Saturday, October 25, 2025
27.8 C
Jayapura

Sempat Dikirim ke Roma, Bertahan Tiga Generasi Karena Menjaga Tradisi

Roti Mayor memiliki beberapa varian rasa seperti cokelat, kacang, nanas, meses, dan hazelnut. Namun rasa kacang tetap menjadi favorit pembeli karena aromanya yang khas dan lembut di lidah. Hidup sederhana tak membuat Yosefina menyerah. Dari hasil berjualan roti, ia berhasil menyekolahkan delapan anaknya hingga selesai, bahkan ada yang kuliah dan meraih gelar sarjana.

“Kalau dipikir, harga Rp 30 ribu itu kecil. Untungnya tipis. Tapi dari sini anak-anak bisa sekolah, bisa hidup baik. Itu yang saya syukuri,” katanya sambil menatap lembut anak bungsunya.

Kini, beberapa anaknya seperti Maikel dan Rosmelinda ikut membantu meneruskan usaha itu. Mereka belajar dari sang ibu tentang arti kerja keras, kesabaran, dan cinta pada tradisi.

Baca Juga :  Miras Jadi Biang Kerok Puluhan Kasus KDRT

“Mama luar biasa,” kata Maikel. “Dari dapur kecil ini, kami bisa besar. Walau alatnya sederhana, hasilnya tetap dicari orang sampai sekarang.” Tak hanya masyarakat lokal, Roti Mayor juga pernah dipesan oleh orang luar negeri.

“Dulu pernah ada tamu dari Italia yang datang ke gereja Katolik di APO Bengkel. Mereka coba roti ini, suka sekali. Saat pulang ke negaranya, mereka bawa beberapa balok,” cerita Yosefina dengan bangga.

Roti Mayor sempat menjadi menu sarapan tetap bagi para biarawati di Gereja Santo Fransiskus APO Bengkel, hingga akhirnya berhenti karena munculnya roti pabrikan. Namun, Yosefina tetap bertahan dengan cara tradisionalnya. Meski sudah puluhan tahun berjuang, hingga kini Yosefina belum pernah mendapat dukungan dari pemerintah atau perbankan.

Baca Juga :  Ancam Keselamatan Pengguna Jalan, Berharap Rutin Dilakukan Pembersihan

Roti Mayor memiliki beberapa varian rasa seperti cokelat, kacang, nanas, meses, dan hazelnut. Namun rasa kacang tetap menjadi favorit pembeli karena aromanya yang khas dan lembut di lidah. Hidup sederhana tak membuat Yosefina menyerah. Dari hasil berjualan roti, ia berhasil menyekolahkan delapan anaknya hingga selesai, bahkan ada yang kuliah dan meraih gelar sarjana.

“Kalau dipikir, harga Rp 30 ribu itu kecil. Untungnya tipis. Tapi dari sini anak-anak bisa sekolah, bisa hidup baik. Itu yang saya syukuri,” katanya sambil menatap lembut anak bungsunya.

Kini, beberapa anaknya seperti Maikel dan Rosmelinda ikut membantu meneruskan usaha itu. Mereka belajar dari sang ibu tentang arti kerja keras, kesabaran, dan cinta pada tradisi.

Baca Juga :  Menikmati Boga Bahari di Rumah Kelahiran Basuki Rahmat

“Mama luar biasa,” kata Maikel. “Dari dapur kecil ini, kami bisa besar. Walau alatnya sederhana, hasilnya tetap dicari orang sampai sekarang.” Tak hanya masyarakat lokal, Roti Mayor juga pernah dipesan oleh orang luar negeri.

“Dulu pernah ada tamu dari Italia yang datang ke gereja Katolik di APO Bengkel. Mereka coba roti ini, suka sekali. Saat pulang ke negaranya, mereka bawa beberapa balok,” cerita Yosefina dengan bangga.

Roti Mayor sempat menjadi menu sarapan tetap bagi para biarawati di Gereja Santo Fransiskus APO Bengkel, hingga akhirnya berhenti karena munculnya roti pabrikan. Namun, Yosefina tetap bertahan dengan cara tradisionalnya. Meski sudah puluhan tahun berjuang, hingga kini Yosefina belum pernah mendapat dukungan dari pemerintah atau perbankan.

Baca Juga :  Perlunya Kolaborasi Untuk Masalah Stunting

Berita Terbaru

Artikel Lainnya