Friday, November 28, 2025
28 C
Jayapura

Uang Tak Bisa Gantikan Nyawa, Kadang Selipkan Uang Taxi Juga Untuk Pasien

Namun lewat kebijakan Fredriks Y Hisage ia memutuskan siapapun dia terlebih orang asli Papua apakah memiliki identitas ataupun tidak maka harus tetap dilayani. “Karena bagi saya kelengkapan administrasi seperti identitas pasien itu bisa dikemudiankan. Bisa menyusul jadi pelayanan tetap harus jalan, karena ini soal nyawa. Jangan karena kertas akhirnya penyakit tambah parah dan akhirnya meninggal,” jelasnya.

“Tidak boleh ada nyawa yang terhenti hanya karena kendala biaya atau dokumen. Pasien tetap harus ditangani, apa pun risikonya,” tegasnya. Bahkan, beberapa kali Fredriks rela menjadikan dirinya sebagai penjamin ketika ada pasien yang membutuhkan pelayanan medis darurat namun terkendala biaya dan dokumen administrasi.

“Saya lebih baik menaruh jabatan saya sebagai jaminan, asal pasien tetap ditangani. Karena nyawa orang tidak bisa ditukar dengan administrasi atau apapun,” ungkapnya. Ini juga tak lepas dari kondisi ekonomi pasien khususnya wilayah Muara Tami yang sebagian besar bekerja sebagai petani.

Baca Juga :  Dorong Pengembangan  RS Pusat Penelitian di Perbatasan Negara

“Kadang juga, setelah berobat mereka mengeluh tidak ada kendaraan, saya langsung perintahkan ambulance untuk antara ke rumah, biasanya saya selipkan sedikit uang untuk ongkos taksi agar mereka bisa pulang setelah mendapat pelayanan,” akunya.

Dari 20 pasien yang digratiskan ini, beban administrasi yang paling besar menurutnya ada yang sebesar Rp 40 juta sementara kasus yang paling banyak ditemui adalah, korban atau pasien yang datang karena gigitan ular.

“Obat anti bisa ular ini memang sangat mahal. Dalam satu pasien bisa menghabiskan 5-7 CC, sementara untuk harga 1 strep CC harganya bisa 5 juta – 6 Juta, dan saat ini cuma RS Ramela yang punya obat anti bisa ular ini di kota jayapura, ” ungkapnya.

Baca Juga :  BPBD Antisipasi Pohon Tumbang di Musim Hujan

Namun lewat kebijakan Fredriks Y Hisage ia memutuskan siapapun dia terlebih orang asli Papua apakah memiliki identitas ataupun tidak maka harus tetap dilayani. “Karena bagi saya kelengkapan administrasi seperti identitas pasien itu bisa dikemudiankan. Bisa menyusul jadi pelayanan tetap harus jalan, karena ini soal nyawa. Jangan karena kertas akhirnya penyakit tambah parah dan akhirnya meninggal,” jelasnya.

“Tidak boleh ada nyawa yang terhenti hanya karena kendala biaya atau dokumen. Pasien tetap harus ditangani, apa pun risikonya,” tegasnya. Bahkan, beberapa kali Fredriks rela menjadikan dirinya sebagai penjamin ketika ada pasien yang membutuhkan pelayanan medis darurat namun terkendala biaya dan dokumen administrasi.

“Saya lebih baik menaruh jabatan saya sebagai jaminan, asal pasien tetap ditangani. Karena nyawa orang tidak bisa ditukar dengan administrasi atau apapun,” ungkapnya. Ini juga tak lepas dari kondisi ekonomi pasien khususnya wilayah Muara Tami yang sebagian besar bekerja sebagai petani.

Baca Juga :  Masa Jabatan Pj. Kepala Kampung Koteng dan Holtekamp Diperpanjang

“Kadang juga, setelah berobat mereka mengeluh tidak ada kendaraan, saya langsung perintahkan ambulance untuk antara ke rumah, biasanya saya selipkan sedikit uang untuk ongkos taksi agar mereka bisa pulang setelah mendapat pelayanan,” akunya.

Dari 20 pasien yang digratiskan ini, beban administrasi yang paling besar menurutnya ada yang sebesar Rp 40 juta sementara kasus yang paling banyak ditemui adalah, korban atau pasien yang datang karena gigitan ular.

“Obat anti bisa ular ini memang sangat mahal. Dalam satu pasien bisa menghabiskan 5-7 CC, sementara untuk harga 1 strep CC harganya bisa 5 juta – 6 Juta, dan saat ini cuma RS Ramela yang punya obat anti bisa ular ini di kota jayapura, ” ungkapnya.

Baca Juga :  Pesta Rakyat Warnai Puncak HUT RI Ke-80 di Kota Jayapura

Berita Terbaru

Artikel Lainnya