Saturday, September 21, 2024
29.7 C
Jayapura

Lupa Cuci Muka “Dihajar” Angin dan Petir Malam Hari

KOLEKSI SEJARAH: Seorang pengunjung mengamati bagian-bagian ruang artefak yang berisi sekitar 12.000 item benda sejarah yang dikumpulkan dari Papua dan Papua Barat, Senin (24/6). Balai Arkeologi menyebut banyak lokasi bersejarah yang terancam rusak bahkan hilang akibat belum diproteksi.) FOTO : Gamel/Cepos)

Mengorek Hasil Penelitian Balai Arkeologi Papua Dua Tahun Terakhir

Tak ada masa depan bila tak ada cerita masa lalu. Masa lalu  merupakan akar kondisi masa sekarang. Semboyan yang dipegang teguh Balai Arkeologi. Cenderawasih Pos mencoba mengulik dapur mereka di Waena Kampung.

Laporan : Abdel Gamel Naser, Jayapura 

Papua maupun daerah lainnya di Indonesia memiliki banyak cerita sejarah yang unik dan berkesan. Tak sedikit benda-benda peninggalan sejarah yang menjadi penting karena akan menjadi cermin dari kondisi saat ini. Yang jelas manusia tak boleh melupakan sejarah karena dari situlah akar jatidiri dan budaya itu lahir. 

Sayangnya hingga kini jika berbicara soal sejarah, sebagian besar kaum millenial justru terpapar dengan keberadaan teknologi yang tersaji dari gadget. 

Sangat sedikit yang mau belajar tentang sejarah terlebih  lokas-lokasi yang dulu menjadi peradaban manusia yang ribuan tahun lalu sudah ada di Papua. Banyak cerita yang bisa digali dan salah satunya adalah yang dikerjakan selama ini oleh Balai Arkeologi Papua. 

Untuk mendatangi lokasi ini sejatinya sangat mudah. Kantor Balai Arkeologi Papua terbilang masih diseputaran Kota Jayapura meski berada tak jauh dari perbatasan kota dan Kabupaten Jayapura. Lokasinya berada di Waena Kampung lokasi kediaman pertama Ondoafi Ramses Ohee. 

Jika dari arah Abepura menuju Waena, sebelum jembatan Expo belok ke arah kanan dan pertigaan pertama  mengambil jalur kanan hingga mendapat gang kedua sebelah kiri. 

Kantor Balai Arkeologi ini berada sedikit di ketinggian. Bangunannya terbilang sangat representatif dengan lokasi halaman parkir yang sangat luas. Sebelum menemui kepala balai, Cenderawasih Pos sempat berdiskusi dengan  Adi Dian Setiawan, salah satu pengolah data arkeologi. 

Ia menceritakan bahwa di ruang Artefak banyak kontainer yang berisi benda-benda peninggalan pra sejarah maupun benda sejarah. Tercatat ada 12.000 lebih item atau jenis temuan pra sejarah hingga kolonial. Benda yang tersimpan diantaranya tulang, alat batu, gerabah higga peralatan perang. “Di sini sebagian disimpan dan sebagian dipamerkan. Ada dari Papua da Papua Barat,” kata Adi, Senin (24/6). 

Ia menjelaskan benda-benda ini diperoleh dari dua masa. Pertama masa pra sejarah dan kedua masa kolonial. Di Indonesia kata Adi, pembabakannya dibagi empat, pertama pra sejarah, kedua masa klasik, ketiga masa islam dan keempat masa kolonial.  Jaman pra sejarah ini biasanya meninggalkan benda berupa lukisan di dinding gua, fosil dan tulang-tulang. 

Namun bila klasik bentuknya candi. Hanya saja di Papua tak  ditemukan candi. Sedangkan  masa Islam masih bisa ditemukan seperti masjid kuno seperti di Salawati Papua Barat ada situs seperti jejak bangunan masjid tua dan beberapa artefak lainnya yang ditemukan.

 “Dari penelitian pertama tahun 1995 hingga kini tercatat ada 12.000 an item yang sudah terkumpul. Suhu ruangan artefak ini memang seharusnya diatur agar tak rusak seperti berjamur atau lapuk,” jelas Adi. Ia membenarkan bahwa lokasi benda pra sejarah maupun sejarah ada banyak sekalihanya saja SDM atau tenaga ahlinya yang masih terbatas. Kabalai Arkeologi Papua, Drs. Gusti Made Sudarmika membeberkan panjang lebar kerjaan yang telah dan sedang dikerjakan saat ini. Ia menyebut bahwa tahun ini ada beberapa situs yang sedang diteliti. 

Pertama di Danau Sentani, lalu di Wamena, Wondama, Raja Ampat, Biak Numfor  dan daerah perbatasan RI-PNG  disebuah pulau sekitar Merauke dan ada juga di Keerom. “Itu kegiatan di tahun lalu namun berlanjut di tahun 2019,” kata Sudarmika di ruang kerjanya. 

Dijelaskan, untuk lokasi Sentani  yang dilakukan adalah penelitian soal gerabah dan awal hunian manusia di Danau Sentani dan sekitarnya. Untuk di Wamena  dilakukan penelitian tentang goa, mempelajari awal kehidupan manusia disekitar Lembah Baliem. Lalu di Keerom mempelajari persinggungan budaya PNG dan Indonesia. 

Baca Juga :  17 Prestasi Lumpuhkan KKB, Ka Ops Damai Cartenz Naik Bintang Satu

“Di situ juga ada gua, rangka manusia, lukisan dinding. Rangka manusia ini sedang kami teliti umurnya.  Hanya untuk meneliti umur ini harus keluar negeri atau di Jakarta,” tambahnya. 

 Balai Arkeologi di Papua sendiri belum memiliki alat untuk mengecek usia benda hasil penelitian yang ditemukan. Benda-benda ini jika ingin diketahui umur atau berasa dari tahun berapa harus diteliti di luar. Tempat lainnya yakni  di Wondama dan Wasior sedang dilakukan penelitian tentang motif lukisan pada dinding batu. 

 “Di Wasior kondisinya sangat bagus dan ada banyak data arkeologi yang bisa diangkat sedangkan di Biak  ada gua jepang. Ada senjata, peluru dan benda lainnya. Terakhir di Gunung Srobu Jayapura kami mencoba mengurai ras pendukung dari budaya. Kami mempelajari awal mula ras atau percampuran ras antara mongoloid dan austromelanesoid,” katanya. 

Srobu merupakan satu lokasi penelitian yang  sangat menarik karena disinyalir menjadi lokasi peradaban pertama masyaakat Tabi yang usianya  sekitar 3000 tahun. 

 Di sini ada beberapa tulang manusia, gerabah, sempe dan manik-manik. Srobu juga dibilang menjadi situs hunian. Hanya sayangnya lokasi ini belum sepenuhnya diperhatikan oleh pemerintah sehingga lokasinya terbiar begitu saja. Bisa dimasuki siapa saja dan kapan saja sehingga potensi, rusak dan hilang sangat memungkinkan. 

“Ini yang kami khawatirkan. Di situ menarik sekali. Banyak petunjuk yang bisa digunakan untuk mengetahui apa yang terjadi masa lalu. Dari kondisinya bisa disimpulkan bahwa dulunya di Srobu adalah lokasi pemukiman. Ada masyarakat disana,” katanya.

  Penelitian lainnya yang sedang jalan dilakukan di Wamena dan Raja Ampat. Keduanya tentang peradaban awal. “Kami gali potensi jaman paparan sahul atau bagian dari lempeng landas kontinen benua Sahul (benua Australia) yang terletak  di lepas pantau utara Australia dan lautan selatan pulau Papua. Prediksinya pulau Papua dan Australia pada 10.000-15.000 tahun lalu pulau menyatu. Ini yang sedang kami teliti,” jelasnya,

Tempat lain yang juga dikatakan menarik adalah situs MegalitikTutari. Lokasinya di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Diberi nama Tutari karena berada di Bukit Tutari yang konon dulunya pernah ada suku mendiami wilayah sekitar situs ini. Suku tersebut adalah Tutari. Situs tersebut diyakini digunakan sebagai tempat penyembahan. 

Hanya sayangnya suku Tutari ini sendiri sudah musnah akibat perang suku. Masyarakat setempat mempercayai sebagian suku ini telah menjelma menjadi batu yang sekarang berdiri. Peninggalan situs ini antara lain batu bongkahan berbentuk arca, batu lukis, batu berbaris, dan menhir (batu berdiri). 

Situs ini menyimpan sejarah kebudayaan masyarakat pinggiran  Danau Sentani pada masa pra sejarah, tepatnya zaman neolitik akhir. Pada zaman itu, manusia mulai hidup bercocok tanam, berkelompok, menetap, dan tinggal bersama dalam kampung. 

Banyak juga ditemukan ukiran atau lukisan  di batu. Hasil penelitian menyebutkan, batu untuk menggores dari Pegunungan Cyclop, berjenis batuan beku peridiotit. Namun sayangnya, sama seperti nasib situs lainnya, Tutari kata Sudarmika juga belum sepenuhnya terkelola secara baik. Meski ada pagar namun lokasi yang berada di bukit-bukit ini mudah terbakar. Debu dari bekas bakaran bisa menutupi goresan di batu dan merusak. 

 “Tutari ini situs lama dan sedang digarap bagaimana mempromosikan nilai budaya kepada siswa. Hampir 2 kali kami cek terkait peradaban di sana. Kami mencoba membumikan lagi sebab sangat menarik. Situs Tutari sangat penting dengan nilai estetika dan budaya yang sangat tinggi,” ungkap Sudarmika. 

Baca Juga :  Kejati Papua Tetapkan 4 Orang Sebagai Tersangka

Ia bahkan yakin lahirnya seni lukis yang ada di Tabi ini sumbernya dari Tutari. “Banyak sekali lukisan. Lukisan itu dipahat di batu-batu besar dan sangat terlihat. Ada motif ikan, kura-kura, kadal atau buaya namun bila ditanya apakah di lokasi ini ada pemukiman? Ini yang selama ini kami kejar tapi belum menemukan tanda-tanda,” bebernya.

 “Kami belum menemukan dimana mereka bermukim. Bekasnya susah sekali. Biasa ada konsentrasi gerabah atau lainnya tapi ini sulit sekali. Bahkan kami sudah menyisir pinggiran danau juga tak ada.  Tutari ini bisa disimpulkan bukan lokasi hunian tetapi tempat suci,” akunya. 

Balai Arkeologi menyarankan lokasi ini dijadikan lokasi konservasi sehingga ada pegelolaan. Dijaga.  Pemda diharapkan membantu mengelola sebab lokasinya sangat bagus dijadikan destinasi wisata karena ada Bukit Teletubies dan Danau Sentani di sekitarnya.

 Sedangkan situs lainnya yakni Srobu kata Made Sudarmika yang diperlukan adalah merekontruksi dan menyelamatkan situs hunian tersebut. “Yang diperlukan pemeliharaan, untuk srobu banyak yang rusak karena ada juga masyarakat yang naik sampai ke atas,” tambahnya. 

Made Sudarmika mengingatkan bahwa berbagai spot sejarah dan pra sejarah ini bisa dikelola untuk mendatangkan pendapatan daerah dan penting untuk mengetahui sejarah masa lalu mengingat tanpa masa  lalu tentunya tak ada masa depan. 

 Menurutnya, masa lalu bisa digunakan untuk belajar. Jika sudah tahu maka bisa menjadi landasan berfikir untuk masa depan atau akan datang sehingga kita sebagai bangsa tak kehilangan jati diri. “Tak boleh kehilangan akar sebab masa lalu itulah akar. Pembangunan yang tak berkonsep masa lalu maka ia akan kehilangan rohnya,” sambungnya. 

Ia mencontohkan orang yang sehari-hari hidup di laut tiba-tiba dibantu rumah tapi tempatnya di darat. Orang tersebut dipastikan akan bingung.

 Disinggung soal apakah  selama melakukan penelitian pernah mengalami hal-hal mistik mengingat benda yang diteliti merupakan bagian dari peninggalan sejarah nenek moyang? Kata Made Sudarmika hal tersebut pernah ia alami. 

Diceritakan tahun 2018 lalu ia menuju salah satu pulau di Nabire yang konon dipercaya masyarakat bahwa pulau ini sangat dikeramatkan. Hanya sayangnya, dirinya lupa nama pulau tersebut. Nah saat tiba di pulau dengan kondisi mulai gelap, ia tak langsung membasuh tubuh dengan air asin dimana masyarakat setempat  meyakini bila ada orang baru maka sebaiknya memperkenalkan diri dengan cara membasuh wajah di air laut.

 “Tapi saat itu tidak saya lakukan. Saya  datang paling terlambat dan langsung melakukan kegiatan. Tidak lama angin kencang, hujan dan petir menggelegar sekali. Menakutkan dan itu diketahui masyarakat kampung,” katanya. 

Kata Sudarmika lokasi yang didatangi merupakan tempat hunian masa lalu yang usianya sekitar 3000 an tahun. Dilanjutkan bahwa dari situasi yang mencekam tersebut pihak tuan rumah langsung memintanya untuk mandi air laut dan tak lama sekitar satu jam kemudian cuaca ekstrim ini hilang. “Itu tidak  lama, setelah saya membasuh badan dengan air laut, cuaca ini kembali normal. Tempat yang kami teliti adalah hunian tua dan memang dikeramatkan,” kenangnya. 

Sementara Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Bantar B Mano juga mengomentari soal lokasi Srobu. Ia sepakat lokasi tersebut harus dijaga. Perlu program yang saling bersinergi agar jangan dirusak oleh masyarakat. “Tapi kami harus berkoordinasi dengan masyarakat adat karena itu lokasi mereka namun disatu sisi lokasi tersebut perlu ditata dan dikelola serta diproteksi. Di sini  saya setuju lokasi Srobu dijaga,” singkatnya saat ditemui di Grand Abe Hotel, kemarin. (*)

KOLEKSI SEJARAH: Seorang pengunjung mengamati bagian-bagian ruang artefak yang berisi sekitar 12.000 item benda sejarah yang dikumpulkan dari Papua dan Papua Barat, Senin (24/6). Balai Arkeologi menyebut banyak lokasi bersejarah yang terancam rusak bahkan hilang akibat belum diproteksi.) FOTO : Gamel/Cepos)

Mengorek Hasil Penelitian Balai Arkeologi Papua Dua Tahun Terakhir

Tak ada masa depan bila tak ada cerita masa lalu. Masa lalu  merupakan akar kondisi masa sekarang. Semboyan yang dipegang teguh Balai Arkeologi. Cenderawasih Pos mencoba mengulik dapur mereka di Waena Kampung.

Laporan : Abdel Gamel Naser, Jayapura 

Papua maupun daerah lainnya di Indonesia memiliki banyak cerita sejarah yang unik dan berkesan. Tak sedikit benda-benda peninggalan sejarah yang menjadi penting karena akan menjadi cermin dari kondisi saat ini. Yang jelas manusia tak boleh melupakan sejarah karena dari situlah akar jatidiri dan budaya itu lahir. 

Sayangnya hingga kini jika berbicara soal sejarah, sebagian besar kaum millenial justru terpapar dengan keberadaan teknologi yang tersaji dari gadget. 

Sangat sedikit yang mau belajar tentang sejarah terlebih  lokas-lokasi yang dulu menjadi peradaban manusia yang ribuan tahun lalu sudah ada di Papua. Banyak cerita yang bisa digali dan salah satunya adalah yang dikerjakan selama ini oleh Balai Arkeologi Papua. 

Untuk mendatangi lokasi ini sejatinya sangat mudah. Kantor Balai Arkeologi Papua terbilang masih diseputaran Kota Jayapura meski berada tak jauh dari perbatasan kota dan Kabupaten Jayapura. Lokasinya berada di Waena Kampung lokasi kediaman pertama Ondoafi Ramses Ohee. 

Jika dari arah Abepura menuju Waena, sebelum jembatan Expo belok ke arah kanan dan pertigaan pertama  mengambil jalur kanan hingga mendapat gang kedua sebelah kiri. 

Kantor Balai Arkeologi ini berada sedikit di ketinggian. Bangunannya terbilang sangat representatif dengan lokasi halaman parkir yang sangat luas. Sebelum menemui kepala balai, Cenderawasih Pos sempat berdiskusi dengan  Adi Dian Setiawan, salah satu pengolah data arkeologi. 

Ia menceritakan bahwa di ruang Artefak banyak kontainer yang berisi benda-benda peninggalan pra sejarah maupun benda sejarah. Tercatat ada 12.000 lebih item atau jenis temuan pra sejarah hingga kolonial. Benda yang tersimpan diantaranya tulang, alat batu, gerabah higga peralatan perang. “Di sini sebagian disimpan dan sebagian dipamerkan. Ada dari Papua da Papua Barat,” kata Adi, Senin (24/6). 

Ia menjelaskan benda-benda ini diperoleh dari dua masa. Pertama masa pra sejarah dan kedua masa kolonial. Di Indonesia kata Adi, pembabakannya dibagi empat, pertama pra sejarah, kedua masa klasik, ketiga masa islam dan keempat masa kolonial.  Jaman pra sejarah ini biasanya meninggalkan benda berupa lukisan di dinding gua, fosil dan tulang-tulang. 

Namun bila klasik bentuknya candi. Hanya saja di Papua tak  ditemukan candi. Sedangkan  masa Islam masih bisa ditemukan seperti masjid kuno seperti di Salawati Papua Barat ada situs seperti jejak bangunan masjid tua dan beberapa artefak lainnya yang ditemukan.

 “Dari penelitian pertama tahun 1995 hingga kini tercatat ada 12.000 an item yang sudah terkumpul. Suhu ruangan artefak ini memang seharusnya diatur agar tak rusak seperti berjamur atau lapuk,” jelas Adi. Ia membenarkan bahwa lokasi benda pra sejarah maupun sejarah ada banyak sekalihanya saja SDM atau tenaga ahlinya yang masih terbatas. Kabalai Arkeologi Papua, Drs. Gusti Made Sudarmika membeberkan panjang lebar kerjaan yang telah dan sedang dikerjakan saat ini. Ia menyebut bahwa tahun ini ada beberapa situs yang sedang diteliti. 

Pertama di Danau Sentani, lalu di Wamena, Wondama, Raja Ampat, Biak Numfor  dan daerah perbatasan RI-PNG  disebuah pulau sekitar Merauke dan ada juga di Keerom. “Itu kegiatan di tahun lalu namun berlanjut di tahun 2019,” kata Sudarmika di ruang kerjanya. 

Dijelaskan, untuk lokasi Sentani  yang dilakukan adalah penelitian soal gerabah dan awal hunian manusia di Danau Sentani dan sekitarnya. Untuk di Wamena  dilakukan penelitian tentang goa, mempelajari awal kehidupan manusia disekitar Lembah Baliem. Lalu di Keerom mempelajari persinggungan budaya PNG dan Indonesia. 

Baca Juga :  Sejumlah Catatan Diberikan dari LKPJ Gubernur

“Di situ juga ada gua, rangka manusia, lukisan dinding. Rangka manusia ini sedang kami teliti umurnya.  Hanya untuk meneliti umur ini harus keluar negeri atau di Jakarta,” tambahnya. 

 Balai Arkeologi di Papua sendiri belum memiliki alat untuk mengecek usia benda hasil penelitian yang ditemukan. Benda-benda ini jika ingin diketahui umur atau berasa dari tahun berapa harus diteliti di luar. Tempat lainnya yakni  di Wondama dan Wasior sedang dilakukan penelitian tentang motif lukisan pada dinding batu. 

 “Di Wasior kondisinya sangat bagus dan ada banyak data arkeologi yang bisa diangkat sedangkan di Biak  ada gua jepang. Ada senjata, peluru dan benda lainnya. Terakhir di Gunung Srobu Jayapura kami mencoba mengurai ras pendukung dari budaya. Kami mempelajari awal mula ras atau percampuran ras antara mongoloid dan austromelanesoid,” katanya. 

Srobu merupakan satu lokasi penelitian yang  sangat menarik karena disinyalir menjadi lokasi peradaban pertama masyaakat Tabi yang usianya  sekitar 3000 tahun. 

 Di sini ada beberapa tulang manusia, gerabah, sempe dan manik-manik. Srobu juga dibilang menjadi situs hunian. Hanya sayangnya lokasi ini belum sepenuhnya diperhatikan oleh pemerintah sehingga lokasinya terbiar begitu saja. Bisa dimasuki siapa saja dan kapan saja sehingga potensi, rusak dan hilang sangat memungkinkan. 

“Ini yang kami khawatirkan. Di situ menarik sekali. Banyak petunjuk yang bisa digunakan untuk mengetahui apa yang terjadi masa lalu. Dari kondisinya bisa disimpulkan bahwa dulunya di Srobu adalah lokasi pemukiman. Ada masyarakat disana,” katanya.

  Penelitian lainnya yang sedang jalan dilakukan di Wamena dan Raja Ampat. Keduanya tentang peradaban awal. “Kami gali potensi jaman paparan sahul atau bagian dari lempeng landas kontinen benua Sahul (benua Australia) yang terletak  di lepas pantau utara Australia dan lautan selatan pulau Papua. Prediksinya pulau Papua dan Australia pada 10.000-15.000 tahun lalu pulau menyatu. Ini yang sedang kami teliti,” jelasnya,

Tempat lain yang juga dikatakan menarik adalah situs MegalitikTutari. Lokasinya di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Diberi nama Tutari karena berada di Bukit Tutari yang konon dulunya pernah ada suku mendiami wilayah sekitar situs ini. Suku tersebut adalah Tutari. Situs tersebut diyakini digunakan sebagai tempat penyembahan. 

Hanya sayangnya suku Tutari ini sendiri sudah musnah akibat perang suku. Masyarakat setempat mempercayai sebagian suku ini telah menjelma menjadi batu yang sekarang berdiri. Peninggalan situs ini antara lain batu bongkahan berbentuk arca, batu lukis, batu berbaris, dan menhir (batu berdiri). 

Situs ini menyimpan sejarah kebudayaan masyarakat pinggiran  Danau Sentani pada masa pra sejarah, tepatnya zaman neolitik akhir. Pada zaman itu, manusia mulai hidup bercocok tanam, berkelompok, menetap, dan tinggal bersama dalam kampung. 

Banyak juga ditemukan ukiran atau lukisan  di batu. Hasil penelitian menyebutkan, batu untuk menggores dari Pegunungan Cyclop, berjenis batuan beku peridiotit. Namun sayangnya, sama seperti nasib situs lainnya, Tutari kata Sudarmika juga belum sepenuhnya terkelola secara baik. Meski ada pagar namun lokasi yang berada di bukit-bukit ini mudah terbakar. Debu dari bekas bakaran bisa menutupi goresan di batu dan merusak. 

 “Tutari ini situs lama dan sedang digarap bagaimana mempromosikan nilai budaya kepada siswa. Hampir 2 kali kami cek terkait peradaban di sana. Kami mencoba membumikan lagi sebab sangat menarik. Situs Tutari sangat penting dengan nilai estetika dan budaya yang sangat tinggi,” ungkap Sudarmika. 

Baca Juga :  Massa Mulai Serang Koramil, Aparat Tembak ke Atas Ada yang Mendatar

Ia bahkan yakin lahirnya seni lukis yang ada di Tabi ini sumbernya dari Tutari. “Banyak sekali lukisan. Lukisan itu dipahat di batu-batu besar dan sangat terlihat. Ada motif ikan, kura-kura, kadal atau buaya namun bila ditanya apakah di lokasi ini ada pemukiman? Ini yang selama ini kami kejar tapi belum menemukan tanda-tanda,” bebernya.

 “Kami belum menemukan dimana mereka bermukim. Bekasnya susah sekali. Biasa ada konsentrasi gerabah atau lainnya tapi ini sulit sekali. Bahkan kami sudah menyisir pinggiran danau juga tak ada.  Tutari ini bisa disimpulkan bukan lokasi hunian tetapi tempat suci,” akunya. 

Balai Arkeologi menyarankan lokasi ini dijadikan lokasi konservasi sehingga ada pegelolaan. Dijaga.  Pemda diharapkan membantu mengelola sebab lokasinya sangat bagus dijadikan destinasi wisata karena ada Bukit Teletubies dan Danau Sentani di sekitarnya.

 Sedangkan situs lainnya yakni Srobu kata Made Sudarmika yang diperlukan adalah merekontruksi dan menyelamatkan situs hunian tersebut. “Yang diperlukan pemeliharaan, untuk srobu banyak yang rusak karena ada juga masyarakat yang naik sampai ke atas,” tambahnya. 

Made Sudarmika mengingatkan bahwa berbagai spot sejarah dan pra sejarah ini bisa dikelola untuk mendatangkan pendapatan daerah dan penting untuk mengetahui sejarah masa lalu mengingat tanpa masa  lalu tentunya tak ada masa depan. 

 Menurutnya, masa lalu bisa digunakan untuk belajar. Jika sudah tahu maka bisa menjadi landasan berfikir untuk masa depan atau akan datang sehingga kita sebagai bangsa tak kehilangan jati diri. “Tak boleh kehilangan akar sebab masa lalu itulah akar. Pembangunan yang tak berkonsep masa lalu maka ia akan kehilangan rohnya,” sambungnya. 

Ia mencontohkan orang yang sehari-hari hidup di laut tiba-tiba dibantu rumah tapi tempatnya di darat. Orang tersebut dipastikan akan bingung.

 Disinggung soal apakah  selama melakukan penelitian pernah mengalami hal-hal mistik mengingat benda yang diteliti merupakan bagian dari peninggalan sejarah nenek moyang? Kata Made Sudarmika hal tersebut pernah ia alami. 

Diceritakan tahun 2018 lalu ia menuju salah satu pulau di Nabire yang konon dipercaya masyarakat bahwa pulau ini sangat dikeramatkan. Hanya sayangnya, dirinya lupa nama pulau tersebut. Nah saat tiba di pulau dengan kondisi mulai gelap, ia tak langsung membasuh tubuh dengan air asin dimana masyarakat setempat  meyakini bila ada orang baru maka sebaiknya memperkenalkan diri dengan cara membasuh wajah di air laut.

 “Tapi saat itu tidak saya lakukan. Saya  datang paling terlambat dan langsung melakukan kegiatan. Tidak lama angin kencang, hujan dan petir menggelegar sekali. Menakutkan dan itu diketahui masyarakat kampung,” katanya. 

Kata Sudarmika lokasi yang didatangi merupakan tempat hunian masa lalu yang usianya sekitar 3000 an tahun. Dilanjutkan bahwa dari situasi yang mencekam tersebut pihak tuan rumah langsung memintanya untuk mandi air laut dan tak lama sekitar satu jam kemudian cuaca ekstrim ini hilang. “Itu tidak  lama, setelah saya membasuh badan dengan air laut, cuaca ini kembali normal. Tempat yang kami teliti adalah hunian tua dan memang dikeramatkan,” kenangnya. 

Sementara Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Bantar B Mano juga mengomentari soal lokasi Srobu. Ia sepakat lokasi tersebut harus dijaga. Perlu program yang saling bersinergi agar jangan dirusak oleh masyarakat. “Tapi kami harus berkoordinasi dengan masyarakat adat karena itu lokasi mereka namun disatu sisi lokasi tersebut perlu ditata dan dikelola serta diproteksi. Di sini  saya setuju lokasi Srobu dijaga,” singkatnya saat ditemui di Grand Abe Hotel, kemarin. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya