Friday, March 29, 2024
29.7 C
Jayapura

Maju Pilgub Siapkan Rp 100 M, Pilbup Minimal Habis Rp 30 M

Isu Mahar dan Calo Rekom Pilkada Muncul Lagi 

Hari-hari ini para kandidat kepala daerah sibuk bukan main. Mereka berburu surat rekomendasi parpol untuk bekal mengikuti pilkada. Segala cara bisa ditempuh. Ketika jalur resmi buntu, jalan basah pun bisa dipilih.

—–

LOBI salah satu hotel di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pagi itu terlihat ramai. Beberapa orang terlihat duduk di sofa panjang, tak jauh dari meja resepsionis. Di antara tamu yang duduk itu, ada seorang pejabat pemerintah asal Sulawesi. Usianya sekitar 50 tahun. Dia menginap di hotel tersebut bersama beberapa pengurus partai dari daerah yang sama. ’’Saya yang membiayai operasional mereka,’’ ujar pejabat itu. 

Peristiwa tersebut terjadi sebelum pandemi Covid-19. Pejabat itu tengah mengikuti prosedur penjaringan bakal calon kepala daerah (bacakada) di tingkat pusat. Mengikutsertakan rombongan politisi daerah adalah konsekuensi dari prosedur itu. Termasuk mengeluarkan anggaran operasional perjalanan yang tidak sedikit.

Tahapan penjaringan selesai beberapa bulan kemudian. Pejabat itu menunggu pengumuman rekomendasi partai politik (parpol). Rekom tersebut adalah tiket agar dia bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah (cakada). Pandemi Covid-19 membuat tahapan Pilkada mundur. Begitu pula pengumuman rekom partai. Sesuai dengan jadwal, pendaftaran calon kepala daerah dibuka pada 4–6 September 2020. 

Meski tahapan Pilkada mundur, lobi-lobi tetap berlangsung di tengah pandemi. Nyaris semua partai memberikan penawaran kepada cakada sebelum rekom dikeluarkan. Baik berupa nama calon wakil maupun dukungan logistik untuk Pilkada. Ada juga tawar-menawar harga untuk sebuah rekom. Negosiasi besaran angka itulah yang membuat resah pejabat tersebut.

Dia menceritakan, tarif sebuah rekom bakal calon wali kota (bacawalkot) secara terang-terangan disampaikan oknum yang mengaku memiliki kedekatan dengan elite salah satu partai. Harga awal yang ditawarkan Rp 10 miliar. ’’Tidak ada bahas tentang ideologi. Yang ada bahas uang,’’ ungkap pria yang enggan disebutkan namanya itu.

Ada pula oknum yang membuka penawaran di angka Rp 2,5 miliar. Belakangan, angka penawaran itu naik dua kali lipat karena perebutan rekom yang makin ketat. Kemudian, ada juga yang ’’menjual’’ rekom dengan besaran menyesuaikan jumlah kursi di DPRD. Satu kursi dihargai Rp 500 juta. ’’Yang dijanjikan tidak hanya rekom, tapi juga jaminan mesin partai di daerah bergerak,’’ katanya. 

Menjelang turunnya rekomendasi Parpol seperti sekarang ini, makelar politik berkeliaran mencari mangsa. Misalnya, yang diceritakan seorang aparatur sipil yang berdinas di salah satu institusi negara. Dia mengaku bisa membantu memuluskan rekomendasi salah satu partai. Dengan catatan, ada tanda jadi untuk operasional. ’’Minimal (tanda jadi) Rp 500 juta. Kalau rekom gagal, uang kembali,’’ ujarnya.

Makelar lain mengatakan hal yang sama. Menariknya, makelar yang satu ini bekerja sebagai tukang pijat panggilan di salah satu platform digital. Kepada Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos), dia mengaku memiliki kenalan elite partai yang bisa memuluskan keluarnya rekom untuk bakal calon. Setingkat pimpinan DPP. ’’Kalau rekom keluar, nanti saya minta fee,’’ tuturnya.

Aroma praktik ’’makelar’’ dalam memburu rekom calon kepala daerah juga tercium di lingkungan parlemen. Mereka kerap mengantarkan si calon atau utusan calon untuk bertemu dengan anggota dewan. Dari sana, anggota dewan itu akan menyambungkan dengan ketua partai. Biasanya, anggota dewan tersebut merupakan pejabat teras sekaligus orang dekat ketua umum partai. 

Misalnya, yang ditemui Jawa Pos pada awal Juli lalu. Saat itu seorang pengurus Parpol mengantar sekelompok orang. Mereka ingin bertemu dengan seorang pimpinan fraksi. Tujuannya, urusan pencalonan kepala daerah. Namun, pengurus Parpol itu mengaku tidak mendapat keuntungan apa pun. ’’Saya hanya mengantar. Paling-paling cuma diberi uang transpor,’’ kilahnya.

Baca Juga :  Intelektual Jangan Menghasut Saat Demo!

Dia menolak bahwa aktivitasnya dianggap bagian dari kerja makelar politik. Dia berdalih, sebagai pengurus DPP, dirinya merasa terpanggil untuk ikut membesarkan partai. Minimal dalam momen pemenangan Pilkada. 

Politik uang menjelang Pilkada bukan barang baru. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengungkapkan, korupsi di sektor politik dan mahalnya biaya politik memang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bangsa ini. ’’Praktik politik berbiaya mahal kerap menimbulkan politik transaksional,’’ ujarnya.

Salah satu masalah Pilkada yang menjadi perhatian KPK adalah potensi munculnya biaya tinggi kontestasi. KPK melihat potensi benturan kepentingan dalam pendanaan Pilkada. Salah satunya ditunjukkan dengan pengeluaran dana Pilkada yang melebihi harta kas paslon. Kajian KPK pada Pilkada 2017 menyebutkan, sekira 47,3 persen paslon mengeluarkan dana Pilkada melebihi harta kas.

Mahar politik, kata Giri, menunjukkan realitas bahwa Pilkada masih berbiaya mahal. Berdasar kajian penelitian dan pengembangan (litbang) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi studi KPK, dana yang dihabiskan untuk menjadi bupati/wali kota mencapai Rp 30 miliar. Sementara itu, pemilihan gubernur sampai Rp 100 miliar.

Tingginya biaya itu mendorong kepala daerah melakukan korupsi untuk menutupi modal pencalonan. Data KPK menyebutkan, hingga 31 Desember 2019, tercatat 397 kasus korupsi yang melibatkan politisi. Di antaranya, menyeret 21 gubernur dan 119 bupati/wali kota. ’’Ada keterkaitan kuat antara tingginya biaya politik dan praktik korupsi kepala daerah,’’ imbuh dia.

Giri menambahkan, Parpol semestinya dikelola secara transparan, demokratis, dan akuntabel. Baik terkait dengan tata kelola sumber daya manusia (SDM), pengelolaan aset, sumber finansial, maupun manajemen partai sebagai organisasi modern. Termasuk dalam hal mengambil keputusan rekomendasi. 

Hasil penelitian KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, ada empat faktor utama yang mengakibatkan Parpol tidak berintegritas. Yakni, tidak adanya standar etik partai dan politisi, rekrutmen politik dan kaderisasi yang masih tradisional, pendanaan yang tidak transparan, serta tidak berjalannya demokrasi internal.

’’Harus ada keputusan politik yang kuat agar masalah politik yang tidak rasional ini segera diselesaikan sampai akarnya,’’ terang mantan direktur gratifikasi KPK itu. ’’Kalau tidak diselesaikan, penegak hukum akan terus sibuk dengan penanganan perkara politik saja,’’ imbuh dia. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto memastikan bahwa mahar politik yang diartikan sebagai jual beli rekomendasi untuk mengikuti Pilkada tidak ada.   Yang ada hanya dana untuk memenuhi kebutuhan logistik selama kontestasi Pilkada. ”Mahar politik dalam arti jual beli rekom saya pastikan tidak ada,” tegas Yandri Jumat (17/7) lalu. 

Dia menegaskan, dana logistik yang dikeluarkan paslon murni untuk kepentingan pemenangan. Logistik sangat dibutuhkan untuk keperluan konsolidasi, menggalang dukungan, hingga menggerakkan mesin partai maupun relawan. Termasuk untuk kampanye, pertemuan, dan membayar saksi-saksi. Belum lagi mencetak atribut seperti spanduk, baliho, stiker, dan alat kampanye lain. ”Itu semua kan butuh duit,” ujarnya. 

Yandri juga menyangkal keberadaan calo dalam memburu rekom. Dia lebih sreg bila disebut sebagai jaringan politik. Alasannya, tidak sedikit calon kepala daerah yang tidak memiliki jaringan kuat sampai ke Jakarta. Karena itu, semua sumber daya berupa jaringan dan relasi diberdayakan untuk membantu komunikasi. Jaringan itu bisa berupa kader partai atau orang luar yang memiliki kedekatan dengan elite partai atau ketua umum partai. ”Prosedurnya begitu. Ada yang tidak tembus langsung ke ketua umum. Harus ada silaturahmi dulu,” paparnya. 

Baca Juga :  35 Warga Sipil Tewas Akibat KKB Selama Tahun 2022

Pihaknya juga bersikap realistis di beberapa daerah. PAN memberikan dukungan cuma-cuma karena mengukur kans menang besar paslon di suatu daerah. Yandri mencontohkan pemilihan calon wali kota Solo. Di sana partai pimpinan Zulkifli Hasan itu berinisiatif mendukung pasangan Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa yang diusung PDI Perjuangan. Dukungan tersebut, imbuh dia, didasari pada pilihan yang rasional dan logis. ”Gibran sangat populer di Solo. Di sana kan memang kandang banteng. Saya kira ini rasional,” tandas ketua Komisi VIII DPR itu. 

Partai Demokrat juga menyangkal adanya mahar politik dalam mengeluarkan rekom. Namun, partai pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu tidak tutup mata dengan fakta bahwa kekuatan logistik si calon menjadi salah satu pertimbangan utama. ”Jika disimulasi, logistik berada di papan atas meskipun bukan nomor satu,” kata Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat Kamhar Lakumani. 

Bahkan, daripada popularitas dan elektabilitas yang tinggi, Demokrat lebih memilih calon dengan logistik yang melimpah. Sebab, dengan dukungan dana yang besar, kandidat bisa melakukan konsolidasi untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Program pemenangan juga tidak bisa berjalan efektif tanpa didukung kekuatan finansial calon. ”Bagaimanapun juga, isi tas itu memang penting,” paparnya. 

Meski demikian, dia menegaskan bahwa Demokrat tidak menganut sistem kontribusi. Artinya, dana yang disetorkan paslon tidak masuk ke struktur partai. Namun, dipakai sebagai dana operasional pemenangan dan konsolidasi.

Lantas, apa yang diminta ke calon kepala daerah? Sebelum mengeluarkan rekom, tim pilkada Demokrat selalu menyiapkan pakta integritas dan kontrak politik. Salah satu poinnya, si calon harus berkomitmen membantu membesarkan partai di daerah setempat. Misalnya, dengan membantu meningkatkan suara dan kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota. ”Berapa sanggupnya (menambah perolehan kursi DPRD, Red) ada dalam kontrak politik itu,” ucapnya. 

Dia mengakui, ada sejumlah kandidat yang menempuh segala cara untuk mendapat rekom. Salah satunya dengan menyodorkan hasil survei abal-abal. Tujuannya, yang bersangkutan terpilih mendapat rekomendasi partai. Namun, bappilu tidak begitu saja memercayai. Pihaknya langsung mengkroscek ke lembaga survei yang bersangkutan.

Selain itu, ada yang merekayasa kekuatan logistik. Misalnya, mengaku punya banyak usaha dan jaringan bisnis untuk membiayai pencalonan. Namun, DPP tidak begitu saja percaya. Pihaknya langsung mengkroscek kebenaran informasi yang diungkapkan si calon. Ternyata ada saja yang nekat berbohong. ”Sejak awal kami tidak punya tempat terhadap para pembual politik seperti itu,” tegas pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut. 

DPP Partai Golkar juga membantah adanya mahar dalam Pilkada. ”Kami mengampanyekan di mana-mana bahwa Golkar tidak ada mahar politik,” terang Ketua Bappilu DPP Partai Golkar Muhammad Idris Laena. Jika ada yang meminta mahar, kata dia, jelas itu bukan dari DPP Partai Golkar. Itu hanya kelakuan oknum yang tidak bertanggung jawab. Menurut dia, kalau ada oknum kader yang ketahuan meminta mahar, partainya akan bertindak tegas. 

Idris mengatakan, Pilkada memang membutuhkan biaya, tetapi bukan mahar politik. Anggota DPR itu mengatakan, ada dua jenis pembiayaan yang dibutuhkan dalam Pilkada. Pertama, dana untuk survei. ”Dana survei bukan untuk DPP Partai Golkar,” terang dia. Menurut Idris, biaya survei diserahkan ke lembaga yang sudah ditetapkan. Besaran biaya sesuai kesepakatan paslon dengan lembaga survei. 

Kedua, dana saksi. Dia mengatakan, biaya saksi juga tidak diserahkan ke DPP. Menurut Idris, dana saksi dikirim ke rekening paslon. Dana itu hanya bisa dicairkan paslon. ”DPP tidak bisa mencairkan. Hanya paslon yang bisa mencairkan selama masa pilkada,” ungkap dia. (mar/tyo/lum/c10/oni/JPG)

Isu Mahar dan Calo Rekom Pilkada Muncul Lagi 

Hari-hari ini para kandidat kepala daerah sibuk bukan main. Mereka berburu surat rekomendasi parpol untuk bekal mengikuti pilkada. Segala cara bisa ditempuh. Ketika jalur resmi buntu, jalan basah pun bisa dipilih.

—–

LOBI salah satu hotel di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pagi itu terlihat ramai. Beberapa orang terlihat duduk di sofa panjang, tak jauh dari meja resepsionis. Di antara tamu yang duduk itu, ada seorang pejabat pemerintah asal Sulawesi. Usianya sekitar 50 tahun. Dia menginap di hotel tersebut bersama beberapa pengurus partai dari daerah yang sama. ’’Saya yang membiayai operasional mereka,’’ ujar pejabat itu. 

Peristiwa tersebut terjadi sebelum pandemi Covid-19. Pejabat itu tengah mengikuti prosedur penjaringan bakal calon kepala daerah (bacakada) di tingkat pusat. Mengikutsertakan rombongan politisi daerah adalah konsekuensi dari prosedur itu. Termasuk mengeluarkan anggaran operasional perjalanan yang tidak sedikit.

Tahapan penjaringan selesai beberapa bulan kemudian. Pejabat itu menunggu pengumuman rekomendasi partai politik (parpol). Rekom tersebut adalah tiket agar dia bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah (cakada). Pandemi Covid-19 membuat tahapan Pilkada mundur. Begitu pula pengumuman rekom partai. Sesuai dengan jadwal, pendaftaran calon kepala daerah dibuka pada 4–6 September 2020. 

Meski tahapan Pilkada mundur, lobi-lobi tetap berlangsung di tengah pandemi. Nyaris semua partai memberikan penawaran kepada cakada sebelum rekom dikeluarkan. Baik berupa nama calon wakil maupun dukungan logistik untuk Pilkada. Ada juga tawar-menawar harga untuk sebuah rekom. Negosiasi besaran angka itulah yang membuat resah pejabat tersebut.

Dia menceritakan, tarif sebuah rekom bakal calon wali kota (bacawalkot) secara terang-terangan disampaikan oknum yang mengaku memiliki kedekatan dengan elite salah satu partai. Harga awal yang ditawarkan Rp 10 miliar. ’’Tidak ada bahas tentang ideologi. Yang ada bahas uang,’’ ungkap pria yang enggan disebutkan namanya itu.

Ada pula oknum yang membuka penawaran di angka Rp 2,5 miliar. Belakangan, angka penawaran itu naik dua kali lipat karena perebutan rekom yang makin ketat. Kemudian, ada juga yang ’’menjual’’ rekom dengan besaran menyesuaikan jumlah kursi di DPRD. Satu kursi dihargai Rp 500 juta. ’’Yang dijanjikan tidak hanya rekom, tapi juga jaminan mesin partai di daerah bergerak,’’ katanya. 

Menjelang turunnya rekomendasi Parpol seperti sekarang ini, makelar politik berkeliaran mencari mangsa. Misalnya, yang diceritakan seorang aparatur sipil yang berdinas di salah satu institusi negara. Dia mengaku bisa membantu memuluskan rekomendasi salah satu partai. Dengan catatan, ada tanda jadi untuk operasional. ’’Minimal (tanda jadi) Rp 500 juta. Kalau rekom gagal, uang kembali,’’ ujarnya.

Makelar lain mengatakan hal yang sama. Menariknya, makelar yang satu ini bekerja sebagai tukang pijat panggilan di salah satu platform digital. Kepada Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos), dia mengaku memiliki kenalan elite partai yang bisa memuluskan keluarnya rekom untuk bakal calon. Setingkat pimpinan DPP. ’’Kalau rekom keluar, nanti saya minta fee,’’ tuturnya.

Aroma praktik ’’makelar’’ dalam memburu rekom calon kepala daerah juga tercium di lingkungan parlemen. Mereka kerap mengantarkan si calon atau utusan calon untuk bertemu dengan anggota dewan. Dari sana, anggota dewan itu akan menyambungkan dengan ketua partai. Biasanya, anggota dewan tersebut merupakan pejabat teras sekaligus orang dekat ketua umum partai. 

Misalnya, yang ditemui Jawa Pos pada awal Juli lalu. Saat itu seorang pengurus Parpol mengantar sekelompok orang. Mereka ingin bertemu dengan seorang pimpinan fraksi. Tujuannya, urusan pencalonan kepala daerah. Namun, pengurus Parpol itu mengaku tidak mendapat keuntungan apa pun. ’’Saya hanya mengantar. Paling-paling cuma diberi uang transpor,’’ kilahnya.

Baca Juga :  Raih WTP di Tengah Kasus yang Menimpa Gubernur

Dia menolak bahwa aktivitasnya dianggap bagian dari kerja makelar politik. Dia berdalih, sebagai pengurus DPP, dirinya merasa terpanggil untuk ikut membesarkan partai. Minimal dalam momen pemenangan Pilkada. 

Politik uang menjelang Pilkada bukan barang baru. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengungkapkan, korupsi di sektor politik dan mahalnya biaya politik memang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bangsa ini. ’’Praktik politik berbiaya mahal kerap menimbulkan politik transaksional,’’ ujarnya.

Salah satu masalah Pilkada yang menjadi perhatian KPK adalah potensi munculnya biaya tinggi kontestasi. KPK melihat potensi benturan kepentingan dalam pendanaan Pilkada. Salah satunya ditunjukkan dengan pengeluaran dana Pilkada yang melebihi harta kas paslon. Kajian KPK pada Pilkada 2017 menyebutkan, sekira 47,3 persen paslon mengeluarkan dana Pilkada melebihi harta kas.

Mahar politik, kata Giri, menunjukkan realitas bahwa Pilkada masih berbiaya mahal. Berdasar kajian penelitian dan pengembangan (litbang) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi studi KPK, dana yang dihabiskan untuk menjadi bupati/wali kota mencapai Rp 30 miliar. Sementara itu, pemilihan gubernur sampai Rp 100 miliar.

Tingginya biaya itu mendorong kepala daerah melakukan korupsi untuk menutupi modal pencalonan. Data KPK menyebutkan, hingga 31 Desember 2019, tercatat 397 kasus korupsi yang melibatkan politisi. Di antaranya, menyeret 21 gubernur dan 119 bupati/wali kota. ’’Ada keterkaitan kuat antara tingginya biaya politik dan praktik korupsi kepala daerah,’’ imbuh dia.

Giri menambahkan, Parpol semestinya dikelola secara transparan, demokratis, dan akuntabel. Baik terkait dengan tata kelola sumber daya manusia (SDM), pengelolaan aset, sumber finansial, maupun manajemen partai sebagai organisasi modern. Termasuk dalam hal mengambil keputusan rekomendasi. 

Hasil penelitian KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, ada empat faktor utama yang mengakibatkan Parpol tidak berintegritas. Yakni, tidak adanya standar etik partai dan politisi, rekrutmen politik dan kaderisasi yang masih tradisional, pendanaan yang tidak transparan, serta tidak berjalannya demokrasi internal.

’’Harus ada keputusan politik yang kuat agar masalah politik yang tidak rasional ini segera diselesaikan sampai akarnya,’’ terang mantan direktur gratifikasi KPK itu. ’’Kalau tidak diselesaikan, penegak hukum akan terus sibuk dengan penanganan perkara politik saja,’’ imbuh dia. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto memastikan bahwa mahar politik yang diartikan sebagai jual beli rekomendasi untuk mengikuti Pilkada tidak ada.   Yang ada hanya dana untuk memenuhi kebutuhan logistik selama kontestasi Pilkada. ”Mahar politik dalam arti jual beli rekom saya pastikan tidak ada,” tegas Yandri Jumat (17/7) lalu. 

Dia menegaskan, dana logistik yang dikeluarkan paslon murni untuk kepentingan pemenangan. Logistik sangat dibutuhkan untuk keperluan konsolidasi, menggalang dukungan, hingga menggerakkan mesin partai maupun relawan. Termasuk untuk kampanye, pertemuan, dan membayar saksi-saksi. Belum lagi mencetak atribut seperti spanduk, baliho, stiker, dan alat kampanye lain. ”Itu semua kan butuh duit,” ujarnya. 

Yandri juga menyangkal keberadaan calo dalam memburu rekom. Dia lebih sreg bila disebut sebagai jaringan politik. Alasannya, tidak sedikit calon kepala daerah yang tidak memiliki jaringan kuat sampai ke Jakarta. Karena itu, semua sumber daya berupa jaringan dan relasi diberdayakan untuk membantu komunikasi. Jaringan itu bisa berupa kader partai atau orang luar yang memiliki kedekatan dengan elite partai atau ketua umum partai. ”Prosedurnya begitu. Ada yang tidak tembus langsung ke ketua umum. Harus ada silaturahmi dulu,” paparnya. 

Baca Juga :  Intelektual Jangan Menghasut Saat Demo!

Pihaknya juga bersikap realistis di beberapa daerah. PAN memberikan dukungan cuma-cuma karena mengukur kans menang besar paslon di suatu daerah. Yandri mencontohkan pemilihan calon wali kota Solo. Di sana partai pimpinan Zulkifli Hasan itu berinisiatif mendukung pasangan Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa yang diusung PDI Perjuangan. Dukungan tersebut, imbuh dia, didasari pada pilihan yang rasional dan logis. ”Gibran sangat populer di Solo. Di sana kan memang kandang banteng. Saya kira ini rasional,” tandas ketua Komisi VIII DPR itu. 

Partai Demokrat juga menyangkal adanya mahar politik dalam mengeluarkan rekom. Namun, partai pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu tidak tutup mata dengan fakta bahwa kekuatan logistik si calon menjadi salah satu pertimbangan utama. ”Jika disimulasi, logistik berada di papan atas meskipun bukan nomor satu,” kata Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat Kamhar Lakumani. 

Bahkan, daripada popularitas dan elektabilitas yang tinggi, Demokrat lebih memilih calon dengan logistik yang melimpah. Sebab, dengan dukungan dana yang besar, kandidat bisa melakukan konsolidasi untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Program pemenangan juga tidak bisa berjalan efektif tanpa didukung kekuatan finansial calon. ”Bagaimanapun juga, isi tas itu memang penting,” paparnya. 

Meski demikian, dia menegaskan bahwa Demokrat tidak menganut sistem kontribusi. Artinya, dana yang disetorkan paslon tidak masuk ke struktur partai. Namun, dipakai sebagai dana operasional pemenangan dan konsolidasi.

Lantas, apa yang diminta ke calon kepala daerah? Sebelum mengeluarkan rekom, tim pilkada Demokrat selalu menyiapkan pakta integritas dan kontrak politik. Salah satu poinnya, si calon harus berkomitmen membantu membesarkan partai di daerah setempat. Misalnya, dengan membantu meningkatkan suara dan kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota. ”Berapa sanggupnya (menambah perolehan kursi DPRD, Red) ada dalam kontrak politik itu,” ucapnya. 

Dia mengakui, ada sejumlah kandidat yang menempuh segala cara untuk mendapat rekom. Salah satunya dengan menyodorkan hasil survei abal-abal. Tujuannya, yang bersangkutan terpilih mendapat rekomendasi partai. Namun, bappilu tidak begitu saja memercayai. Pihaknya langsung mengkroscek ke lembaga survei yang bersangkutan.

Selain itu, ada yang merekayasa kekuatan logistik. Misalnya, mengaku punya banyak usaha dan jaringan bisnis untuk membiayai pencalonan. Namun, DPP tidak begitu saja percaya. Pihaknya langsung mengkroscek kebenaran informasi yang diungkapkan si calon. Ternyata ada saja yang nekat berbohong. ”Sejak awal kami tidak punya tempat terhadap para pembual politik seperti itu,” tegas pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut. 

DPP Partai Golkar juga membantah adanya mahar dalam Pilkada. ”Kami mengampanyekan di mana-mana bahwa Golkar tidak ada mahar politik,” terang Ketua Bappilu DPP Partai Golkar Muhammad Idris Laena. Jika ada yang meminta mahar, kata dia, jelas itu bukan dari DPP Partai Golkar. Itu hanya kelakuan oknum yang tidak bertanggung jawab. Menurut dia, kalau ada oknum kader yang ketahuan meminta mahar, partainya akan bertindak tegas. 

Idris mengatakan, Pilkada memang membutuhkan biaya, tetapi bukan mahar politik. Anggota DPR itu mengatakan, ada dua jenis pembiayaan yang dibutuhkan dalam Pilkada. Pertama, dana untuk survei. ”Dana survei bukan untuk DPP Partai Golkar,” terang dia. Menurut Idris, biaya survei diserahkan ke lembaga yang sudah ditetapkan. Besaran biaya sesuai kesepakatan paslon dengan lembaga survei. 

Kedua, dana saksi. Dia mengatakan, biaya saksi juga tidak diserahkan ke DPP. Menurut Idris, dana saksi dikirim ke rekening paslon. Dana itu hanya bisa dicairkan paslon. ”DPP tidak bisa mencairkan. Hanya paslon yang bisa mencairkan selama masa pilkada,” ungkap dia. (mar/tyo/lum/c10/oni/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya