kami akan mendapingi keluarga korban sebagai kuasa untuk mengawal keluarga korban untuk mendapatkan hak daripada keluarga korban sesuai dengan perundang undangan yang berlaku,” katanya.

 “Seharusnya, lembaga bisa memberikan  pelatihan pendekatan secara psikologi kepada napi agar napi bisa menyesali dan memperbaiki kelakuan dan menigkkatkan skil skilnya dan bisa kembali ke keluarga dan masyarakat,” kata Gobay.  

Menurut Gobay,  peristiwa yang terjadi tanggal 24 April 2019 berujung pada korban nyawa dan dua orang meniggal dunai secara prinsipil bertentangan dengan undang-undang No. 12 Tahun 1945. Apa yang menimpa mereka secara tidak langsung sudah melanggar hak hak narapida sebagaimana yang dijamin dalam pasal 14 undang-undang 1945 itu sendiri.  

Baca Juga :  Peserta Pemilu Harus Menaati Aturan

“Pada undang undang HAM No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maka lembaga ini  telah benar-benar melakukan pelanggaran hak atas hidup, hak atas rasa aman dan juga, terlepas dari tindakan penyiksaan. Ini yang kemudian kami melihat temuan dari hak hak nara pida itu sendiri,” katanya.

Menurutnya dari peristiwa meninggalnya dua narapidana tersebut pihaknya memiliki saksi orang yang mengetahui dan orang yang melihat langsung. 

“Keluarga yang datang menceriterakan itu kepada kami masuk dalam kategori saksi yang melihat setelah kategori itu terjadi. Kemudian untuk membangun cerita yang menunjukan fakta. Keluarga ini mempunyai inisiatif untuk berupaya mencari keterangan ke rumah sakit. Selain itu mendatangi LP bertemu dengan beberapa petinggi LP. Dan juga ketemu dengan kalapas,” katanya.

Sementara itu, keluargga koorban Laurens Amsal Sama mengatakan pihaknya mengetahui mayat setelah berada di rumah sakit. Namun setelah melihat korban lalu pihaknya menghadap pihak rumah sakit dan ke lembaga pemasyarkatan untuk meminta keterangan terkait penyebab kematian Maikel Ilintamon (25 Tahun). Sebab ketika almarhum dibawa masuk ke rs belum ada keterangan dari pihak lapas. 

“Ada beberapa  teman teman kami mengunjungi Lebaga pemasyarakatan Abepura. Pukul 10 pagi kami kesana. Saat itu kepala lapas ada diluar Jayapura kemudian kami bertemu tiga pejabat lapas yang ada disitu.  Saat pertemuan dengan petugas lapas ini kami terima itu mayat, tanpa ada penjelasan,”katanya. 

Lanjut Sama, berdasarkan  cerita yang didapatkan ketika bertemu pihak LP korban berusaha meloncat dari pagar  untuk keluar. Kemudian ada massa diluar LP yang memukul korban sampai meniggal dunia.

“Setelah melakukan pertemuan bersama dengan pihak lapas, kami meminta keterangan dari pihak dokter dalam surat yang kami dapatkan dari pihak rumah sakit bahwa korban ini terkena cedera lain. Tapi kami tidak terima dengan isi surat tersebut. Namun kami bertemu kepala ruangan dan dokter yang menangani alamarhum dan hingga sampai saat ini pihak keluarga belum mendapatkan keterangan yang jelas.  Kita masyarakat awam sehingga kita mencurigai korban ditembak dengan kondisi alamarhum ketika dirawat dirumah sakit. Karena lukanya tembus hingga kepala belakang dan tanganya patah,  ada tusukan tusukan sebagiaman yang beredar di media social,” katanya. 

Baca Juga :  Mensos Siap Salurkan Bantuan ke RSUD Abepura

Sama mengatakan, awalnya pihak lapas menjelaskan bahwa korban almarhum berusaha untuk melarikan diri dan diamuk massa dan ada pula penjelasan korban terjatuh dan peninggal dunia. sehingga menurutnya informasi yang ada masi simpang siru.

“Maka kami minta siapa sebenarnya pembunuh keluarga kami,” katanya.

Keluarga korban lainnya Fery Yual mengatakan, berdasarkan undang undang dasar 1945  pasal 28 a mengatakan bahhwa setiap orang berhak untuk hidup. Maka mereka yang ada didalam LP itu harus dilindungi berdasarkan undang undang dasar. Dirinya mengaku tidak puas dengan penjelasan Lapas mengenai kematian Maikel Lintamon.

“Lapas Abepura harus bertanggung jawab atas kematian anak kami. Maikel dibilang diamuk masa, kemudian almarhum dibilang jatuh dan kena trotoar akhirnya meniggal dunia. Keterangan dari mereka ini dua versi pertama dari kepala Kalapas bilang dia jatuh dan tiga petugas awal mengatakan bahwa almarhum diamuk massa. Kami akan meminta bantuan kepada LSM Lembaga Bantuan Hukum untuk mencari kebenaran atar terpanggilanya anak kami maikel,” pungkansya.

Sementara itu, Kapolsek Abepura AKP. Abpura Clief G PH Duwith S, Ik  mengatakan soal kasus kematian dua narapidana pihaknya sementara melakukan penyidikan.

“Pengeroyokan ini masalahnya belum ada  alat  bukti,  saya juga tidak bisa menuduh pihak Lapas atau mayarakat yang pukul kita harus ada alat bukti dan kita sementara bekerja,” katanya.

Ia mengatakan hingga kini pihaknya terus berupayah melakukan penyidikan dan mengumpulkan sejumlah alat bukti, jadi polisi tidak tingal diam.

“Saya berani pastikan bahwa anggota kami tidak terlibat dalam kematian 2 korban narapidana tersebut maka kami minta siapuan yang ingin berkomentar terkait kasus ini harus menanyakan kami di pihak Kepolisian karena kami bertanggung jawab untuk setiap kasus yang terjadi di wilayah layanan kami,” katanya, (oel/gin).

Pihak keluarga, Maikel Alitnowe dan Selyus Logo saat  mengadu ke  LBH Papua dan melakukan jumpa pers di ruang konfrensi pers lembaga bantuan Hukum, Tanah Hitam Selasa (7/6).( FOTO : Noel/Cepos)

JAYAPURA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua) Nilai  kasus kematian dua korban warga binaan Lembaga Permasyarakatan Klas II A Abepura atas nama Maikel Ilintamon (25 Tahun) dan Selyus Logo tida sesuai hak yang ada dalam undang-undang. Karena mengarah pada undang undang HAM No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua)  Eman Gobay mengatakan,  mewakili keluarga korban telah memberikan kuasa kepada LBH untuk mengawali Kasus kematian 2 (dua) orang warga binaan Lembaga Permasyarakatan Klas II A Abepura atas nama Maikel Ilintamon (25 Tahun) dan Selyus Logo.

LBH Papua akan memperjuangkan hak-hak narapidana yang mengalami korban kekerasan. Pada hari Senin 6 Mei 2019 lalu.

Gobay mengatakan, kabar kematian dua orang warga binaan Lemabaga Pemasyarakatan Kelas II A  tersebut menjadi Viral di media Sosial. Dengan menyebutkan penyebab kematian mengalami tindakan kekerasan terhadap penghuni lapas yang mengakibatkan meniggal dunia. Menurutnya kenyaataan itu sangat bertolak belakang dengan penerapan sistim pemasyarakatan yang diatur pada pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1945  Tentang Pemasyarakatan.

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, agar mereka dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab,” kata Emanuel Gobay Kepada wartawan, di ruang konfrensi pers lembaga bantuan Hukum, Tanah Hitam Selasa (7/6).

“Maka kami sudah melakukan penandatanganan kuasa. Kami akan mendapingi keluarga korban sebagai kuasa untuk mengawal keluarga korban untuk mendapatkan hak daripada keluarga korban sesuai dengan perundang undangan yang berlaku,” katanya.

 “Seharusnya, lembaga bisa memberikan  pelatihan pendekatan secara psikologi kepada napi agar napi bisa menyesali dan memperbaiki kelakuan dan menigkkatkan skil skilnya dan bisa kembali ke keluarga dan masyarakat,” kata Gobay.  

Menurut Gobay,  peristiwa yang terjadi tanggal 24 April 2019 berujung pada korban nyawa dan dua orang meniggal dunai secara prinsipil bertentangan dengan undang-undang No. 12 Tahun 1945. Apa yang menimpa mereka secara tidak langsung sudah melanggar hak hak narapida sebagaimana yang dijamin dalam pasal 14 undang-undang 1945 itu sendiri.  

Baca Juga :  Stok Bapok Aman, Pengawasan Barang Kedaluwarsa Dibekap BPOM    

“Pada undang undang HAM No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maka lembaga ini  telah benar-benar melakukan pelanggaran hak atas hidup, hak atas rasa aman dan juga, terlepas dari tindakan penyiksaan. Ini yang kemudian kami melihat temuan dari hak hak nara pida itu sendiri,” katanya.

Menurutnya dari peristiwa meninggalnya dua narapidana tersebut pihaknya memiliki saksi orang yang mengetahui dan orang yang melihat langsung. 

“Keluarga yang datang menceriterakan itu kepada kami masuk dalam kategori saksi yang melihat setelah kategori itu terjadi. Kemudian untuk membangun cerita yang menunjukan fakta. Keluarga ini mempunyai inisiatif untuk berupaya mencari keterangan ke rumah sakit. Selain itu mendatangi LP bertemu dengan beberapa petinggi LP. Dan juga ketemu dengan kalapas,” katanya.

Sementara itu, keluargga koorban Laurens Amsal Sama mengatakan pihaknya mengetahui mayat setelah berada di rumah sakit. Namun setelah melihat korban lalu pihaknya menghadap pihak rumah sakit dan ke lembaga pemasyarkatan untuk meminta keterangan terkait penyebab kematian Maikel Ilintamon (25 Tahun). Sebab ketika almarhum dibawa masuk ke rs belum ada keterangan dari pihak lapas. 

“Ada beberapa  teman teman kami mengunjungi Lebaga pemasyarakatan Abepura. Pukul 10 pagi kami kesana. Saat itu kepala lapas ada diluar Jayapura kemudian kami bertemu tiga pejabat lapas yang ada disitu.  Saat pertemuan dengan petugas lapas ini kami terima itu mayat, tanpa ada penjelasan,”katanya. 

Lanjut Sama, berdasarkan  cerita yang didapatkan ketika bertemu pihak LP korban berusaha meloncat dari pagar  untuk keluar. Kemudian ada massa diluar LP yang memukul korban sampai meniggal dunia.

“Setelah melakukan pertemuan bersama dengan pihak lapas, kami meminta keterangan dari pihak dokter dalam surat yang kami dapatkan dari pihak rumah sakit bahwa korban ini terkena cedera lain. Tapi kami tidak terima dengan isi surat tersebut. Namun kami bertemu kepala ruangan dan dokter yang menangani alamarhum dan hingga sampai saat ini pihak keluarga belum mendapatkan keterangan yang jelas.  Kita masyarakat awam sehingga kita mencurigai korban ditembak dengan kondisi alamarhum ketika dirawat dirumah sakit. Karena lukanya tembus hingga kepala belakang dan tanganya patah,  ada tusukan tusukan sebagiaman yang beredar di media social,” katanya. 

Baca Juga :  Di Holtekamp Seorang Nenek Jadi Korban Begal

Sama mengatakan, awalnya pihak lapas menjelaskan bahwa korban almarhum berusaha untuk melarikan diri dan diamuk massa dan ada pula penjelasan korban terjatuh dan peninggal dunia. sehingga menurutnya informasi yang ada masi simpang siru.

“Maka kami minta siapa sebenarnya pembunuh keluarga kami,” katanya.

Keluarga korban lainnya Fery Yual mengatakan, berdasarkan undang undang dasar 1945  pasal 28 a mengatakan bahhwa setiap orang berhak untuk hidup. Maka mereka yang ada didalam LP itu harus dilindungi berdasarkan undang undang dasar. Dirinya mengaku tidak puas dengan penjelasan Lapas mengenai kematian Maikel Lintamon.

“Lapas Abepura harus bertanggung jawab atas kematian anak kami. Maikel dibilang diamuk masa, kemudian almarhum dibilang jatuh dan kena trotoar akhirnya meniggal dunia. Keterangan dari mereka ini dua versi pertama dari kepala Kalapas bilang dia jatuh dan tiga petugas awal mengatakan bahwa almarhum diamuk massa. Kami akan meminta bantuan kepada LSM Lembaga Bantuan Hukum untuk mencari kebenaran atar terpanggilanya anak kami maikel,” pungkansya.

Sementara itu, Kapolsek Abepura AKP. Abpura Clief G PH Duwith S, Ik  mengatakan soal kasus kematian dua narapidana pihaknya sementara melakukan penyidikan.

“Pengeroyokan ini masalahnya belum ada  alat  bukti,  saya juga tidak bisa menuduh pihak Lapas atau mayarakat yang pukul kita harus ada alat bukti dan kita sementara bekerja,” katanya.

Ia mengatakan hingga kini pihaknya terus berupayah melakukan penyidikan dan mengumpulkan sejumlah alat bukti, jadi polisi tidak tingal diam.

“Saya berani pastikan bahwa anggota kami tidak terlibat dalam kematian 2 korban narapidana tersebut maka kami minta siapuan yang ingin berkomentar terkait kasus ini harus menanyakan kami di pihak Kepolisian karena kami bertanggung jawab untuk setiap kasus yang terjadi di wilayah layanan kami,” katanya, (oel/gin).

Berita Terbaru

Artikel Lainnya