Friday, November 22, 2024
34.7 C
Jayapura

Biaya Rp 150 Ribu Saja, Saksi Ahli dari Dosen yang Tak Minta Dibayar

Leo dan Arian, Pelanjut Tradisi Judicial Review Para Mahasiswa UKI

Seperti para seniornya, Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga tergerak karena kerap menemukan UU yang tak sejalan dengan konstitusi. Banyak yang mencibir dan nyinyir. Toh, gugatan mereka ternyata dikabulkan.

FOLLY AKBAR, Jakarta

CIBIRAN, nyinyiran, hingga ungkapan lain bernada melemahkan tak sekali–dua kali menerpa Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga. Tepatnya saat dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, itu mengutarakan niat mereka menggugat pasal 293 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Nada negatif itu datang dari kerabat hingga sejumlah senior di kampus kala mereka mengutarakan niatan judicial review (JR) tersebut pada Mei tahun lalu. ”Dibilang buang-buang waktu, katanya nggak bakal dikabulkan. Eh, ternyata dikabulkan,” ujar Arian saat berbincang dengan Jawa Pos.

Pasal 293 ayat 2 KUHP merupakan norma yang mengatur mekanisme pelaporan kasus pencabulan anak. Dalam pasal itu, pencabulan anak bersifat delik khusus sehingga hanya korban yang bisa bertindak sebagai pelapor.

Namun, dalam putusan atas gugatan Leo dan Arian pada 15 Desember 2021, MK mengubahnya menjadi delik umum. Siapa pun dapat melapor tanpa menunggu korban yang secara psikologis dan usia sangat berat untuk melakukan pelaporan.

Putusan MK sangat melegakan bagi Arian dan Leo. Sebab, meski ada UU Perlindungan Anak yang sudah mengatur sebagai delik umum, perbedaan norma di KUHP terasa mengganjal bagi keduanya. Dikhawatirkan, masih ada aparat penegak hukum yang menggunakan KUHP.

”Karena akhir-akhir ini banyak aksi pencabulan. Saya juga memiliki saudara perempuan. Sangat disayangkan kalau aparat masih menggunakan KUHP,” kata Leo menjelaskan alasannya menggugat pasal tersebut.

Gugatan terhadap pasal 293 ayat 2 KUHP hanyalah satu di antara dua gugatan yang diajukan Leo dan Arian. Saat ini masih ada satu gugatan lain yang berproses di MK. Yakni, gugatan terhadap pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri yang berkaitan dengan hak polisi melakukan penggeledahan di jalan.

Baca Juga :  Dua Tahun Vakum, 19 Calon Jamaah Dialihkan ke Ahli Waris

Tampilnya dua mahasiswa berdarah Batak tersebut di MK sekaligus menjaga tradisi judicial review yang kerap dilakukan para mahasiswa UKI. Sebut saja Batara, Ruben Saputra, Putu Bagus Rendragraha, Okto, Simon Petrus Simbolon, dan Eliadi Hulu. Nama terakhir, Eliadi Hulu, merupakan rekan diskusi yang kini membantu Arian dan Leo sebagai kuasa hukum dalam gugatan UU Polri. ”Kami nanya senior yang udah sering gugat soal sistematika, apa yang perlu kami persiapan, berapa rangkap, tata cara gimana,” papar Leo.

Leo menyampaikan, gugatan yang diajukan sepenuhnya berangkat dari keresahan melihat regulasi yang ada. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung di urusan hukum, dia kerap kali menemukan UU yang dirasa tak sejalan dengan konstitusi.

Tak mau hal itu terus berkelindan di pikirannya, dia lantas memantapkan diri untuk mengambil langkah hukum. Prosedur beracara yang dia pelajari di kelas menjadi bekal sekaligus menemukan wadah mempraktikannya langsung. ”Ya udah gugat ke MK,” kata pria kelahiran Balige, Sumatera Utara, tersebut.

Arian menyatakan, gugatan ke MK merupakan bagian dari upayanya memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Sebagai mahasiswa, dia dituntut peduli terhadap persoalan kebangsaan. Artinya, judicial review (JR) adalah gerakan alternatif bagi mahasiswa.

Jadi, selain berdemo atau meneliti/mengkaji kebijakan, mahasiswa bisa menjajaki upaya hukum. ”Ini cara alternatif, demo cara terakhir. Cara yang harmonis ya judicial terhadap UU yang nggak sesuai,” tuturnya.

Bahkan, dalam konteks dan situasi tertentu, Arian menilai upaya hukum jauh lebih efektif ketimbang turun ke jalan. Sebab, demo di jalanan acap kali tak digubris elite politik.

Berbeda dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. ”Kalau JR kan ada putusan MK yang semua harus patuh,” kata pemuda kelahiran Samosir itu.

Baca Juga :  Semoga Jangan Hanya Setahun–Dua Tahun di Sana

Secara materi pun, kata Arian, judicial review di MK tak membutuhkan biaya yang mahal. Berbeda dengan pengadilan di bawah Mahkamah Agung yang berbiaya, di MK gugatan gratis. Penggugat hanya perlu menyiapkan draf gugatan. Sementara, untuk saksi ahli, dia menggunakan jasa dosen yang mau memberikan keterangan tanpa biaya.

Alhasil, berdasar pengalamannya menggugat KUHP yang sukses dikabulkan, Arian hanya membutuhkan modal ratusan ribu rupiah. ”Nggak nyampe Rp 200 ribu, sekitar Rp 150 ribu kalau dibilang mah,” ungkap mahasiswa semester VII tersebut, lantas tertawa.

Meski demikian, bagi mahasiswa, melakukan judicial review tak semudah membalikkan tangan. Dari sisi waktu, misalnya, Leo dan Arian harus pintar-pintar membagi waktu antara menunaikan kewajiban di kampus dengan kebutuhan dan persiapan persidangan.

Untuk memastikan gugatan berkualitas, kajian atau diskusi harus dilakukan mendalam dan serius. Jika asal-asalan, yang ada malah menjadi bulan-bulanan para hakim. ”Menyiapkan legal standing, alasan, teori, terus pendapat tokoh buat menguatkan, itu aja yang bingungnya,” kata Leo.

Sementara, bagi Arian, berhadapan dengan para hakim konstitusi memberikan tantangan psikologis sendiri. Sebab, dia yang berstatus mahasiswa mau tak mau berhadapan dengan hakim yang umumnya sudah profesor. Situasi itu sempat membawa kekhawatiran.

”Bahkan, ada yang ngomong bakal dites sembilan hakim. Padahal, mah hanya ditanyakan sesuai dengan permohonan kita,” terangnya.

Namun, setelah menjalani sidang perdana, Arian dan Leo sudah jauh lebih terbiasa. Atas dasar itu, kans untuk melakukan JR lainnya masih sangat terbuka bagi keduanya. Khususnya jika ada aturan hukum yang dirasa mengganjal di kepala.

Tekad itu kian kuat setelah dosen hingga keluarga memberikan dukungan atas apa yang dilakukan Arian dan Leo. ”Ini bukan untuk dikenal. Buat apa? Ini pelajaran buat kami agar kami berani, nggak stuck di kuliah aja,” kata Arian menegaskan komitmen. (*/c14/ttg/JPG)

Leo dan Arian, Pelanjut Tradisi Judicial Review Para Mahasiswa UKI

Seperti para seniornya, Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga tergerak karena kerap menemukan UU yang tak sejalan dengan konstitusi. Banyak yang mencibir dan nyinyir. Toh, gugatan mereka ternyata dikabulkan.

FOLLY AKBAR, Jakarta

CIBIRAN, nyinyiran, hingga ungkapan lain bernada melemahkan tak sekali–dua kali menerpa Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga. Tepatnya saat dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, itu mengutarakan niat mereka menggugat pasal 293 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Nada negatif itu datang dari kerabat hingga sejumlah senior di kampus kala mereka mengutarakan niatan judicial review (JR) tersebut pada Mei tahun lalu. ”Dibilang buang-buang waktu, katanya nggak bakal dikabulkan. Eh, ternyata dikabulkan,” ujar Arian saat berbincang dengan Jawa Pos.

Pasal 293 ayat 2 KUHP merupakan norma yang mengatur mekanisme pelaporan kasus pencabulan anak. Dalam pasal itu, pencabulan anak bersifat delik khusus sehingga hanya korban yang bisa bertindak sebagai pelapor.

Namun, dalam putusan atas gugatan Leo dan Arian pada 15 Desember 2021, MK mengubahnya menjadi delik umum. Siapa pun dapat melapor tanpa menunggu korban yang secara psikologis dan usia sangat berat untuk melakukan pelaporan.

Putusan MK sangat melegakan bagi Arian dan Leo. Sebab, meski ada UU Perlindungan Anak yang sudah mengatur sebagai delik umum, perbedaan norma di KUHP terasa mengganjal bagi keduanya. Dikhawatirkan, masih ada aparat penegak hukum yang menggunakan KUHP.

”Karena akhir-akhir ini banyak aksi pencabulan. Saya juga memiliki saudara perempuan. Sangat disayangkan kalau aparat masih menggunakan KUHP,” kata Leo menjelaskan alasannya menggugat pasal tersebut.

Gugatan terhadap pasal 293 ayat 2 KUHP hanyalah satu di antara dua gugatan yang diajukan Leo dan Arian. Saat ini masih ada satu gugatan lain yang berproses di MK. Yakni, gugatan terhadap pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri yang berkaitan dengan hak polisi melakukan penggeledahan di jalan.

Baca Juga :  Terlalu Asyik Bakar-bakaran, Santap Malam sampai Dua Jam

Tampilnya dua mahasiswa berdarah Batak tersebut di MK sekaligus menjaga tradisi judicial review yang kerap dilakukan para mahasiswa UKI. Sebut saja Batara, Ruben Saputra, Putu Bagus Rendragraha, Okto, Simon Petrus Simbolon, dan Eliadi Hulu. Nama terakhir, Eliadi Hulu, merupakan rekan diskusi yang kini membantu Arian dan Leo sebagai kuasa hukum dalam gugatan UU Polri. ”Kami nanya senior yang udah sering gugat soal sistematika, apa yang perlu kami persiapan, berapa rangkap, tata cara gimana,” papar Leo.

Leo menyampaikan, gugatan yang diajukan sepenuhnya berangkat dari keresahan melihat regulasi yang ada. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung di urusan hukum, dia kerap kali menemukan UU yang dirasa tak sejalan dengan konstitusi.

Tak mau hal itu terus berkelindan di pikirannya, dia lantas memantapkan diri untuk mengambil langkah hukum. Prosedur beracara yang dia pelajari di kelas menjadi bekal sekaligus menemukan wadah mempraktikannya langsung. ”Ya udah gugat ke MK,” kata pria kelahiran Balige, Sumatera Utara, tersebut.

Arian menyatakan, gugatan ke MK merupakan bagian dari upayanya memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Sebagai mahasiswa, dia dituntut peduli terhadap persoalan kebangsaan. Artinya, judicial review (JR) adalah gerakan alternatif bagi mahasiswa.

Jadi, selain berdemo atau meneliti/mengkaji kebijakan, mahasiswa bisa menjajaki upaya hukum. ”Ini cara alternatif, demo cara terakhir. Cara yang harmonis ya judicial terhadap UU yang nggak sesuai,” tuturnya.

Bahkan, dalam konteks dan situasi tertentu, Arian menilai upaya hukum jauh lebih efektif ketimbang turun ke jalan. Sebab, demo di jalanan acap kali tak digubris elite politik.

Berbeda dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. ”Kalau JR kan ada putusan MK yang semua harus patuh,” kata pemuda kelahiran Samosir itu.

Baca Juga :  Sepakat, Mahasiwa Papua yang kuliah di UGM, Akan Dibimbing dari Dosen Uncen

Secara materi pun, kata Arian, judicial review di MK tak membutuhkan biaya yang mahal. Berbeda dengan pengadilan di bawah Mahkamah Agung yang berbiaya, di MK gugatan gratis. Penggugat hanya perlu menyiapkan draf gugatan. Sementara, untuk saksi ahli, dia menggunakan jasa dosen yang mau memberikan keterangan tanpa biaya.

Alhasil, berdasar pengalamannya menggugat KUHP yang sukses dikabulkan, Arian hanya membutuhkan modal ratusan ribu rupiah. ”Nggak nyampe Rp 200 ribu, sekitar Rp 150 ribu kalau dibilang mah,” ungkap mahasiswa semester VII tersebut, lantas tertawa.

Meski demikian, bagi mahasiswa, melakukan judicial review tak semudah membalikkan tangan. Dari sisi waktu, misalnya, Leo dan Arian harus pintar-pintar membagi waktu antara menunaikan kewajiban di kampus dengan kebutuhan dan persiapan persidangan.

Untuk memastikan gugatan berkualitas, kajian atau diskusi harus dilakukan mendalam dan serius. Jika asal-asalan, yang ada malah menjadi bulan-bulanan para hakim. ”Menyiapkan legal standing, alasan, teori, terus pendapat tokoh buat menguatkan, itu aja yang bingungnya,” kata Leo.

Sementara, bagi Arian, berhadapan dengan para hakim konstitusi memberikan tantangan psikologis sendiri. Sebab, dia yang berstatus mahasiswa mau tak mau berhadapan dengan hakim yang umumnya sudah profesor. Situasi itu sempat membawa kekhawatiran.

”Bahkan, ada yang ngomong bakal dites sembilan hakim. Padahal, mah hanya ditanyakan sesuai dengan permohonan kita,” terangnya.

Namun, setelah menjalani sidang perdana, Arian dan Leo sudah jauh lebih terbiasa. Atas dasar itu, kans untuk melakukan JR lainnya masih sangat terbuka bagi keduanya. Khususnya jika ada aturan hukum yang dirasa mengganjal di kepala.

Tekad itu kian kuat setelah dosen hingga keluarga memberikan dukungan atas apa yang dilakukan Arian dan Leo. ”Ini bukan untuk dikenal. Buat apa? Ini pelajaran buat kami agar kami berani, nggak stuck di kuliah aja,” kata Arian menegaskan komitmen. (*/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya