Laporan produk tersebut kata Mozes sudah dilakukan oleh pemerintah sejak 2012, 2016, 2020, dan terakhir 2024. Yang menjadi prioritas utama dalam laporan itu, mencakup lima hal penting seperti Pembudidayaan dan Penangkaran Tanaman Bahan Baku Pembuatan Noken, Sosialisasi nilai penting dan luhur, melalui kegiatan seratus remaja umum noken, sosialisasi bagi Pramuka, sosialisasi Noken Masuk Sekolah (Nomase).
Lebih lanjut kepala UPTD Museum Noken itu mengatakan, saat ini di museum tersebut, terdapat berbagai macam jenis Noken yang di pamerkan dari berbagai suku di tanah Papua.
Menurutnya, hampir semua masyarakat Papua bisa merajut dan menganyam Noken, namun disesuaikan dengan wilayah adat masing-masing. Sebagai contoh di wilayah pesisir Tabi-Saireri, bahan dasar pembuatan Noken itu sendiri terbuat dari kulit kayu dan daun pandan.
Sementara di daerah pegunungan (Lapago-Meepago), pembuatan Noken juga terbuat dari kulit kayu, tetapi terlebih dahulu kulit kayu tersebut dijadikan benang kemudian dirajut. Terkhusus di wilayah Mee pago Noken terbuat dari batang-batang anggrek. Noken ini disebut noken emas dan dipasarkan melambung hingga puluhan juta rupiah.
Harga Noken hingga jutaan rupiah kata Mozes dinilai dari tingkat kesulitan produksi dan bahan bakunya. Saat ini ia katakan bahan dasar Noken nampak mulai susah, para pengerajin harus memakan waktu yang lama untuk menghasilkan Noken. Kondisi ini terjadi seiring dengan perkembangan zaman. Permukiman warga ada dimana-mana, jika ini terus dibiarkan dan tidak cepat diatasi maka Noken sebagai warisan budaya hanya tinggal kenangan.
“Jujur saja dengan perkembangan permukiman, perkembangan wilayah jadi bahan dasar, bahan baku Noken semakin susah. Contohnya di kota/kabupaten Jayapura saja sudah susah itu kayu (Bahan dasar Noken), begitu juga di daerah pesisir seperti di Biak, Waropen, Supiori dan lainnya,” ungkapnya.