Monday, December 23, 2024
26.7 C
Jayapura

Susanti Itu Simbol Terima Kasih dan Persaudaraan Malaysia-Indonesia 

Ke Tempat Upin-Ipin Dilahirkan, Dibesarkan, hingga Jadi Serial Ikonik

Upin-Ipin dibiarkan botak dan tak punya ayah-ibu itu semata karena demi memenuhi tenggat kejar tayang. Ada sesi es krim saat sulih suara, ada papan kayu untuk dapatkan suara lari di rumah Opa.

Tri Mujoko Bayuaji, Selangor

SEMUA bermula dari terusiknya Hajah Ainon Ariff atas kegiatan sang suami, Haji Burhanuddin Md. Razzi, setelah pensiun dari bisnis minyak. Hampir setiap hari lulusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung itu bermain golf. Ainon yang memiliki minat seni lalu meminta sang suami mendirikan rumah produksi film.

’’Awalnya saya tidak mau karena produksi film itu berat biayanya,’’ ujar Burhanuddin kepada rombongan pewarta Indonesia-Malaysia yang tergabung dalam Iswami di Selangor pada 29 Juni lalu.

Sebelum pensiun pada 2003 itu, selama sekitar 10 tahun Burhanuddin sempat bekerja di Petronas Malaysia, sebelum akhirnya membuka usaha sendiri bersama kolega. Jadi, dia memang tak punya pengalaman sama sekali dalam dunia sinema. ’’Namun, Ibu Ainon bilang kalau itu nantinya produksi film animasi,” kata Burhanuddin.

Burhanuddin pun tertarik. Dengan modal 40 juta ringgit, Burhanuddin dan Ainon akhirnya mendirikan Les’ Copaque Production (LCP).

Dari studio berlokasi di Shah Alam, Selangor, yang didirikan pada 2007, dengan dana yang terbatas, lahirlah Upin-Ipin, serial yang demikian populer dan ikoniknya, termasuk di Indonesia. Serial tentang dua buyung kembar dan dunia di sekelilingnya di kampung imajiner Durian Runtuh itu saat ini juga sudah bisa dinikmati di berbagai platform. Tidak hanya televisi dan YouTube, tapi juga di siaran streaming berbayar Disney+.

’’Upin-Ipin juga sudah diterjemahkan dengan berbagai bahasa,’’ kata Manajer Pemasaran Les’ Copaque Karyabudi Mohd Aris.

Ketika LCP baru berdiri, produksi animasi mulai tumbuh di Malaysia. Banyak rumah produksi membuat film animasi lokal dengan kiblat budaya Barat. Jalan berbeda dipilih Burhanuddin dan Ainon.

Mereka mengkreasi Upin-Ipin dengan konten budaya Melayu yang kental. ’’Kami ingin memperkenalkan karakter asli dari Malaysia,’’ ujar Burhanuddin, managing director sekaligus pengisi suara Atok Dalang di serial tersebut.

Produksi pun dibuat dengan dana yang terbatas. Karyawan yang bekerja saat itu hanya delapan orang. Target pun dipasang. Bahwa Upin-Ipin harus tayang perdana pada Ramadan 2007. Alasan kejar tayang itu yang membuat Upin-Ipin berkepala botak hingga sekarang.

Baca Juga :  Pasca Lebaran, Pembagian Lapak Los Belum Juga Ada Kepastian

’’Karena kalau pakai rambut, rendering-nya (proses animasi, Red) lebih mahal. Maka ya sudah, botaklah mereka,’’ kata Burhanuddin seraya tergelak.

Kenapa Upin-Ipin yatim piatu juga awal mulanya karena kejar tayang. Menurut Burhanuddin, saat itu sudah tidak cukup waktu lagi untuk membuat karakter ayah dan ibu. Upin-Ipin beserta kakak mereka, Kak Ros, pun berada dalam asuhan Opa, sang nenek.  ’’Karena itu, sampai sekarang pun, wajah ayah dan ibu tidak pernah kami tunjukkan,’’ ujarnya.

Awal-awal produksi Upin-Ipin juga penuh aral. Burhanuddin mengenang, tidak mudah menjual produk animasi buntut ketatnya persaingan. Selama dua tahun pertama, pemasukan seret. ’’Tapi, karyawan tetap saya gaji. Bahkan ada juga bonus,’’ ungkapnya.

Upin-Ipin mulai tumbuh pesat memasuki 2012. Negeri tetangga, Indonesia, menjadi pasar utama. Sebanyak 51 persen pemasukan LCP berasal dari penayangan Upin-Ipin oleh MNC TV. Selebihnya, pemasukan berasal dari YouTube, sponsor, dan Astro, stasiun televisi berbayar di Malaysia.

Aris menyebut konsistensi menjadi kunci animasi Upin-Ipin sehingga bisa berkembang dan dikenal secara global. ’’Nilai-nilai dasar seorang anak, pendidikan kepada anak, menjadi ciri khas Upin-Ipin selama ini,’’ kata Aris.

Jawa Pos bersama rombongan Iswami diberi kesempatan menyaksikan langsung produksi Upin-Ipin dan animasi LCP lain. Ada sejumlah departemen yang terlibat. Mulai departemen skrip dan storyboard, audio, seni, modeling, compositor, hingga animasi.

Untuk pekerjaan rutinnya adalah mengerjakan animasi Upin-Ipin yang kini memasuki musim ke-16. Selain itu, saat ini LCP sibuk menggarap produksi Puteri Kasturi, sebuah film spin off dari Upin Ipin The Movie, Keris Siamang Tunggal. Masing-masing departemen itu rata-rata memiliki tenggat yang seragam: tujuh hari untuk menuntaskan setiap episode.

Departemen yang pertama dikunjungi adalah skrip dan storyboard. Di sinilah kisah Upin-Ipin setiap musim bermula. Jika dibandingkan saat LCP berdiri, karyawannya saat ini sudah mencapai ratusan. Belasan staf terlihat sibuk di depan layar komputer masing-masing untuk mempersiapkan naskah dan storyboard.

Baca Juga :  Tak Hanya Telephone, Masyarakat di Kampung 3T Sudah Bisa Video Call

Khusus untuk naskah, ada sosok Nur Naquyah Burhanuddin. Sesuai namanya, dia adalah anak dari Burhanuddin dan Ainon. Nur berperan menjaga konsistensi menghidupkan pesan moral dari setiap episode Upin-Ipin. ’’Naskah ini harus lolos dari seleksi ibu, sebelum divisualkan dalam storyboard,’’ kata Nur.

Setiap naskah tentu harus disulih suara, mendapat latar belakang musik dan suasana. Proses dubbing itu dilakukan di departemen audio. Sutradara musik dan audio Mohd Zaki Ishak mengajak rombongan Iswami ke salah satu ruangan dubbing. Ruang dubbing itu legendaris, karena Upin-Ipin The Movie pertama, yakni Geng Pengembaraan Bermula, direkam di ruangan itu.

’’Waktu itu Asyiela Putri (pengisi suara Upin dan Ipin, Red) masih kecil. Sekarang Asyiela sudah kuliah,’’ kata Zaki.

Zaki mengaku, proses sulih suara tidaklah mudah. Terutama, jika yang direkam adalah suara anak-anak langsung. Dirinya tidak hanya berperan sebagai sutradara, tapi juga pengasuh. ’’Kalau lelah, pasti tidak mau. Dikasih es krim dulu biar mereka senang. Lalu kemudian direkam lagi,’’ ujarnya.

Menurut Zaki, tidak hanya dubbing, suara musik dan latar belakang juga direkam langsung di ruangan itu. Misalnya saja suara kaki Upin-Ipin saat berlari di rumah Opa. Di dalam ruangan itu, sudah disiapkan papan kayu yang digunakan untuk merekam momen itu. Begitu pun dengan alat properti lain juga sudah disiapkan. ’’Setiap rekaman biasanya kami simpan dalam bank data. Kami akan merekam baru jika ada scene baru,’’ kata Zaki.

Di akhir kunjungan, Burhanuddin tak lupa berterima kasih kepada masyarakat Indonesia. Berkat anak-anak Indonesia, Upin-Ipin bisa berkembang hingga sekarang. Salah satu rasa bentuk terima kasihnya adalah munculnya sosok Susanti, teman bermain Upin-Ipin yang diceritakan berasal dari Jakarta. ’’Susanti itu bukan karakter sembarangan. Saya sangat strict dengan tim produksi terhadap Susanti,’’ kata Burhanuddin.

Menurut dia, sosok Susanti bukanlah anak yatim piatu. Dia adalah anak ekspatriat Indonesia yang bertugas di Malaysia. Dengan karakter serinci itu, pemilihan pengisi suara Susanti juga sangat selektif. Dalam cerita, dialek Susanti memang terdengar masih sangat Indonesia, termasuk diksi-diksinya.

’’Karakter Susanti adalah simbol persaudaraan antara Malaysia dengan Indonesia,’’ pungkasnya. (*/c17/ttg/JPG)

Ke Tempat Upin-Ipin Dilahirkan, Dibesarkan, hingga Jadi Serial Ikonik

Upin-Ipin dibiarkan botak dan tak punya ayah-ibu itu semata karena demi memenuhi tenggat kejar tayang. Ada sesi es krim saat sulih suara, ada papan kayu untuk dapatkan suara lari di rumah Opa.

Tri Mujoko Bayuaji, Selangor

SEMUA bermula dari terusiknya Hajah Ainon Ariff atas kegiatan sang suami, Haji Burhanuddin Md. Razzi, setelah pensiun dari bisnis minyak. Hampir setiap hari lulusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung itu bermain golf. Ainon yang memiliki minat seni lalu meminta sang suami mendirikan rumah produksi film.

’’Awalnya saya tidak mau karena produksi film itu berat biayanya,’’ ujar Burhanuddin kepada rombongan pewarta Indonesia-Malaysia yang tergabung dalam Iswami di Selangor pada 29 Juni lalu.

Sebelum pensiun pada 2003 itu, selama sekitar 10 tahun Burhanuddin sempat bekerja di Petronas Malaysia, sebelum akhirnya membuka usaha sendiri bersama kolega. Jadi, dia memang tak punya pengalaman sama sekali dalam dunia sinema. ’’Namun, Ibu Ainon bilang kalau itu nantinya produksi film animasi,” kata Burhanuddin.

Burhanuddin pun tertarik. Dengan modal 40 juta ringgit, Burhanuddin dan Ainon akhirnya mendirikan Les’ Copaque Production (LCP).

Dari studio berlokasi di Shah Alam, Selangor, yang didirikan pada 2007, dengan dana yang terbatas, lahirlah Upin-Ipin, serial yang demikian populer dan ikoniknya, termasuk di Indonesia. Serial tentang dua buyung kembar dan dunia di sekelilingnya di kampung imajiner Durian Runtuh itu saat ini juga sudah bisa dinikmati di berbagai platform. Tidak hanya televisi dan YouTube, tapi juga di siaran streaming berbayar Disney+.

’’Upin-Ipin juga sudah diterjemahkan dengan berbagai bahasa,’’ kata Manajer Pemasaran Les’ Copaque Karyabudi Mohd Aris.

Ketika LCP baru berdiri, produksi animasi mulai tumbuh di Malaysia. Banyak rumah produksi membuat film animasi lokal dengan kiblat budaya Barat. Jalan berbeda dipilih Burhanuddin dan Ainon.

Mereka mengkreasi Upin-Ipin dengan konten budaya Melayu yang kental. ’’Kami ingin memperkenalkan karakter asli dari Malaysia,’’ ujar Burhanuddin, managing director sekaligus pengisi suara Atok Dalang di serial tersebut.

Produksi pun dibuat dengan dana yang terbatas. Karyawan yang bekerja saat itu hanya delapan orang. Target pun dipasang. Bahwa Upin-Ipin harus tayang perdana pada Ramadan 2007. Alasan kejar tayang itu yang membuat Upin-Ipin berkepala botak hingga sekarang.

Baca Juga :  Rindu Kembali Belajar di Sekolah, Berharap Guru Latih Siswa Hadapi Situasi

’’Karena kalau pakai rambut, rendering-nya (proses animasi, Red) lebih mahal. Maka ya sudah, botaklah mereka,’’ kata Burhanuddin seraya tergelak.

Kenapa Upin-Ipin yatim piatu juga awal mulanya karena kejar tayang. Menurut Burhanuddin, saat itu sudah tidak cukup waktu lagi untuk membuat karakter ayah dan ibu. Upin-Ipin beserta kakak mereka, Kak Ros, pun berada dalam asuhan Opa, sang nenek.  ’’Karena itu, sampai sekarang pun, wajah ayah dan ibu tidak pernah kami tunjukkan,’’ ujarnya.

Awal-awal produksi Upin-Ipin juga penuh aral. Burhanuddin mengenang, tidak mudah menjual produk animasi buntut ketatnya persaingan. Selama dua tahun pertama, pemasukan seret. ’’Tapi, karyawan tetap saya gaji. Bahkan ada juga bonus,’’ ungkapnya.

Upin-Ipin mulai tumbuh pesat memasuki 2012. Negeri tetangga, Indonesia, menjadi pasar utama. Sebanyak 51 persen pemasukan LCP berasal dari penayangan Upin-Ipin oleh MNC TV. Selebihnya, pemasukan berasal dari YouTube, sponsor, dan Astro, stasiun televisi berbayar di Malaysia.

Aris menyebut konsistensi menjadi kunci animasi Upin-Ipin sehingga bisa berkembang dan dikenal secara global. ’’Nilai-nilai dasar seorang anak, pendidikan kepada anak, menjadi ciri khas Upin-Ipin selama ini,’’ kata Aris.

Jawa Pos bersama rombongan Iswami diberi kesempatan menyaksikan langsung produksi Upin-Ipin dan animasi LCP lain. Ada sejumlah departemen yang terlibat. Mulai departemen skrip dan storyboard, audio, seni, modeling, compositor, hingga animasi.

Untuk pekerjaan rutinnya adalah mengerjakan animasi Upin-Ipin yang kini memasuki musim ke-16. Selain itu, saat ini LCP sibuk menggarap produksi Puteri Kasturi, sebuah film spin off dari Upin Ipin The Movie, Keris Siamang Tunggal. Masing-masing departemen itu rata-rata memiliki tenggat yang seragam: tujuh hari untuk menuntaskan setiap episode.

Departemen yang pertama dikunjungi adalah skrip dan storyboard. Di sinilah kisah Upin-Ipin setiap musim bermula. Jika dibandingkan saat LCP berdiri, karyawannya saat ini sudah mencapai ratusan. Belasan staf terlihat sibuk di depan layar komputer masing-masing untuk mempersiapkan naskah dan storyboard.

Baca Juga :  Latihan Pagi Sore, 30 Capaska Siap Jalankan Tugas

Khusus untuk naskah, ada sosok Nur Naquyah Burhanuddin. Sesuai namanya, dia adalah anak dari Burhanuddin dan Ainon. Nur berperan menjaga konsistensi menghidupkan pesan moral dari setiap episode Upin-Ipin. ’’Naskah ini harus lolos dari seleksi ibu, sebelum divisualkan dalam storyboard,’’ kata Nur.

Setiap naskah tentu harus disulih suara, mendapat latar belakang musik dan suasana. Proses dubbing itu dilakukan di departemen audio. Sutradara musik dan audio Mohd Zaki Ishak mengajak rombongan Iswami ke salah satu ruangan dubbing. Ruang dubbing itu legendaris, karena Upin-Ipin The Movie pertama, yakni Geng Pengembaraan Bermula, direkam di ruangan itu.

’’Waktu itu Asyiela Putri (pengisi suara Upin dan Ipin, Red) masih kecil. Sekarang Asyiela sudah kuliah,’’ kata Zaki.

Zaki mengaku, proses sulih suara tidaklah mudah. Terutama, jika yang direkam adalah suara anak-anak langsung. Dirinya tidak hanya berperan sebagai sutradara, tapi juga pengasuh. ’’Kalau lelah, pasti tidak mau. Dikasih es krim dulu biar mereka senang. Lalu kemudian direkam lagi,’’ ujarnya.

Menurut Zaki, tidak hanya dubbing, suara musik dan latar belakang juga direkam langsung di ruangan itu. Misalnya saja suara kaki Upin-Ipin saat berlari di rumah Opa. Di dalam ruangan itu, sudah disiapkan papan kayu yang digunakan untuk merekam momen itu. Begitu pun dengan alat properti lain juga sudah disiapkan. ’’Setiap rekaman biasanya kami simpan dalam bank data. Kami akan merekam baru jika ada scene baru,’’ kata Zaki.

Di akhir kunjungan, Burhanuddin tak lupa berterima kasih kepada masyarakat Indonesia. Berkat anak-anak Indonesia, Upin-Ipin bisa berkembang hingga sekarang. Salah satu rasa bentuk terima kasihnya adalah munculnya sosok Susanti, teman bermain Upin-Ipin yang diceritakan berasal dari Jakarta. ’’Susanti itu bukan karakter sembarangan. Saya sangat strict dengan tim produksi terhadap Susanti,’’ kata Burhanuddin.

Menurut dia, sosok Susanti bukanlah anak yatim piatu. Dia adalah anak ekspatriat Indonesia yang bertugas di Malaysia. Dengan karakter serinci itu, pemilihan pengisi suara Susanti juga sangat selektif. Dalam cerita, dialek Susanti memang terdengar masih sangat Indonesia, termasuk diksi-diksinya.

’’Karakter Susanti adalah simbol persaudaraan antara Malaysia dengan Indonesia,’’ pungkasnya. (*/c17/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya