Ruang kebebasan sipil menyusut dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, ditandai represi, impunitas, dan kriminalisasi aktivis. Pernyataan kontroversial seperti pengampunan koruptor dan wacana Pilkada tidak langsung memperkuat keraguan atas komitmen pemerintah terhadap demokrasi.
“Minimnya ruang untuk meminta akuntabilitas membuka peluang pemerintah memperlemah sistem demokrasi,” ujar Leonard. Selanjutnya aspek politik luar negeri dimana dalam 100 hari pertama, kepemimpinan Prabowo-Gibran membawa perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Prabowo segera mengumumkan bergabungnya Indonesia ke BRICS, menunjukkan upaya untuk mengkalibrasi ulang aliansi global.
Namun, keputusan ini menuai kritik karena dinilai berisiko mengorbankan independensi ekonomi dan geopolitik, tanpa manfaat ekonomi yang jelas. Gaya kepemimpinan Prabowo yang pragmatis fokus pada kerja sama bilateral dengan negara-negara besar seperti Cina dan AS. Kepercayaan diri ini mencerminkan ambisinya menjadikan Indonesia pemain utama dalam geopolitik global.
Direktur China-Indonesia Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat, mengingatkan pentingnya keseimbangan dalam hubungan dengan Cina. “Indonesia harus berhati-hati agar kedekatan dengan Tiongkok tidak mengorbankan kepentingan nasional, terutama dalam isu sensitif seperti Laut Cina Selatan,” imbuhnya.
Lalu isu lain adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Program MBG salah satu quick wins andalan kampanye Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024, diharapkan mendorong pengembangan SDM unggul. Namun, Greenpeace dan Celios menilai implementasinya terkesan tergesa-gesa dan kurang matang.
Pemerintah mengalokasikan Rp 71 triliun dalam RAPBN 2025 untuk Program MBG, namun anggaran ini hanya mencakup periode Januari-Juni dengan asumsi Rp10.000 per porsi. Hingga akhir tahun, biaya diprediksi mencapai Rp 420 triliun, yang berisiko memperlebar defisit fiskal. Peluncuran program pada 6 Januari untuk 600 ribu siswa di 26 provinsi menuai kritik terkait kuantitas, kualitas gizi, ketepatan pengiriman, dan menu makanan.
Greenpeace juga menyoroti potensi peningkatan food waste. Analisis Walhi menunjukkan tiap siswa menghasilkan 25-50 gram sisa makanan, menambah 425-850 ton sampah per hari. “Meski penggunaan wadah stainless steel positif, peningkatan food waste ini berpotensi menambah emisi gas rumah kaca hingga 127,5-255 ton CO2e per hari,” kata Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia. (*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos