Site icon Cenderawasih Pos

Penonton Diajak Bermain, Berteriak dan Meluapkan Kemarahan pada ‘Cupak’

Drama musikal Cupak Gerantang yang digelar oleh Lampa(q)k Art Community di Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu malam (13/7) lalu. (foto: Fatih/Lombok Pos)

Drama Musikal Cupak Gurantang

Pertunjukan drama musikal Cupak Gurantang menyimpan banyak cerita bagi para aktornya. Mulai dari diteriaki penonton, terluka saat adegan laga, sampai dengan didatangi sosok ‘Cupak’ dalam mimpi.

Fatih Kudus Jaelani, Mataram

Salam Efendi harus menahan rasa sakit saat salah seorang penonton mencubit dadanya yang telanjang. Mau bagaimana lagi, Fendi yang memerankan sosok Cupak harus rela jadi bulan-bulanan amarah penonton. Apalagi salah satu adegannya adalah memasuki kerumununan warga.

“Di sini saya dicubit. Kalau sebelumnya di Lombok Utara saya sampai dilempar batu sama warga yang menonton,” kata Fendi saat menceritakan pengalamannya memainkan tokoh Cupak dalam drama musikal Cupak Gerantang yang digelar oleh Lampa(q)k Art Community.

  Saat melakoni Cupak di Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu malam (13/7) lalu, hampir di sepanjang pertunjukan Fendi diteriaki penonton.  Seorang warga dari kejauhan berteriak mencaci maki Cupak. Ada juga yang geram dan berteriak mengatakan Cupak adalah seorang pembohong.

  “Lekak tie (pembohong itu,red). Kata salah seorang penonton pada saya,” tutur Fendi.

Drama musikal Cupak Gerantang yang diramu oleh Wahyu Kurnia itu memang merupakan lakon berdasarkan naskah yang direvisi dari naskah aslinya. Di sejumlah desa, terutama di Lombok Utara, Cupak Gerantang dulunya menjadi seni tradisi masyarakat Sasak yang sering dimainkan.

   Para pemainnya merupakan orang-orang pilihan. Itulah mengapa, di beberapa desa, pertunjukan itu menjadi sakral. Misalkan saja di Lombok Utara. “Orang-orang berkerumun mencari sisa nasi yang dimakan Cupak,” kata Wahyu.

   Pertunjukan Cupak Gerantang yang modern itu memang tak bisa juga dipisahkan dari sejarah panjang legenda itu di Bumi sasak. Kendati di masa kini, anak-anak yang memainkannya merupakan generasi milenial dan generasi Z, namun kesan sakral dari petunjukan itu tak bisa dilepaskan begitu saja.

  “Salah satunya pemain kami Fendi, yang dalam dua kali pertunjukan didatangi sosok Cupak yang asli dalam mimpinya,” ungkap Wahyu.

  Di luar itu semua, tak bisa dipungkiri jika kendala teknis yang ditemui para pemain cukup banyak. Salah satunya mengenai sound sistem. Wahyu yang merupakan Kaprodi Sendratasik UNU NTB itu menjelaskan sejauh ini memang ada kendala pada sound.

   Saat pertunjukan di Desa Ganti yang digelar atas undangan warga desa setempat, Lalu Muhammad Zaenuddin, pertunjukan tidak maksimal karena adanya kendala mikrofon tempel yang digunakan para aktor. Wahyu menerangkan, memang mikrofon yang digunakan malam itu bukan mikrofon yang standar untuk drama musikal.

  Hal serupa bahkan ditemui saat mementaskan drama musikal Cupak Gerantang di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya NTB. “Sama juga. Di sana kami juga mengalami kendala mikrofon. Memang itu yang masih menjadi kendala sampai saat ini,” jelasnya.

  Berbicara kebutuhan itu, selama ini Lampa(q)k Art Community bergerak dengan swadaya. Pertunjukan yang digelar lebih banyak bertumpu pada memontum dan kesempatan, juga kemampuan. “Ketika kita punya waktu dan amunisi (uang,red), maka kita adakan pentas. Tapi ketika tidak ada, ya terpaksa harus menunggu undangan,” terang Wahyu.

  Menurutnya, kesenian tradisi mesti dapat terus dilestarikan. Karena itu ia akan terus berupaya menjemput bola, kemanapun untuk dapat terus mengantarkan karya tersebut ke khalayak.

  Selain itu, tantangan minimnya perhatian pemerintah, Lampa(q)k Art Community juga mengalami kendala personel. Kata Wahyu, karena personil mereka didominasi mahasiwa dengan berbagai kesibukannya, mereka mengalami kesulitan dalam menentukan waktu untuk berlatih bersama.

   Menurutnya, tantangan berkesenian memang kian nyata. “Di mana dunia seni yang kita jalani belum bisa menghidupi kita, tapi kita berusaha untuk menghidupi kesenian itu,” terangnya.

  Secara energi, Wahyu memastikan komunitasnya masih memiliki semangat yang kuat untuk terus melestarikan kesenian tradisi melalui wajah pertunjukan yang kekinian. Namun di samping itu, ia juga berharap pemerintah dapat memberi daya dorong bagi insan kreatif di NTB pada umumnya, dan Kota Mataram pada khususnya. (*/r3)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version