Namun lewat kebijakan Fredriks Y Hisage ia memutuskan siapapun dia terlebih orang asli Papua apakah memiliki identitas ataupun tidak maka harus tetap dilayani. “Karena bagi saya kelengkapan administrasi seperti identitas pasien itu bisa dikemudiankan. Bisa menyusul jadi pelayanan tetap harus jalan, karena ini soal nyawa. Jangan karena kertas akhirnya penyakit tambah parah dan akhirnya meninggal,” jelasnya.
“Tidak boleh ada nyawa yang terhenti hanya karena kendala biaya atau dokumen. Pasien tetap harus ditangani, apa pun risikonya,” tegasnya. Bahkan, beberapa kali Fredriks rela menjadikan dirinya sebagai penjamin ketika ada pasien yang membutuhkan pelayanan medis darurat namun terkendala biaya dan dokumen administrasi.
“Saya lebih baik menaruh jabatan saya sebagai jaminan, asal pasien tetap ditangani. Karena nyawa orang tidak bisa ditukar dengan administrasi atau apapun,” ungkapnya. Ini juga tak lepas dari kondisi ekonomi pasien khususnya wilayah Muara Tami yang sebagian besar bekerja sebagai petani.
“Kadang juga, setelah berobat mereka mengeluh tidak ada kendaraan, saya langsung perintahkan ambulance untuk antara ke rumah, biasanya saya selipkan sedikit uang untuk ongkos taksi agar mereka bisa pulang setelah mendapat pelayanan,” akunya.
Dari 20 pasien yang digratiskan ini, beban administrasi yang paling besar menurutnya ada yang sebesar Rp 40 juta sementara kasus yang paling banyak ditemui adalah, korban atau pasien yang datang karena gigitan ular.
“Obat anti bisa ular ini memang sangat mahal. Dalam satu pasien bisa menghabiskan 5-7 CC, sementara untuk harga 1 strep CC harganya bisa 5 juta – 6 Juta, dan saat ini cuma RS Ramela yang punya obat anti bisa ular ini di kota jayapura, ” ungkapnya.