Saturday, April 20, 2024
26.7 C
Jayapura

Bupati Nduga Tawarkan Pembangunan Jalan dan Jembatan Dibatalkan

Yairus Gwijangge. (KIRI) ( FOTO : Denny/Cepos )

WAMENA-Saat pemerintah pusat berusaha keras untuk menyelesaikan pembangunan jalan dan jembatan trans Papua, Pemkab Nduga justru akan menawarkan ke pemerintah pusat agar program tersebut dibatalkan.

Bupati Nduga, Yairus Gwijangge mengaku akan menemui Presiden Jokowi untuk menawarkan pemerintah pusat menghentikan pembangunan jalan dan jembatan di Kabupaten Nduga. 

Menurut Bupati Yairus Gwijangge, penghentian pembangunan jalan dan jembatan tersebut merupakan salah satu cara untuk agar pasukan TNI-Polri yang ada di Kabupaten nduga tidak terus bertambah dan bahkan bisa ditarik.

“Kalau program jalan dan jembatan itu masih ada maka tidak lagi mereka mengejar program pembangunan itu harus selesai sehingga tidak ada lagi pengadaan pasukan yang terus bertambah di Nduga,” ungkapnya kepada wartawan di halaman Gereja Kingmi Weneroma, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Senin (18/3).

Dikatakan, dirinya sudah melakukan pertemuan dengan Pangdam XVII/Cenderawasih dan Kapolda Papua untuk meminta penarikan pasukan dari Kabupaten Nduga. Sebab pihaknya akan melakukan upaya-upaya preventif untuk mengendalikan TPN/OPM. Namun menurutnya tidak ada hasil dan bahkan distrik yang tidak terjadi konflik juga terus dimasukkan aparat keamanan. 

“Mereka menyatakan harus ada perintah presiden baru bisa pasukan itu ditarik. Oleh sebab itu, saya berpikir untuk bertemu presiden dan meminta membatalkan program pembangunan jalan dan jembatan ke arah Nduga,” tuturnya. 

Untuk menarik pasukan dari Kabupaten Nduga menurut Bupati  Yairus Gwijangge, jalan terakhir yang akan ditempuh Pemkab Nduga yakni membatalkan semua program pembangunan dari pemerintah pusat atau program dari Presiden, supaya tidak ada operasi-operasi militer di daerahnya. 

Baca Juga :  Warning! Kasus Positif Terus Bertambah

Bupati Yairus Gwijangge menyatakan jika, operasi ini tidak hanya terjadi di distrik yang konflik tetapi semua distrik di Nduga sudah dimasuki aparat sehingga ini yang sulit untuk dikendalikan. Oleh sebab itu, dirinya menawarkan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan program pembangunan yang dikerjakan di Nduga untuk menghentikan operasi militer di sana.

“Saya tawarkan itu agar bisa menghentikan operasi militer di sana. Saya berencana menyampaikan masalah ini langsung ke Presiden,” tegasnya.

Ditambahkan, dengan adanya konflik beberapa waktu yang lalu dan masuknya aparat TNI, maka 26  distrik di Kabupaten Nduga ditinggal masyarakatnya mengungsi ke hutan dan ke daerah terdekat. 

Bahkan menurut Bupati Yairus Gwijangge ada distrik yang dikosongkan sama sekali sehingga pemerintah kesulitan untuk memanggil mereka kembali.

“Mungkin dengan menolak program pembangunan pemerintah pusat maka operasi militer ini bisa berakhir dan aparat ditarik sehingga masyarakat bisa kembali ke kampung halamannya,” tambahnya. 

Sementara itu, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi menyebutkan sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dimana operasi  militer bagi TNI ada dua  yakni  operasi militer untuk perang dalam mengahdapi musuh dan operasi militer selain perang.

Dalam operasi sendiri menurut Aidi terdiri dari 14 poin, dimana  operasi militer selain peran di antaranya  terkait dengan kasus Nduga  yakni penindakan terhadap separatis juga dilakukan operasi perbantuan terhadap Polri, operasi penanggulangan terhadap pemberontakan bersenjata dan operasi perbantuan pemerintah di daerah.

Baca Juga :  Bantah Bakar Mapolsek Kawasan Bandara Sentani

“Empat poin ini yang dilaksanakan TNI di Kabupaten Nduga, dan itu sesuai dengan undang-undang. Untuk itu, apabila bupati meminta  pasukan ditarik dari Nduga, itu artinya Bupati menghalangi TNI untuk melaksanakan tugas pokoknya sesuai dengan yang diamanatkan oleh negara,” tegas Aidi saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos via telepon selulernya, kemarin.

Di  Kabupaten Nduga lanjut Aidi, secara nyata ada separatis yang mengangkat senjata secara ilegal dan bahkan mempersenjatai diri secara tidak sah. Bahkan menurutnya melakukan pemberontakan terhadap kedaulatan negara dengan cara  melakukan tindakan kekerasan dan melakukan pembantaian terhadap warga yang tidak bersalah.

“Kalau ada pihak siapapun  yang melarang atau menghendaki penghentian tindakan penegakan hukum di Kabupaten Nduga, berarti dia menentang kebijakan negara. Semua orang sudah tahu bahwa telah terjadi pelanggaran kemanusiaan di Kabupaten Nduga pada awal Desember 2018 secara besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok orang,” tegasnya.

Dikatakan, apabila negara tidak melakukan penindakan, maka ada pembiaran dan ini yang disebut pelanggaran  HAM terbesar. Sehingga seharusnya seorang bupati yang kapasitasnya sebagai kepala daerah mengerti tentang hukum.

“Dia (Bupati, red)  adalah perpanjangan tangan negara dan pemerintah pusat di daerah. Harusnya yang dilakukan Bupati menganjurkan para pelaku pelangaran HAM untuk segera menyerahkan diri guna mempertangung jawabkan perbuatanya serta menyerahkan senjatanya,” pungkasnya. (jo/fia/nat)

Yairus Gwijangge. (KIRI) ( FOTO : Denny/Cepos )

WAMENA-Saat pemerintah pusat berusaha keras untuk menyelesaikan pembangunan jalan dan jembatan trans Papua, Pemkab Nduga justru akan menawarkan ke pemerintah pusat agar program tersebut dibatalkan.

Bupati Nduga, Yairus Gwijangge mengaku akan menemui Presiden Jokowi untuk menawarkan pemerintah pusat menghentikan pembangunan jalan dan jembatan di Kabupaten Nduga. 

Menurut Bupati Yairus Gwijangge, penghentian pembangunan jalan dan jembatan tersebut merupakan salah satu cara untuk agar pasukan TNI-Polri yang ada di Kabupaten nduga tidak terus bertambah dan bahkan bisa ditarik.

“Kalau program jalan dan jembatan itu masih ada maka tidak lagi mereka mengejar program pembangunan itu harus selesai sehingga tidak ada lagi pengadaan pasukan yang terus bertambah di Nduga,” ungkapnya kepada wartawan di halaman Gereja Kingmi Weneroma, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Senin (18/3).

Dikatakan, dirinya sudah melakukan pertemuan dengan Pangdam XVII/Cenderawasih dan Kapolda Papua untuk meminta penarikan pasukan dari Kabupaten Nduga. Sebab pihaknya akan melakukan upaya-upaya preventif untuk mengendalikan TPN/OPM. Namun menurutnya tidak ada hasil dan bahkan distrik yang tidak terjadi konflik juga terus dimasukkan aparat keamanan. 

“Mereka menyatakan harus ada perintah presiden baru bisa pasukan itu ditarik. Oleh sebab itu, saya berpikir untuk bertemu presiden dan meminta membatalkan program pembangunan jalan dan jembatan ke arah Nduga,” tuturnya. 

Untuk menarik pasukan dari Kabupaten Nduga menurut Bupati  Yairus Gwijangge, jalan terakhir yang akan ditempuh Pemkab Nduga yakni membatalkan semua program pembangunan dari pemerintah pusat atau program dari Presiden, supaya tidak ada operasi-operasi militer di daerahnya. 

Baca Juga :  Aktor Intelektual Perusuh Harus Diungkap!

Bupati Yairus Gwijangge menyatakan jika, operasi ini tidak hanya terjadi di distrik yang konflik tetapi semua distrik di Nduga sudah dimasuki aparat sehingga ini yang sulit untuk dikendalikan. Oleh sebab itu, dirinya menawarkan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan program pembangunan yang dikerjakan di Nduga untuk menghentikan operasi militer di sana.

“Saya tawarkan itu agar bisa menghentikan operasi militer di sana. Saya berencana menyampaikan masalah ini langsung ke Presiden,” tegasnya.

Ditambahkan, dengan adanya konflik beberapa waktu yang lalu dan masuknya aparat TNI, maka 26  distrik di Kabupaten Nduga ditinggal masyarakatnya mengungsi ke hutan dan ke daerah terdekat. 

Bahkan menurut Bupati Yairus Gwijangge ada distrik yang dikosongkan sama sekali sehingga pemerintah kesulitan untuk memanggil mereka kembali.

“Mungkin dengan menolak program pembangunan pemerintah pusat maka operasi militer ini bisa berakhir dan aparat ditarik sehingga masyarakat bisa kembali ke kampung halamannya,” tambahnya. 

Sementara itu, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi menyebutkan sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dimana operasi  militer bagi TNI ada dua  yakni  operasi militer untuk perang dalam mengahdapi musuh dan operasi militer selain perang.

Dalam operasi sendiri menurut Aidi terdiri dari 14 poin, dimana  operasi militer selain peran di antaranya  terkait dengan kasus Nduga  yakni penindakan terhadap separatis juga dilakukan operasi perbantuan terhadap Polri, operasi penanggulangan terhadap pemberontakan bersenjata dan operasi perbantuan pemerintah di daerah.

Baca Juga :  21 Oknum Anggota TNI Diperiksa

“Empat poin ini yang dilaksanakan TNI di Kabupaten Nduga, dan itu sesuai dengan undang-undang. Untuk itu, apabila bupati meminta  pasukan ditarik dari Nduga, itu artinya Bupati menghalangi TNI untuk melaksanakan tugas pokoknya sesuai dengan yang diamanatkan oleh negara,” tegas Aidi saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos via telepon selulernya, kemarin.

Di  Kabupaten Nduga lanjut Aidi, secara nyata ada separatis yang mengangkat senjata secara ilegal dan bahkan mempersenjatai diri secara tidak sah. Bahkan menurutnya melakukan pemberontakan terhadap kedaulatan negara dengan cara  melakukan tindakan kekerasan dan melakukan pembantaian terhadap warga yang tidak bersalah.

“Kalau ada pihak siapapun  yang melarang atau menghendaki penghentian tindakan penegakan hukum di Kabupaten Nduga, berarti dia menentang kebijakan negara. Semua orang sudah tahu bahwa telah terjadi pelanggaran kemanusiaan di Kabupaten Nduga pada awal Desember 2018 secara besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok orang,” tegasnya.

Dikatakan, apabila negara tidak melakukan penindakan, maka ada pembiaran dan ini yang disebut pelanggaran  HAM terbesar. Sehingga seharusnya seorang bupati yang kapasitasnya sebagai kepala daerah mengerti tentang hukum.

“Dia (Bupati, red)  adalah perpanjangan tangan negara dan pemerintah pusat di daerah. Harusnya yang dilakukan Bupati menganjurkan para pelaku pelangaran HAM untuk segera menyerahkan diri guna mempertangung jawabkan perbuatanya serta menyerahkan senjatanya,” pungkasnya. (jo/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya