Melihat Kondisi Anak-anak yang Bertahan di Lingkungan yang Rawan Musibah
Lingkungan tumbuh dan kembang anak, seharusnya merupakan tempat yang nyaman untuk mendukung kesehatan, pendidikan dan perkembangan mental anak yang baik. Namun sebagian dari anak-anak ini terpaksa tinggal di lingkunan yagn tidak layak dan melihat bencana terjadi di sekitarnya.
Laporan: Elfira_Jayapura
Aroma tanah basah selepas banjir masih begitu menyengat. Di satu sisi, sebagian bekas banjir yang mengering menimbulkan debu bertebaran di pemukiman warga lokasi banjir di belakang Pasar Youtefa RT 7 RW 3, Kelurahan Waimhorock, Distrik Abepura, Rabu (12/1).
Anak anak korban banjir sibuk bermain, saling kejar kejaran dan tertawa lepas. Sedang di lain sudut, orang tua mereka sibuk membersihkan rumah dan barang barang lainnya yang masih bisa digunakan kembali.
“Kejar saya, kejar!! Ya.. jatuh,” suara syahdu anak anak lantang terdengar ketika cuaca sedang cerah pagi itu.
Di balik wajah polos anak anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar itu, siapa menyangka mereka menyaksikan banjir dan bahkan menjadi korban saat banjir yang terjadi pada Kamis (6/1) malam.
Selain menjadi korban banjir, anak anak di Kompleks Toraja pernah menjadi korban kebakaran. Sepanjang tahun 2021 lalu, di kompleks mereka dua kali kebakaran.
Anak anak yang tinggal di Kompleks Toraja ini mengingat betul bagaimana ketika air kali meluap lalu merendam rumah mereka. Binatang peliharaan terpaksa diamankan di tempat yang lebih tinggi.
Enggel (13) siswa Kelas 6 SD, dalam ingatannya, air kali meluap lalu merendam rumah mereka. Hampir 11 tahun, ia dan kakaknya tinggal di Kompleks Toraja, namun ini banjir terparah yang pernah ia alami.
“Saat banjir, saya naik ke atas rumah dan terus berdoa. Tapi hujan tidak juga reda malam itu, saya takut air naik,” tutur anak keempat dari lima bersaudara ini.
Meski banjir sudah surut, air di kali tak setinggi Kamis (6/1) malam. Namun, sebagian anak anak di Kompleks ini masih menyimpan rasa trauma. Enggel misalkan, hingga saat ini masih dihantui rasa cemas ketika melewati kali di pinggir rumahnya saat menuju ke sekolah di VIM 1 Kotaraja.
Ketika mendung atau saat hujan turun, Enggel bergegas masuk ke rumah dengan penuh kecemasan. Doa sebagai penguat bagi anak 13 tahun ini. “Berharap ingin pindah dari sini mencari tempat yang lebih aman, tapi tergantung dari orang tua belum tentu mereka mau. Apalagi orang tua saya kerjanya sebagai petani,” ungkapnya.
Enggel mengaku hingga saat ini masih trauma akibat banjir yang merendam rumah mereka, doa dan bermain bersama teman teman sebayanya sebagai pelipur untuk menghilangkan rasa trauma itu. Apalagi, ia menyaksikan tanaman sayur di kebun orang tuanya yang ikut rusak akibat banjir.
“Biasanya ke kebun bantu orang tua, kini tidak lagi setelah banjir. Sekarang, cari ikan di kali bersama teman teman,” ucapnya.
Sama dengan Enggel, Tessy siswa kelas 3 SD juga merasakan trauma akibat banjir. Bukan hanya saat banjir, namun ketika kebakaran yang beberapa kali terjadi di pemukiman mereka. Namun untuk banjir sendiri, boca berumur 9 tahun ini mengaku baru pertama kali ia merasakan.
“Hingga saat ini masih takut, setiap hujan turun yang saya pikirkan bagaimana jika banjir lagi,” ucap Tessy dengan mata yang berkaca kaca.
Beda tanggapan anak anak beda juga tanggapan orang tua, ketika anak anak mengiginkan pindah dari tempat mereka pasca banjir. Namun, orang tua masih ingin bertahan di lokasi tersebut.
Hal ini bukan tanpa alasan, Ibu Serlina Misalkan, meski rumahnya ikut terendam banjir, namun ia tak ingin pindah dari lokasi tersebut sekalipun di sekitar rumahnya masih terdapat lumpur.
“Tidak ingin pindah dari sini karena sudah terbiasa, di sini juga dekat dengan kebun saya. Kalaupun mau pindah, kami mau pindah kemana, sementara mata pencaharian kami ada di sini,” ucapnya.
Saat banjir kemarin, sawah milik Ibu Serlina ikut terendam. Sayur belum juga sempat dipanennya sudah dipenuhi lumpur, butuh waktu sekitar dua bulan bagi ibu lima anak ini untuk menggarap kembali sawah miliknya.(*/tri)