Bahan bangunan pun mengalami kenaikan harga yang signifikan. Untuk satu rit pasir laut yang harganya Rp 1.000.000, biaya angkutnya bisa mencapai Rp 6.000.000 . Begitu pula dengan semen, yang dikenakan biaya angkut Rp 50.000 per sak, dan balok kayu ukuran 5×10 meter yang ongkos angkutnya Rp 15.000 per batang.
Selain itu, warga yang memiliki kendaraan harus rela mengeluarkan biaya tambahan untuk parkir karena permukiman ini tidak memiliki tempat parkir bagi kendaraan. “Ada parkiran gratis di dekat kantor Bank BRI, tapi risiko kehilangan tinggi,” kata Jamaludin.
Di balik segala tantangan tersebut, warga Perbukitan Barisan memiliki semangat kebersamaan yang luar biasa. Kebersihan lingkungan menjadi prioritas, dengan gotong royong yang dilakukan hampir setiap minggu.
Warga membersihkan selokan dan area sekitar sehingga kawasan ini bebas dari sampah dan nyamuk. Untuk kebutuhan air bersih, warga mengelolanya secara swadaya.
Mata air alami di balik bukit menjadi sumber kehidupan utama. “Kami membangun bak penampung dan pipa ke rumah-rumah warga secara gotong royong. Setiap bulan kami hanya membayar iuran Rp 60.000 untuk perawatannya,” jelas Jamaludin.
Meski kehidupan relatif tenang, risiko kebakaran menjadi perhatian utama. Dengan rumah-rumah yang berdempetan dan akses mobil pemadam kebakaran yang sulit, warga harus selalu waspada.
Namun, sejak Jamaludin tinggal di kawasan itu pada 1979, kebakaran jarang terjadi. “Syukurnya jarang ada kebakaran, tapi kami tetap harus berhati-hati,” katanya.
Dikatakan hidup di ketinggian memberikan ketenangan dan kedamaian tersendiri. Keindahan alam, udara segar, dan pemandangan Kota Jayapura dari ketinggian menjadi pelipur lara di tengah berbagai tantangan hidup. “Kami merasa bersyukur, meskipun ada tantangan, kehidupan di sini jauh lebih tenteram,” tutur Jamaludin.
Tingginya biaya angkut justru membawa berkah bagi para pekerja jasa angkut. Salah satunya adalah La Mere, ia telah bekerja sebagai tukang angkut selama lebih dari 20 tahun.
Dengan pekerjaan ini, La Mere mampu menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya. “Pada hari biasa saya bisa dapat Rp 100.000, tapi kalau ada yang membangun rumah, penghasilan bisa berlipat,” ungkapnya.
Setiap harinya, ia kerap membantu warga mengangkut barang dari jalan utama hingga ke rumah-rumah yang berada di perbukitan. Terkadang, ia menerima panggilan dari warga yang membutuhkan jasanya melalui telepon.
“Kadang saya dapat telepon dari warga yang butuh barang diantar. Saya langsung mengirim barang ke rumah mereka,” ujar La Mere.
Di usianya yang telah memasuki kepala lima, pria asal Buton, Sulawesi Tenggara itu, masih setia menjalani pekerjaannya sebagai tukang angkut barang di Perbukitan Barisan, Kota Jayapura. “Saya merasa nyaman, karena pekerjaan ini juga membantu orang lain,” tuturnya.