
Derita Guru Kontrak yang Honornya Belum Dibayar Selama Enam Bulan
Dampak belum cairnya dana Otsus, menyebabkan sampai akhir Juni 2019, sekitar 300 guru kontrak dari Pemerintah Kabupaten Merauke yang ditempatkan baik di SD, SMP dan SMA-SMK belum digaji oleh pemerintah. Bagaimana suka duka dari para guru honorer tersebut tetap bisa bertahan di tempat tugas?
Laporan: Yulius Sulo_Merauke
Rini, sudah lima tahun menjadi guru kontrak yang ditempatkan di SD YPPK Ngalum Distrik Tubang, Kabupaten Merauke, salah satu disrik pemekaran dari Okaba. Ia mengaku sampai sekarang ini pihaknya belum terima honor dari pemerintah daerah.
“Makanya kami ke dewan mengadu karena beberapa kami ke dinas mempertanyakan soal pembayaran hanya diberi janji. Sehingga kami dewan untuk menyampaikan aspirasi kami dan ternyata mendapat simpati dari para anggota dewan,’’ kata Rini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari -hari tersebut, Rini terpaksa harus mengutang ke kios yang ada di kampung. ‘’Kan kita tidak punya uang. Jadi harapnya dari honor itu ya terpaksa harus ngutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Untungnya yang punya kios masih mau kami ngutang,”ungkap Rini yang mengaku tidak sudah berapa tumpukan utang di kios dekat sekolah tersebut.
Rini mengaku, dirinya bisa tetap bertahan di sekolah tersebut karena anak-anak di kampung tersebut memiliki semangat untuk sekolah. Diakuinya, bahwa pihaknya hanya menerima honor yang diberikan pemerintah. berbeda dengan tenaga kesehatan yang kontrak yang selain diberikan gaji juga ada tunjangan tambahan bagi yang berada di daerah terpencil dan terisolir.
‘’Dulu waktu baru-baru kontrak itu selain gaji yang kami terima, juga ada tambahan bahan makanan. Tapi sekarang semuanya itu sudah tidak ada,’’ terangnya.
Karena itu dia berharap pemerintah bisa segera membayar apa yang sudah menjadi hak mereka tersebut sehingga dapat membayar hutang mereka. ‘’Kami juga perlu makan dan bayar utang kami di kios,” tambahnya
Hal sama diungkapkan Laode Abdullah Abbas, yang bertugas di SD YPPK Waan Kampung Waan, Distrik Waan Kabupaten Merauke. Menurut La Ode, untuk keperluan sehari-hari seperti sabun mandi dan cuci dan kebutuhan lainnya pihaknya harus ngutang ke kios. ‘’Tapi, utang kami dibatasi hanya Rp 3 juta dalam satu semester. Kalau limitnya sudah lewat dari itu, kami sudah tidak bisa bon lagi,’’ katanya.
Diketahui, bahwa Waan merupakan daerah transportasinya sulit selama ini. ‘’Ya, untungnya ada speed boat yang disediakan dari Kimaam ke Waan, tapi teman-teman kami yang dari ibukota Waan ke kampung-kampung kalau tidak ada speed reguler terpaksa carter speed yang biayanya jutaan rupiah,’’ katanya.
Laode mengaku bahwa untuk kebutuhan beras, pihaknya dari Merauke memang sudah membawa beras untuk kebutuhan satu semester. Namun terkadang ada yang membawa perbekalan kurang dari satu semester sehingga ketika berasnya habis harus berbagi. ‘‘Karena di sana memang tidak ada beras. Dulu saat masih ada Raskin, kita disiapkan dari situ. Tapi sekarang tidak ada lagi setelah Raskin tidak ada,’’ katanya.
Arnoldus Permanja, salah satu guru kontrak di SD YPPK Kampung Teri, Distrik Kimaam juga mengungkapkan bahwa untuk mencapai tempat tugasnya tersebut harus menyewa speed dengan harga Rp 1 juta sekali jalan atau jika tak punya uang lagi maka terpaksa harus jalan kaki selama setengah hari.
Di Kampung Teri tersebut, lanjut dia, yang ia lakukan bersama dengan 3 guru kontrak dan 2 guru PNS adalah mengajar lebih dari 160 siswa SD. ‘’Tidak ada pekerjaan lain yang bisa kita lakukan, kalau pulang sekolah untuk mengisi waktu biasa pergi pancing ikan,’’ katanya.
Soal kebutuhan sehari-hari selama di tempat tugas, Arnoldus Permanja mengaku bahwa pihaknya memang sudah membawa perbekalan berupa beras dari Merauke. ‘Kalau berasnya habis ya kita terpaksa pulang. Untuk lauknya kadang masyarakat yang datang bawa ikan,’’ jelasnya. (*/tri)