Wednesday, May 7, 2025
23.2 C
Jayapura

Doro Menjadi Titik Temu, Yakin Setiap Ombak Menyimpan Harapan

“Anak-anak sekolah, beli beras, beli minyak, semua saya urus. Kalau bapa kerjanya tangkap ikan,” kata Inggelina sembari mengatur ikan dalam kotak pendingin warna biru tua miliknya pekan kemarin.

Ikan merah atau yang biasa dikenal sebagai ikan batu dijual oleh masyarakat tanpa takaran pasti. Umumnya, ikan ini dipasarkan seharga Rp100 ribu per ikat. Dalam satu ikat biasanya berisi 4 hingga 5 ekor ikan, namun jumlah tersebut bisa berubah tergantung kondisi, bisa lebih banyak atau bahkan lebih sedikit.

“Misalnya saat hasil tangkapan melimpah, dua ikat bisa saja dijadikan satu. Sementara untuk ikan berukuran besar, biasanya dijual per ekor. Kalau ukurannya kecil atau sedang, barulah dijual secara ikatan,” jelasnya.

Baca Juga :  Polisi Temukan "Pabrik" Pembuat Sopi di Sarmi

Dalam sekali menjual, ibu-ibu ini biasanya bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Setelah itu, mereka akan kembali lagi ke Kota Sarmi untuk menjual hasil tangkapan berikutnya dalam dua atau tiga hari kemudian.

Sebelum membawa ikan ke kota, wanita-wanita tangguh ini harus membeli es batu sekitar 20 batang untuk dibawa ke pulau Liki atau Armo. Satu batang es batu dihargai lima ribu rupiah. Biaya itu terpaksa mereka tanggung, karena belum adanya mesin pendingin atau cold storage di kampung mereka.

Untuk menuju Pulau Liki, dibutuhkan waktu kurang lebih sekitar 50 menit perjalanan laut dengan sewa speedboat seharga Rp100.000. Ke Armo, waktu tempuh lebih singkat dan ongkos pun lebih murah, sekitar Rp50.000.

Baca Juga :  Lokasi yang Dulu Rawa Kini Jadi Tempat yang Menginspirasi

Di kedua pulau itu, kehidupan nyaris tidak berubah sejak dulu. Para nelayan lokal bahkan sebagian masih mengandalkan perahu-perahu dayung untuk mengail ikan meski ada sebagian warga mulai menggunakan perahu mesin. Sistem penangkapan ikan tetap tradisional dan ramah lingkungan dan penuh kearifan lokal.

Selain ikan merah dan ikan batu lainnya, perairan sekitar pulau ini juga memiliki daya tarik unik yaitu lumba-lumba. “Kalau air surut, kadang kita lihat lumba-lumba muncul. Biasanya ada orang orang datang kesana,” tutur Inggelina dengan mata berbinar.

“Anak-anak sekolah, beli beras, beli minyak, semua saya urus. Kalau bapa kerjanya tangkap ikan,” kata Inggelina sembari mengatur ikan dalam kotak pendingin warna biru tua miliknya pekan kemarin.

Ikan merah atau yang biasa dikenal sebagai ikan batu dijual oleh masyarakat tanpa takaran pasti. Umumnya, ikan ini dipasarkan seharga Rp100 ribu per ikat. Dalam satu ikat biasanya berisi 4 hingga 5 ekor ikan, namun jumlah tersebut bisa berubah tergantung kondisi, bisa lebih banyak atau bahkan lebih sedikit.

“Misalnya saat hasil tangkapan melimpah, dua ikat bisa saja dijadikan satu. Sementara untuk ikan berukuran besar, biasanya dijual per ekor. Kalau ukurannya kecil atau sedang, barulah dijual secara ikatan,” jelasnya.

Baca Juga :  Jadi Salah Satu Situs Terlengkap dari Segi Temuan Maupun Tradisi Budaya

Dalam sekali menjual, ibu-ibu ini biasanya bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Setelah itu, mereka akan kembali lagi ke Kota Sarmi untuk menjual hasil tangkapan berikutnya dalam dua atau tiga hari kemudian.

Sebelum membawa ikan ke kota, wanita-wanita tangguh ini harus membeli es batu sekitar 20 batang untuk dibawa ke pulau Liki atau Armo. Satu batang es batu dihargai lima ribu rupiah. Biaya itu terpaksa mereka tanggung, karena belum adanya mesin pendingin atau cold storage di kampung mereka.

Untuk menuju Pulau Liki, dibutuhkan waktu kurang lebih sekitar 50 menit perjalanan laut dengan sewa speedboat seharga Rp100.000. Ke Armo, waktu tempuh lebih singkat dan ongkos pun lebih murah, sekitar Rp50.000.

Baca Juga :  Dukung Pelaku Usaha OAP Kelola Hasil Perikanan

Di kedua pulau itu, kehidupan nyaris tidak berubah sejak dulu. Para nelayan lokal bahkan sebagian masih mengandalkan perahu-perahu dayung untuk mengail ikan meski ada sebagian warga mulai menggunakan perahu mesin. Sistem penangkapan ikan tetap tradisional dan ramah lingkungan dan penuh kearifan lokal.

Selain ikan merah dan ikan batu lainnya, perairan sekitar pulau ini juga memiliki daya tarik unik yaitu lumba-lumba. “Kalau air surut, kadang kita lihat lumba-lumba muncul. Biasanya ada orang orang datang kesana,” tutur Inggelina dengan mata berbinar.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya