Saturday, May 24, 2025
31.7 C
Jayapura

Ada Sosok Mon yang Merupakan Orang Pilihan dan Fan Nanggi Sebagai Ucap Syukur

Upacara ini dipimpin oleh “Mon”, seorang petuah adat yang memiliki kemampuan khusus untuk memanggil roh dan berkomunikasi dengan alam. “Mon itu bukan orang sembarangan, orang tertentu saja,” tegas Dance Warnares. Setelah upacara, makanan pun dibagi-bagikan dan dinikmati bersama.

Seiring berjalannya waktu, FBM mengalami banyak modifikasi. Dance Warnares menyayangkan, terkadang hasil Snap Mor tidak maksimal karena masyarakat tidak sepenuhnya mengikuti aturan adat yang diwariskan leluhur. Ia mengenang pengalaman sukses di Pantai Mnur War, Tanjung Barari Biak Timur sekitar tahun 2011, saat ia masih menjadi ajudan Bupati Maryen.

“Itu luar biasa, semua orang yang pergi ke sana bawa hasil tangkapan yang banyak, seluruh warga kota ramai ke sana,” kenangnya.

Meskipun wilayah adat memiliki kesamaan, karena orang Biak adalah satu suku dengan bahasa yang berbeda dialek, praktik adat istiadatnya tetap sama, termasuk penggunaan akar tuba sebagai cara tradisional menangkap ikan.

Baca Juga :  Gemilang Emas Hijau Papua  Mendunia

“Dia racun ikan dengan akar tuba. Ditumbuk dan disebar di laut, ikan yang kena itu akan keluar. Seperti potasium tapi ini alami dan aman dikonsumsi manusia,” jelasnya.

Sebagai salah satu penggagas, Dance Warnares berharap agar para penggagas selalu dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan event berskala nasional ini.

“Kalau tidak, alam akan berseteru dengan pelaksana. Ke depan harapan kita selalu kita dilibatkan dalam koordinasi kerjasama yang baik, kegiatan bisa berjalan dengan bagus bisa menghasilkan pendapatan bagi masyarakat,” harapnya.

Ia merasa, terkadang para penggagas “duduk dan kesal” karena tidak dilibatkan, yang dapat mempengaruhi jalannya acara. Sejak pensiun pada tahun 2020, keterlibatannya memang semakin berkurang. Bersama Harun Rumkorem, penggagas lainnya, Dance Warnares bahkan telah mengangkat isu hak intelektual atas karya cipta ini di Dewan Kesenian Kabupaten Biak Numfor.

Baca Juga :  Aksi Mogok Belum Direspon, Pertalite Sering Langka Makin Memberatkan

Kisah Festival Munara Wampasi, atau yang dulunya dikenal sebagai Munara Syor Wampasi, adalah cerminan kekayaan budaya Biak yang tak lekang oleh waktu. Dari pesan tulus almarhum Bupati Yusuf Melianus Maryen yang masih terukir di benak para penggagasnya, festival ini bukan sekadar perhelatan semata.

Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, tradisi, dan harapan masa depan, sebuah warisan yang harus terus dijaga, dikembangkan, dan dihargai, agar identitas Biak tetap lestari dalam setiap pasang surutnya. (*).

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Upacara ini dipimpin oleh “Mon”, seorang petuah adat yang memiliki kemampuan khusus untuk memanggil roh dan berkomunikasi dengan alam. “Mon itu bukan orang sembarangan, orang tertentu saja,” tegas Dance Warnares. Setelah upacara, makanan pun dibagi-bagikan dan dinikmati bersama.

Seiring berjalannya waktu, FBM mengalami banyak modifikasi. Dance Warnares menyayangkan, terkadang hasil Snap Mor tidak maksimal karena masyarakat tidak sepenuhnya mengikuti aturan adat yang diwariskan leluhur. Ia mengenang pengalaman sukses di Pantai Mnur War, Tanjung Barari Biak Timur sekitar tahun 2011, saat ia masih menjadi ajudan Bupati Maryen.

“Itu luar biasa, semua orang yang pergi ke sana bawa hasil tangkapan yang banyak, seluruh warga kota ramai ke sana,” kenangnya.

Meskipun wilayah adat memiliki kesamaan, karena orang Biak adalah satu suku dengan bahasa yang berbeda dialek, praktik adat istiadatnya tetap sama, termasuk penggunaan akar tuba sebagai cara tradisional menangkap ikan.

Baca Juga :  Gandeng ISBI Bandung, Berharap Tampilan Seni Bila Lebih Variatif

“Dia racun ikan dengan akar tuba. Ditumbuk dan disebar di laut, ikan yang kena itu akan keluar. Seperti potasium tapi ini alami dan aman dikonsumsi manusia,” jelasnya.

Sebagai salah satu penggagas, Dance Warnares berharap agar para penggagas selalu dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan event berskala nasional ini.

“Kalau tidak, alam akan berseteru dengan pelaksana. Ke depan harapan kita selalu kita dilibatkan dalam koordinasi kerjasama yang baik, kegiatan bisa berjalan dengan bagus bisa menghasilkan pendapatan bagi masyarakat,” harapnya.

Ia merasa, terkadang para penggagas “duduk dan kesal” karena tidak dilibatkan, yang dapat mempengaruhi jalannya acara. Sejak pensiun pada tahun 2020, keterlibatannya memang semakin berkurang. Bersama Harun Rumkorem, penggagas lainnya, Dance Warnares bahkan telah mengangkat isu hak intelektual atas karya cipta ini di Dewan Kesenian Kabupaten Biak Numfor.

Baca Juga :  Kelapa yang Biasa Dijual Murah, Kini Diharapkan Bisa Bernilai Ekonomi Tinggi

Kisah Festival Munara Wampasi, atau yang dulunya dikenal sebagai Munara Syor Wampasi, adalah cerminan kekayaan budaya Biak yang tak lekang oleh waktu. Dari pesan tulus almarhum Bupati Yusuf Melianus Maryen yang masih terukir di benak para penggagasnya, festival ini bukan sekadar perhelatan semata.

Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, tradisi, dan harapan masa depan, sebuah warisan yang harus terus dijaga, dikembangkan, dan dihargai, agar identitas Biak tetap lestari dalam setiap pasang surutnya. (*).

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya