Wednesday, July 23, 2025
26.8 C
Jayapura

Rumah Hanyut, Istri Kabur dan Hanya Bisa Makan Hasil Penjualan Rongsokan

Dengan suara lembut, ia memanggil saya naik ke lantai dasar bangunan tua yang kini mereka tempati. Tempat itu lebih mirip pelataran terbuka—tanpa dinding, hanya beralaskan karton dan palet kayu bekas. Di sudut lain, anak laki-lakinya yang bungsu tertidur pulas sepulang sekolah.

Sementara anak perempuan Yorgen, Ratna, tengah tidur bersama bayinya di atas kasur lusuh yang robek dan nyaris tak lagi berbentuk. Di sisi ruangan, sebuah rak pakaian dari kayu bekas berdiri memajang seragam sekolah dan pakaian sehari-hari. Tidak ada kompor, galon air, ataupun perkakas dapur.

Penerangan pun hanya mengandalkan api dari pembakaran karton. Air menggenang di bagian depan ruangan, bercampur abu sampah yang terbakar. Semua ini menjadi latar kehidupan sehari-hari Yorgen dan keluarganya. Dari kondisi ini entah apakah Yorgen yang tak mau berusaha untuk berjuang mencari kehidupan yang lebih baik atau justru pemerintah yang kurang peka dengan kondisi miris warganya.

Baca Juga :  ABR: Jangan Paksa Bangun Rumah di Daerah Rawan! 

Yorgen lantas bercerita bahwa kisahnya bermula pada tahun 2019, saat banjir besar merendam rumah panggungnya di bantaran Kali Hanyaan. Saat itu, ia dan anak-anaknya sedang berada di Entrop untuk bekerja. Rumah yang selama ini menjadi tempat berteduh, hanyut bersama semua harta benda yang tersisa.

“Saya dikasi tahu orang kalau rumah saya rubuh. Semua barang hanyut. Hati saya hancur,” ucap Yorgen lirih. Sejak itu, ia membawa anak-anaknya tinggal di bawah bangunan kosong tersebut. Awalnya hanya untuk sementara, sambil berharap ada bantuan dari pemerintah atau kesempatan memperbaiki rumah lamanya.

Namun, harapan itu tak pernah datang. Hari demi hari berlalu, dan kini sudah lima tahun mereka hidup dalam kondisi yang mengenaskan. “Kalau saya sendiri mungkin bisa tinggal di rumah orang. Tapi saya punya anak-anak. Jadi terpaksa kami tinggal di sini,” katanya.

Baca Juga :  Merayakan Kekayaan Budaya Tionghoa Lewat Festival Imlek

Untuk menyambung hidup, Yorgen bekerja sebagai tukang rongsokan. Setiap hari ia memungut botol bekas dan kaleng dari tempat sampah, membersihkannya, dan menjualnya sebulan sekali di Waena. Dari jerih payah itu, ia hanya mendapatkan sekitar Rp800 ribu per bulan.

Anak sulungnya, Wellem, dan sang menantu juga ikut bekerja sebagai tukang parkir malam hari di emperan toko. Bahkan anak-anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP ikut membantu menjadi juru parkir demi mendapatkan uang jajan. Hasil hariannya digunakan untuk membeli nasi bungkus.

Dengan suara lembut, ia memanggil saya naik ke lantai dasar bangunan tua yang kini mereka tempati. Tempat itu lebih mirip pelataran terbuka—tanpa dinding, hanya beralaskan karton dan palet kayu bekas. Di sudut lain, anak laki-lakinya yang bungsu tertidur pulas sepulang sekolah.

Sementara anak perempuan Yorgen, Ratna, tengah tidur bersama bayinya di atas kasur lusuh yang robek dan nyaris tak lagi berbentuk. Di sisi ruangan, sebuah rak pakaian dari kayu bekas berdiri memajang seragam sekolah dan pakaian sehari-hari. Tidak ada kompor, galon air, ataupun perkakas dapur.

Penerangan pun hanya mengandalkan api dari pembakaran karton. Air menggenang di bagian depan ruangan, bercampur abu sampah yang terbakar. Semua ini menjadi latar kehidupan sehari-hari Yorgen dan keluarganya. Dari kondisi ini entah apakah Yorgen yang tak mau berusaha untuk berjuang mencari kehidupan yang lebih baik atau justru pemerintah yang kurang peka dengan kondisi miris warganya.

Baca Juga :  Walikota: Mari Jaga Persatuan dan Kesatuan di Kota Jayapura!

Yorgen lantas bercerita bahwa kisahnya bermula pada tahun 2019, saat banjir besar merendam rumah panggungnya di bantaran Kali Hanyaan. Saat itu, ia dan anak-anaknya sedang berada di Entrop untuk bekerja. Rumah yang selama ini menjadi tempat berteduh, hanyut bersama semua harta benda yang tersisa.

“Saya dikasi tahu orang kalau rumah saya rubuh. Semua barang hanyut. Hati saya hancur,” ucap Yorgen lirih. Sejak itu, ia membawa anak-anaknya tinggal di bawah bangunan kosong tersebut. Awalnya hanya untuk sementara, sambil berharap ada bantuan dari pemerintah atau kesempatan memperbaiki rumah lamanya.

Namun, harapan itu tak pernah datang. Hari demi hari berlalu, dan kini sudah lima tahun mereka hidup dalam kondisi yang mengenaskan. “Kalau saya sendiri mungkin bisa tinggal di rumah orang. Tapi saya punya anak-anak. Jadi terpaksa kami tinggal di sini,” katanya.

Baca Juga :  Makin Berkembang dan Berdaya Saing, Mayoritas Lulusan Terserap Dunia Kerja

Untuk menyambung hidup, Yorgen bekerja sebagai tukang rongsokan. Setiap hari ia memungut botol bekas dan kaleng dari tempat sampah, membersihkannya, dan menjualnya sebulan sekali di Waena. Dari jerih payah itu, ia hanya mendapatkan sekitar Rp800 ribu per bulan.

Anak sulungnya, Wellem, dan sang menantu juga ikut bekerja sebagai tukang parkir malam hari di emperan toko. Bahkan anak-anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP ikut membantu menjadi juru parkir demi mendapatkan uang jajan. Hasil hariannya digunakan untuk membeli nasi bungkus.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya