“Contoh kecil kare -kare (Hiasan di kepala Pria) dimana ini tidak boleh digunakan oleh perempuan, yang boleh digunakan Suesi yang terbuat dari bulu burung atau imitasi, sama halnya dengan noken sebab selama ini penggunaannya sudah tidak berjalan sesuai dengan nilai budaya yang ada,”ungkap Ketua Jaringan Perempuan Adat Marlince Siep, S.Pd, M.Pd pada Seminar Sehari Selamatkan Su dalam SU Kamis (4/12) di Gedung Tongkonan Wamena.
Dalam menjaga tatanan adat untuk penggunaan noken ini, Jaringan perempuan adat sedang memetakan dan mendorong petisi yang didesain sedemikian rupa agar dari sekarang hingga generasi berikutnya itu bisa mengetahui mana yang harus dipakai mana yang tidak, sehingga petisi ini akan didorong terus hingga akan menjadi peraturan daerah (Perda), karena pelanggaran -pelanggaran ini tak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi pemuka -pemuka adat juga melakukan hal yang sama.
Contoh pemberian mahkota kepada seorang tamu yang sebenarnya tidak layak menerima, sebab dalam tata pemerintahan itu ada orang mana yang bisa diberikan dan pakai, mana yang tidak boleh, oleh karena itu dengan adanya petisini ini bisa mengkolaborasikan bisa sejalan dengan pemerintahan yang ada namun tidak saling menyinggung.
“Selain tatanan budaya, kami juga tetap mendorong peningkatan UMKM khususnya dalam rajutan noken yang dilakukan oleh pemerintah, namun tetap menjaga agar jalangan sembarang ekspose, namun tatap mengangkat nilai -nilai sakral yang terkandung didalamnya,”kata Dorlince.
Penggunaan Noken ada yang biasa digunakan untuk mengisi barang atau hasil pertanian (Su Ebe), dan Noken yang tidak punya isi atau tidak punya kantong (Su Aga) ini barang melekat yang tidak digunakan oleh manusia, namun digunakan untuk benda sakral, namun hal ini banyak didorong dalam desainer, sehingga dalam seminar yang dilakukan ini disampaikan agar noken mana yang didorong dalam UMKM dan mana yang harus dijaga.
“Contoh kecil kare -kare (Hiasan di kepala Pria) dimana ini tidak boleh digunakan oleh perempuan, yang boleh digunakan Suesi yang terbuat dari bulu burung atau imitasi, sama halnya dengan noken sebab selama ini penggunaannya sudah tidak berjalan sesuai dengan nilai budaya yang ada,”ungkap Ketua Jaringan Perempuan Adat Marlince Siep, S.Pd, M.Pd pada Seminar Sehari Selamatkan Su dalam SU Kamis (4/12) di Gedung Tongkonan Wamena.
Dalam menjaga tatanan adat untuk penggunaan noken ini, Jaringan perempuan adat sedang memetakan dan mendorong petisi yang didesain sedemikian rupa agar dari sekarang hingga generasi berikutnya itu bisa mengetahui mana yang harus dipakai mana yang tidak, sehingga petisi ini akan didorong terus hingga akan menjadi peraturan daerah (Perda), karena pelanggaran -pelanggaran ini tak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi pemuka -pemuka adat juga melakukan hal yang sama.
Contoh pemberian mahkota kepada seorang tamu yang sebenarnya tidak layak menerima, sebab dalam tata pemerintahan itu ada orang mana yang bisa diberikan dan pakai, mana yang tidak boleh, oleh karena itu dengan adanya petisini ini bisa mengkolaborasikan bisa sejalan dengan pemerintahan yang ada namun tidak saling menyinggung.
“Selain tatanan budaya, kami juga tetap mendorong peningkatan UMKM khususnya dalam rajutan noken yang dilakukan oleh pemerintah, namun tetap menjaga agar jalangan sembarang ekspose, namun tatap mengangkat nilai -nilai sakral yang terkandung didalamnya,”kata Dorlince.
Penggunaan Noken ada yang biasa digunakan untuk mengisi barang atau hasil pertanian (Su Ebe), dan Noken yang tidak punya isi atau tidak punya kantong (Su Aga) ini barang melekat yang tidak digunakan oleh manusia, namun digunakan untuk benda sakral, namun hal ini banyak didorong dalam desainer, sehingga dalam seminar yang dilakukan ini disampaikan agar noken mana yang didorong dalam UMKM dan mana yang harus dijaga.