Wednesday, November 19, 2025
25.8 C
Jayapura

Koridor Sempit dan Titik Gelap Ciptakan “ruang peluang” Kejahatan

Kemudian dengan dashboard data terbuka, target kinerja yang jelas, dan anggaran partisipatif untuk penerangan dan CCTV komunitas jika ini dilakukan maka Jayapura bisa mematahkan siklus begal tanpa mengorbankan hak-hak warga. “Keamanan yang manusiawi, inklusif, berbasis bukti, dan peka konteks Papua adalah fondasi kota yang kembali hidup setelah senja,” papar Melyana.

Ia melihat dinamika curas di Jayapura juga dipengaruhi ekologi informasi yang rapuh. Ini bisa terlihat dari kabar yang tak terverifikasi baik di grup-grup WhatsApp, informasi ditingkat RT yang kebanyakan tanpa ferivikasi serta komunitas yang cepat berubah menjadi kepanikan, stigmatisasi wilayah atau kelompok, bahkan ajakan persekusi.

“Itu yang menjadi problem,” tambahnya. Lalu dijelaskan bahwa dalam kerangka keamanan manusia Buzan, arus disinformasi ini diyakini bisa merusak sektor sosial-budaya atau trust dan kohesi, politik (legitimasi aparat), dan keamanan langsung (risiko vigilantisme).

Baca Juga :  Ban Pecah, Motor Oleng, Pengendara Tewas Seketika

“Saat voice note atau tangkapan layar tanpa sumber menyebar, warga mengubah pola mobilitas secara ekstrem, pedagang menutup lebih awal, dan korban enggan melapor karena takut ‘diadili’ warganet. Ini akhirnya memunculkan problem lain,” katanya.

Mirisnya, informasi yang salah memperluas “zona ketakutan” melebihi risiko faktualnya serta menciptakan rasa tidak aman yang kronis. Untuk memutus siklus ini, tata kelola keamanan perlu memasangkan patroli jalan dengan patroli informasi.

Progresnya adalah kanal resmi cepat (WhatsApp Business/Telegram) yang dimotori Pemkot–Polresta–BPBD. Jika ada sebuah insiden atau kejadian maka segera diverifikasi yang mempublikasikan klarifikasi dalam format singkat baik pada teks, infografik, peta hotspot dan cap waktu yang jelas.

Perlu menerapkan mekanisme “rumor control center” berbasis dashboard data kejadian, bukan kabar berantai yang kemudian menjadi rujukan tunggal media lokal. Model prebunking mengedukasi pola hoaks yang berulang sebelum muncul dan micro-training literasi digital di kelurahan, kampus, serta komunitas ojek online diyakini akan menaikkan ambang kritis warga terhadap pesan berantai apalagi yang belum terverifikasi kebenarannya.

Baca Juga :  Proses Rekapitulasi Relatif Kondusif, Personel Keamanan Tetap Disiagakan

“Saya pikit ketika kanal resmi yang dibuat tiga komponen di atas ditindaklanjuti dengan responsif,konsisten dan insentif maka penyebarakn ‘broadcast panik’ bisa berkurang drastis,” sambung Melyana Pugu. Kemudian ini dibarengi dengan di hilir dilakukan pemulihan rasa aman pascakejadian.

“Tapi ingat harus memasukkan protokol komunikasi krisis yang melindungi martabat korban atau anti doxxing maka dengan sendirinya bisa menutup celah ekonomi bayangan dan memfasilitasi laporan terintegrasi semisal Hotline 110, aplikasi SP4N-LAPOR, dan posko kelurahan,” ujr Melyana merincikan.

Kemudian dengan dashboard data terbuka, target kinerja yang jelas, dan anggaran partisipatif untuk penerangan dan CCTV komunitas jika ini dilakukan maka Jayapura bisa mematahkan siklus begal tanpa mengorbankan hak-hak warga. “Keamanan yang manusiawi, inklusif, berbasis bukti, dan peka konteks Papua adalah fondasi kota yang kembali hidup setelah senja,” papar Melyana.

Ia melihat dinamika curas di Jayapura juga dipengaruhi ekologi informasi yang rapuh. Ini bisa terlihat dari kabar yang tak terverifikasi baik di grup-grup WhatsApp, informasi ditingkat RT yang kebanyakan tanpa ferivikasi serta komunitas yang cepat berubah menjadi kepanikan, stigmatisasi wilayah atau kelompok, bahkan ajakan persekusi.

“Itu yang menjadi problem,” tambahnya. Lalu dijelaskan bahwa dalam kerangka keamanan manusia Buzan, arus disinformasi ini diyakini bisa merusak sektor sosial-budaya atau trust dan kohesi, politik (legitimasi aparat), dan keamanan langsung (risiko vigilantisme).

Baca Juga :  Aparat Penegak Hukum Kurang Peduli, Banyak Kasus yang Mandeg

“Saat voice note atau tangkapan layar tanpa sumber menyebar, warga mengubah pola mobilitas secara ekstrem, pedagang menutup lebih awal, dan korban enggan melapor karena takut ‘diadili’ warganet. Ini akhirnya memunculkan problem lain,” katanya.

Mirisnya, informasi yang salah memperluas “zona ketakutan” melebihi risiko faktualnya serta menciptakan rasa tidak aman yang kronis. Untuk memutus siklus ini, tata kelola keamanan perlu memasangkan patroli jalan dengan patroli informasi.

Progresnya adalah kanal resmi cepat (WhatsApp Business/Telegram) yang dimotori Pemkot–Polresta–BPBD. Jika ada sebuah insiden atau kejadian maka segera diverifikasi yang mempublikasikan klarifikasi dalam format singkat baik pada teks, infografik, peta hotspot dan cap waktu yang jelas.

Perlu menerapkan mekanisme “rumor control center” berbasis dashboard data kejadian, bukan kabar berantai yang kemudian menjadi rujukan tunggal media lokal. Model prebunking mengedukasi pola hoaks yang berulang sebelum muncul dan micro-training literasi digital di kelurahan, kampus, serta komunitas ojek online diyakini akan menaikkan ambang kritis warga terhadap pesan berantai apalagi yang belum terverifikasi kebenarannya.

Baca Juga :  Pansel Kantongi 9 Nama Calon DPRK

“Saya pikit ketika kanal resmi yang dibuat tiga komponen di atas ditindaklanjuti dengan responsif,konsisten dan insentif maka penyebarakn ‘broadcast panik’ bisa berkurang drastis,” sambung Melyana Pugu. Kemudian ini dibarengi dengan di hilir dilakukan pemulihan rasa aman pascakejadian.

“Tapi ingat harus memasukkan protokol komunikasi krisis yang melindungi martabat korban atau anti doxxing maka dengan sendirinya bisa menutup celah ekonomi bayangan dan memfasilitasi laporan terintegrasi semisal Hotline 110, aplikasi SP4N-LAPOR, dan posko kelurahan,” ujr Melyana merincikan.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya