
Vikjen: Secara Hukum, Tanah Itu Tidak Ada Lagi Masalah
MERAUKE- Sejumlah fasilitas pendidikan di bawah Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) yang berada di Jalan Misi Merauke dipalang oleh sekelompok warga yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat dengan cara memasang sasi berupa daun kelapa muda dipintu-pintu masuk sekolah, Selasa (28/1).
Sekolah yang dipalang, diantaranya SMP YPPK Santo Mikhael, SD YPPK Mikhael, STK YPPK Santo Yakobus, Kantor PSW YPPK dan SMK milik Yayasan Santo Antonius Merauke. Pemalangan ini merupakan yang kesekian kalinya dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Mendapat informasi, pihak Keuskupan Agung Merauke langsung turun ke lapangan. Termasuk dari kepolisian. Selanjutnya, sasi yang dipasang tersebut diturunkan, sehingga proses belajar mengajar di fasilitas pendidikan tersebut bisa berjalan dengan baik. Selanjutnya, dengan pihak yang melakukan pemalangan dengan pihak Yayasan dipertemukan di Aula Mapolres Merauke.
Dalam pertemuan tersebut, kuasa hukum dari Keuskupan Agung Merauke Aloysius Dumatubun, SH mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak lagi melakukan pemalangan terhadap fasilitas sekolah tersebut. Karena dari sisi hukum, lahan yang ada di Jalan Misi tersebut sudah bersertifikat dan tidak ada lagi masalah.
Apalagi, kata Aloysius Dumatubun, apa yang menjadi tuntutan dari masyarakat tersebut sudah diserahkan ke Dewan untuk membicarakan dengan pihak eksekutif. “Soal hasilnya, kita tunggu saja. Tapi, status tanah secara hukum sudah sah milik Keuskupan. Tinggal secara politik, kita tunggu dari pemerintah keputusannya seperti apa nanti,’’ tandasnya.
Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Agung Merauke Pastor Hengky Kariwop, MSC, menjelaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengajukan gugatan atas tanah mereka. ‘’Tapi, secara hukum ini sudah sah,’’ tandas Pastor Hengky.
Dulu sekitar tahun 1960 , lanjut Hengky Kariwop, tanah di Jalan Misi tersebut milik pemerintah Belanda dan akan membangun. Kemudian pemerintah Belanda minta tempat yang sudah dibuka di sekitar areal Pelabuhan yakni sekitar kantor Pos, rumah jabatan dewan dan sebagainya. ‘’Itu dulu milik misi. Kemudian mereka minta dan misi setuju. Jadi semacam tukar guling,’’ jelasnya.
Setelah tukar guling, kemudian misi membangun sejumlah sekolah yang sedang masih berdiri sampai sekarang. “Jadi itu kawasan pendidikan. Waktu itu, Uskup minta bruder-bruder untuk buka sekolah-sekolah. Sekolah tehnik dan asrama. Semua anak Papua saat itu dilatih. Perkembangan kemudian baru buka sekolah lain,’’ jelasnya.
Ketika itu, lanjut Vikjen Hengky tidak ada persoalan tanah, karena orang tua-tua dulu sudah menyerahkan tanah tersebut untuk pendidikan. (ulo/tri)