Klitih, dari Sisi Pelaku, Pembalas Dendam, dan Korban
Mereka punya pertautan berbeda dengan klitih, tapi kini sama-sama sadar bahwa itu tindakan pengecut. Sekolah-sekolah di Jogjakarta disarankan mencoba mengarahkan ke aktivitas bela diri prestasi.
ILHAM WANCOKO, Sleman
”PELAKU klitih itu tidak terhormat di penjara,” tutur SPT yang baru saja setahun pensiun dari aktivitas per-klitih-an.
Klitih yang tengah ramai menjadi perbincangan di Jogjakarta menyerang secara mendadak terhadap target yang telah ditentukan, sering juga secara acak. Karena itu, klitih tidak menunjukkan keberanian, justru menunjukkan tindakan seorang penakut.
Klitih bukan tindakan berduel untuk menentukan siapa yang lebih kuat. Namun, hanya menyerang seseorang yang tidak siap dan bahkan tidak berdaya. ”Ngelimpeke (menyerang saat lengah, Red),” kata SPT yang meminta identitasnya tidak disebut lengkap kepada Jawa Pos.
Meski demikian, memang agaknya sulit lepas dari dunia per-klitih-an bila memiliki dendam. Sebab, pernah menjadi korban klitih. ”Saya terjun ke klitih karena jadi korban,” ujarnya.
Dia mengaku lupa kapan memulai aktivitas per-klitih-an. Namun, soal penyebabnya masih tertancap dalam ingatannya. ”Saya ini drop out dari sekolah sejak SMP. Tapi, kok ya masih diincar para pelaku klitih,” keluhnya.
Saat itu SPT yang sedang berkendara santai tiba-tiba merasa terancam. Di depannya segerombolan anak SMA tengah berkonvoi. Membawa bendera geng sekolahnya. ”Saya langsung dikejar,” ujarnya.
Mereka mengacungkan celurit, katana, hingga kepalan tangan. Sendirian, tak ada pilihan bagi SPT selain menyelamatkan diri. Menelan harga dirinya yang sebenarnya dikenal pemberani di kalangan teman-temannya. ”Ya, mau bagaimana lagi,” tutur lelaki bertato itu.
Sepeda motornya diparkir sembarangan di dalam gang kecil. Akalnya mengarahkannya mengambil bebatuan untuk melawan. ”Mereka tetap mencoba menyerang,” katanya.
Tapi, batu demi batu yang dilemparkan SPT itu setidaknya mampu menahan gerombolan geng klitih tak tahu diri tersebut. Gerombolan klitih itu pun bubar setelah warga mulai berdatangan. ”Dasar penakut,” teriak SPT, teriakan yang juga sebagai puncak kelegaan.
SPT menyadari bahwa penyerangnya merupakan anak-anak SMA yang sekolahnya di sekitar Stadion Mandala Krida, Jogjakarta. Hal itu terlihat dari benderanya yang juga tercantum nama sekolahnya. ”Setelah itu, saya selalu ikut tawuran dan klitih,” tuturnya.
Dalam benaknya, dia berharap bisa membalas anak-anak SMA yang pernah menyerangnya. Namun, dari satu tawuran ke tawuran lain, dari satu klitih ke klitih lain, SPT tidak menemukan apa yang dicarinya. ”Hampa, sia-sia,” ujarnya.
Bahkan, karena klitih SPT juga sempat masuk penjara. Pengalaman di penjara itulah yang menyadarkan SPT bahwa pelaku klitih di penjara pasti habis. Tak terhormat.
Beda lagi dengan ANR, lulusan geng sekolah yang justru menjadi korban klitih. Dia menuturkan, semasa menjadi anggota geng sekolah bernama Morenza, dirinya merasa paling berani seantero jagat. ”Saya janjian tawuran, musuh tidak datang. Saya drop ke sekolahnya,” tuturnya.
Berbagai legenda tawuran sekolah, ANR –yang juga meminta identitasnya dirahasiakan– selalu terlibat di dalamnya. Misalnya, tawuran akibat sebuah story di WhatsApp yang mengejek seniornya yang meninggal. ”Saya satu di antara 200 anak yang ngedrop (mendatangi, Red) sekolah musuh,” jelasnya.
Pagar sekolah dirusak. Siswa sekolahnya dilempar ke tempat sampah. Tapi, pembuat story tidak terlihat. Hanya warga yang kemudian membubarkan para anggota geng sekolahnya. ”Polisi juga datang,” ujarnya.
Tapi, kisah tawuran yang legendaris di kalangan geng Morenza itu sama sekali tidak menolong ANR saat menjadi korban klitih. Pada 2019, setelah menonton sepak bola di Stadion Maguwoharjo, Sleman, ANR menjadi korban klitih. ”Dibacok di bagian siku,” ujarnya sembari menunjukkan bekas lukanya.
Namun, ANR tidak berani melaporkan ke polisi karena takut malah dianggap sebagai salah seorang pelaku. Lagi pula, dia lebih baik mengaku menjadi korban kecelakaan tunggal. ”Biar BPJS (Kesehatan)-nya turun. Kalau korban klitih, tidak bisa cair,” ujarnya.
Menurut dia, klitih memang meresahkan. Klitih adalah perbuatan anak kecil yang tidak tahu diri. ”Tidak dapat apa-apa, klitih itu anak kecil,” tuturnya.
Saat ditanya bagaimana cara menghentikan klitih, dia juga mengaku bingung. Yang pasti, memang aktivitas sekolah harus tinggi seperti ekstrakurikuler. ”Saya ikut ekstra wajib seperti Tapak Suci, tapi ya bolos terus juga,” tuturnya.
Beda lagi dengan Bang Napi, pelaku klitih yang tergolong senior. Sudah dua kali masuk penjara. Saking seniornya, Bang Napi seperti klitih pesanan. Setiap anak sekolah yang ingin membalaskan dendam, Bang Napi siap membantu, tentu dengan bayaran. ”Kalau teman dekat, tidak perlu bayar,” ujar pria yang juga meminta namanya dirahasiakan itu.
Pernah suatu kali dia mendapat seorang target. Target yang sempat menusuk ”kliennya”. Bang Napi pun langsung menyerang target dengan sebuah tusukan pula. Saat pisau menancap, sebuah cutter menggores jidat Bang Napi. ”Setelahnya kabur,” ujarnya.
Menurut dia, itu sudah impas karena tusukan telah dilakukan. Goresan cutter tersebut hanya luka kecil. Tusukan itu lebih parah. ”Setidaknya bisa jadi pelajaran,” jelasnya.
Soal alasan kabur, dia mengaku kondisi saat itu ramai. Sangat tidak memungkinkan melanjutkan perkelahian. ”Tapi juga sudah impas,” paparnya.
Meski begitu, dia mengakui bahwa kegiatan klitih-nya tidak berguna. Hanya menjadi cerita di antara teman-temannya. Tapi, saat menghadapi dunia nyata, semua tak berguna. ”Ya, sekarang bekerja saja,” ungkapnya.
Pengamat dari Partnership for Advancing Democracy and Integrity (PADI) M. Zuhdan menuturkan, rata-rata yang tertangkap menjadi pelaku klitih berasal dari keluarga menengah ke bawah. Tak sedikit juga yang merupakan ”produk” broken home.
Karena itu, kontrol sosial dan edukasi sosial tidak berjalan. ”Padahal, remaja sedang dalam tahap mencari jati diri. Akhirnya jalan kekerasan yang mudah ditempuh,” tuturnya.
Seharusnya, lanjut Zuhdan, sekolah-sekolah di Jogjakarta mampu mengarahkan para anak yang mencari jati diri itu dengan kegiatan yang bisa memberikan prestasi. Misalnya, menjadi atlet mixed martial art, pencak silat, atau bela diri lain. ”Anggaran untuk aktivitas ekstra sekolah harus ditambah,” jelasnya. (*/c19/ttg/JPG)