Thursday, April 18, 2024
25.7 C
Jayapura

Selain Melestarikan Budaya, Sekaligus Memperoleh Manfaat Ekonomi bagi Keluarga

Perajin Kulit Kayu dari Asei Besar, Bertha Pepuho saat menujukan koleksi topi bulu yang diproduksinya, di lapak jualannya tepat didepan rumahnya di Khalkote Sentani, Jumat (5/7) kemarin.( FOTO : Yohana/Cepos )

Bincang-Bincang Dengan Perajin Kulit Kayu di Asei Besar.

Kerajinan ukiran kulit kayu merupakan warisan budaya yang harus dikembangkan, namun tidak untuk ditiru karena suatu budaya memiliki nilai yang lebih mahal dari sebuah barang tiruan.

Laporan : Yohana/Cepos

Kerajinan kulit kayu merupakan salah satu oleh-oleh kas Papua yang  saat ini cukup diminati oleh para pengunjung yang datang ke Jayapura. Kerajinan kulit kayu seperti ukiran kulit kayu semakin lebih terkenal pada saat Pemerintah Kabupaten Jayapura mulai menggelar event Festival Danau Sentani.

  Setiap kali momen tersebut pastinya berbagai kreasi kulit kayu dengan berbagai motif dan ukiran dipajang.  Sampai dengan saat ini, ukiran kulit kayu sudah diperjual belikan secara bebas dipasaran.

Awalnya ukiran kulit kayu hanya dikenal dari Kabupaten Jayapura dan Kampung Asei merupakan salah satu kampung yang memproduksi ukiran kulit kayu, namun saat ini ukiran tersebut mulai diproduksi dimana-mana termasuk barang tiruan, sehingga barang asli yang diproduksi masyarakat mulai tergerus.

 Dan hal yang sangat dikhawatirkan adalah persaingan harga juga mulai berpengaruh.

Harga kulit kayu asli yang dijual oleh mama-mama asei besar berfariasi mulai dari yang paling mahal untuk ukiran Rp 250 ribu dan untuk tas Rp 150 ribu, topi bulu Rp 50 ribu dan aksesoris lainnya Rp 10 ribu, dengan harga yang dinilai cukup murah namun masih juga ditemukan harga yang lebih murah lagi  di jual di berbagai tempat berupa barang tiruan. Bukan dari kayu asli.

Baca Juga :  Telkom Pastikan Jaringan Telekomunikasi Aman 

  Sebetulanya,  jika dilihat untuk proses pembuatan ukiran kulit kayu asli, membutuhkan waktu dan proses cukup lama, karena kulit kayu yang diambil dihutan dan untuk mengambil kulit kayu saja biasanya para mama-mama pengrajin akan membayar anak laki-laki dari kampung tersebut selanjutnya baru kayu tersebut dikupas, ditumbuk dan kemudian dijemur hingga kering.

Setelah kering barulah kulit kayu tersebut tidak langsung dilukis oleh para wanita karena berdasarkan adat istiadat orang Sentani khususnya kampung Asei Pulau wanita tidak diperbolehkan untuk melukis ukiran.  Ukiran hanya diperbolehkan oleh kaum laki-laki saja, baik anak-anak maupun orang dewasa.  Wanita hanya diperbolehkan mewarnai ukiran tersebut. Melihat kerumitan tersebut rasanya sayang jika harga kulit kayu asli dijual dengan ukiran imitasasi atau dari pengrajin bukan orang asli Sentani.

Baca Juga :  Pasca Lebaran, Permintaan Komoditi Pertanian Stabil

  Bertha Pepuho, merupakan salah seorang pengrajin kulit kayu dari Kampung Asei Besar, dirinya sudah mengeluti penjualan kerajinan kulit kayu sekitar 24 tahun, adapun kreasi yang dirinya maupun anggota kelompoknya produski yaitu ukiran kulit kayu, tas kulit kayu, topi bulu kasuari dan aksesoris lainnya.

Dengan usahanya tersebut, diakui sangat membantu dia dan suami untuk menyekolakan anak-anak dan juga biaya hidup sehari-hari.

“Saya sebenarnya mengolah kerajinan kulit kayu karena ini bukan saja meneruskan ciri khas budaya kita, tetapi juga sebagai salah satu peningkatan ekonomi keluarga,” jelasnya, kepada Cenderawasih Pos, Jumat (5/7) kemarin.

Meski membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama akan tetapi baginya sangat menyenangkan karena bisa mengembangan potensi daerahnya.

Dirinya juga mengajak para generasi mudah untuk terus berusaha mengembangkan apa yang telah diwariskan oleh para nenek moyang kita, karena budaya adalah aset yang sangat mahal. ***

Perajin Kulit Kayu dari Asei Besar, Bertha Pepuho saat menujukan koleksi topi bulu yang diproduksinya, di lapak jualannya tepat didepan rumahnya di Khalkote Sentani, Jumat (5/7) kemarin.( FOTO : Yohana/Cepos )

Bincang-Bincang Dengan Perajin Kulit Kayu di Asei Besar.

Kerajinan ukiran kulit kayu merupakan warisan budaya yang harus dikembangkan, namun tidak untuk ditiru karena suatu budaya memiliki nilai yang lebih mahal dari sebuah barang tiruan.

Laporan : Yohana/Cepos

Kerajinan kulit kayu merupakan salah satu oleh-oleh kas Papua yang  saat ini cukup diminati oleh para pengunjung yang datang ke Jayapura. Kerajinan kulit kayu seperti ukiran kulit kayu semakin lebih terkenal pada saat Pemerintah Kabupaten Jayapura mulai menggelar event Festival Danau Sentani.

  Setiap kali momen tersebut pastinya berbagai kreasi kulit kayu dengan berbagai motif dan ukiran dipajang.  Sampai dengan saat ini, ukiran kulit kayu sudah diperjual belikan secara bebas dipasaran.

Awalnya ukiran kulit kayu hanya dikenal dari Kabupaten Jayapura dan Kampung Asei merupakan salah satu kampung yang memproduksi ukiran kulit kayu, namun saat ini ukiran tersebut mulai diproduksi dimana-mana termasuk barang tiruan, sehingga barang asli yang diproduksi masyarakat mulai tergerus.

 Dan hal yang sangat dikhawatirkan adalah persaingan harga juga mulai berpengaruh.

Harga kulit kayu asli yang dijual oleh mama-mama asei besar berfariasi mulai dari yang paling mahal untuk ukiran Rp 250 ribu dan untuk tas Rp 150 ribu, topi bulu Rp 50 ribu dan aksesoris lainnya Rp 10 ribu, dengan harga yang dinilai cukup murah namun masih juga ditemukan harga yang lebih murah lagi  di jual di berbagai tempat berupa barang tiruan. Bukan dari kayu asli.

Baca Juga :  Dampak Pandemi, Pencapaian Bisnis Pegadaian Terkoreksi 10 Persen

  Sebetulanya,  jika dilihat untuk proses pembuatan ukiran kulit kayu asli, membutuhkan waktu dan proses cukup lama, karena kulit kayu yang diambil dihutan dan untuk mengambil kulit kayu saja biasanya para mama-mama pengrajin akan membayar anak laki-laki dari kampung tersebut selanjutnya baru kayu tersebut dikupas, ditumbuk dan kemudian dijemur hingga kering.

Setelah kering barulah kulit kayu tersebut tidak langsung dilukis oleh para wanita karena berdasarkan adat istiadat orang Sentani khususnya kampung Asei Pulau wanita tidak diperbolehkan untuk melukis ukiran.  Ukiran hanya diperbolehkan oleh kaum laki-laki saja, baik anak-anak maupun orang dewasa.  Wanita hanya diperbolehkan mewarnai ukiran tersebut. Melihat kerumitan tersebut rasanya sayang jika harga kulit kayu asli dijual dengan ukiran imitasasi atau dari pengrajin bukan orang asli Sentani.

Baca Juga :  Harga Beras Naik, Warga Bisa Konsumsi Pangan Lokal

  Bertha Pepuho, merupakan salah seorang pengrajin kulit kayu dari Kampung Asei Besar, dirinya sudah mengeluti penjualan kerajinan kulit kayu sekitar 24 tahun, adapun kreasi yang dirinya maupun anggota kelompoknya produski yaitu ukiran kulit kayu, tas kulit kayu, topi bulu kasuari dan aksesoris lainnya.

Dengan usahanya tersebut, diakui sangat membantu dia dan suami untuk menyekolakan anak-anak dan juga biaya hidup sehari-hari.

“Saya sebenarnya mengolah kerajinan kulit kayu karena ini bukan saja meneruskan ciri khas budaya kita, tetapi juga sebagai salah satu peningkatan ekonomi keluarga,” jelasnya, kepada Cenderawasih Pos, Jumat (5/7) kemarin.

Meski membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama akan tetapi baginya sangat menyenangkan karena bisa mengembangan potensi daerahnya.

Dirinya juga mengajak para generasi mudah untuk terus berusaha mengembangkan apa yang telah diwariskan oleh para nenek moyang kita, karena budaya adalah aset yang sangat mahal. ***

Berita Terbaru

Artikel Lainnya