Tiga kamar sederhana harus berbagi dengan tiga kepala keluarga. Ada ruang tamu kecil, dapur seadanya, serta kamar mandi yang airnya diperoleh dari tetangga dengan sistem patungan.
“Dalam rumah ini ada saya, suami, sembilan anak, dua cucu, om dengan dua anaknya, dan mama saya. Jadi 17 orang tinggal bersama,” kata Konstanta kepada Cenderawasih Pos, Kamis (11/9).
Konstanta bukan perempuan biasa. Sejak usia 9 bulan, tubuh bagian kirinya mulai kaki hingga tangannya lumpuh. Namun, dengan kondisi itu, ia tetap berjualan pinang, rokok, dan sayur di emperan Pasar Sentra Hamadi.
Setiap hari, ia duduk di lantai pasar, berjuang dengan satu tangan, sambil menahan nyeri tubuh yang tak lagi kuat. Penghasilannya tak menentu. Kadang Rp50 ribu, bila beruntung bisa Rp150–200 ribu. Itu pun harus dipotong karcis Rp10 ribu per hari.
“Saya beli pinang dari orang, baru jual lagi. Kalau laku banyak, bisa dapat dua ratus ribu. Kalau sepi, paling enam puluh ribu,” ujarnya.
Sementara Wellem, sang suami, bekerja serabutan sebagai buruh porter di Pelabuhan Jayapura. Tak ada gaji tetap, hanya upah seadanya. Karena penghasilan kecil, sebagian besar anak mereka tak bisa bersekolah.
Otto Geisler, anak pertama, ikut bekerja serabutan di bangunan. Adrian, anak kedua, terpaksa berhenti sekolah sejak kelas 5 SD karena kehilangan rapor dan tak bisa pindah sekolah. Ia kini bekerja di bengkel.
Anak ketiga, Aplena, sudah menikah di usia sekitar 15 tahun tahun dan kini memiliki dua anak. Windi (14 tahun), anak keempat, masih sekolah SMP, tetapi tunggakan uang sekolahnya belum terbayar. “Windi sekarang tinggal dengan omnya, tapi uang sekolah tetap kami yang bayar,” tuturnya.
Anak kelima, Mince, baru berusia 11 tahun, disusul Maria (9 tahun), Dani (7 tahun) sama sekali belum masuk SD, dan anak ke delapan Linda (4 tahun), dan si bungsu Alek yang masih berusia 1 tahun