Sementara di tempat lain puluhan mahasiswa di USTJ juga menggelar diskusi memperingati hari perempuan sedunia. Diskusi ini mengambil tema nasib perempuan Papua dalam cengkraman kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme di tanah Papua. Dari pantauan Cenderawasih Pos ada sebuah spanduk dan beberapa poster berisi kritikan keras terhadap kebijakan pemerintah. Mereka meminta untuk menghentikan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan di tanah Papua, mereka juga menyatakan bahwa perempuan bukan budak seks, perempuan Papua berhak penuh atas dirinya.
Diungkapkan Yokbeth Felle seorang aktivis perempuan Papua sekaligus narasumber bahwa banyak perempuan Papua yang hingga sekarang masih mengalami kekerasan baik secara fisik maupun secara psikis terutama di daerah rawan konflik. Banyak perempuan Papua yang terus berjuang untuk melakukan advokasi-advokasi serta melakukan kegiatan trauma healing kepada para korban kekerasan di daerah konflik seperti di Kabupaten Maybrat, Nduga, Puncak Jayapura dan beberapa daerah lainnya.
“Banyak bentuk kekerasan yang dialami perempuan mulai dari kekerasan seksual, rumah dibakar, anak-anak tidak bersekolah dimana secara tidak langsung mereka telah dimiskinkan oleh keadaan karena. Ada juga yang harus mengungsi dari suatu wilayah ke wilayah lain,” ungkap Yokbeth.
Ditegaskan bahwa saat ini perempuan Papua benar-benar mengalami kekerasan yang berlapis-lapis. Karena itu mengimbau agar masyarakat bisa saling memahami apa arti dari penindasan itu sendiri. “Gereja punya peran penting untuk mendukung melakukan ibadah untuk masyarakat,” tutupnya. (*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos