Namun, Musa tidak hanya ingin menjadi peniru hip-hop ala Barat.Ia bereksperimen dengan memadukan lirik dalam bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan bahasa Lani. Ia ingin musiknya menjadi jembatan bagi banyak orang.“Bagi saya, bahasa itu jembatan. Kalau satu lagu bisa empat bahasa, berarti makin banyak orang yang bisa merasa dekat. Ada yang paham Jawa, ada yang tersentuh bahasa Lani, ada yang familiar dengan Inggris,” jelasnya.
Musa kemudian menemukan identitas musiknya dengan menggali memori masa kecil dan memadukan hip-hop modern dengan musik Wisisi tradisional. Hasilnya adalah musik yang unik dan beridentitas kuat, yang ia gunakan untuk memperkenalkan budaya Papua ke dunia luar.
Kefasihan Musa berbahasa Jawa, bahkan dalam rap, menjadikannya unik. Ia menjelaskan filosofi di balik penggunaan empat bahasa dalam karyanya. “Kalau saya menyanyi dengan bahasa Jawa, saya menyapa wong Solo. Kalau pakai bahasa Lani, saya bawa kampung halaman. Kalau bahasa Indonesia, saya bicara ke semua orang. Kalau bahasa Inggris, dunia bisa mendengar. Semua jadi satu dalam musik. Dengan empat bahasa, bisa diterima di mana saja,” katanya.
Nama media sosialnya pun ia ambil dari sebutan pengemudi gerobak sapi atau cikar di Jawa. Nama itu juga yang ia jadikan nama panggung, yang menurutnya adalah semangat seorang pengendali.Ya, dari desa kecil di Papua Pegunungan, Musa Pagawak menapaki jalan panjang ke Kota Solo.
Ia membuktikan bahwa perbedaan bukanlah sekat, melainkan harmoni yang dapat menyatu dalam musik.Musa kini menjadi seorang penyanyi rap (rapper) asal Papua, yang berhasil menyita perhatian warga internet (warganet) di media sosial TikTok berkat lagu berjudul “Aku Luwe”. (kwl/wa)