Thursday, December 26, 2024
24.7 C
Jayapura

13 Kali ke Papua, BEM Minta Presiden Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua

JAYAPURA- Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universutas Cenderawasih (Uncen) Jayapura menilai bahwa kehadiran Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo selama kurang lebih 13 kali mengunjungi Papua, belum juga memberikan pemenuhan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kedamaian di tanah Papua.

“13 kali Jokowi ke Papua tidak ada kedamaian pemenuhan HAM dan kedamaian di tanah Papua,” ungkap ketua BEM Uncen Jayapura, Yops Itlay kepada Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Senin (15/11).

Tak hanya itu, Yops meminta Presiden Jokowi untuk serius mengatasi dan serta menghentikan berbagai konflik yang selama ini terjadi di tanah Papua. Apalagi konflik yang mengorbankan warga sipil di beberapa daerah di Papua.

“Hentikan konflik di Nduga, Intan Jaya, Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang dan Maybrat Papua Barat. Serta berikan jaminan keamanan bagi masyarakat setempat,” ucapnya.

Mantan Ketua BEM Hukum Uncen ini mendesak agar Presiden segera meyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang mengorbankan warga sipil di tanah Papua.

Pihaknya juga meminta pemerintah dalam hal ini Presiden untuk menghentikan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur dan harus dibangun di Papua.

Tak hanya itu, Yops menyampaikan, jangan menjadikan suksesnya PON XX dan Peparnas XVI di tanah Papua sebagai bahan kampanye internasional bahwa Papua damai. “Segera harus melakukan dialog dengan mereka yang bersebarangan,” pungkasnya.

Secara terpisah, Direktur Perkumpulan Advokat Hukum dan Ham (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer, SH., M.Si mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyurat kepada Kodam XVII/Cenderawasih untuk mempertanyakan kasus-kasus penembakan warga sipil. Seperti penembakan Pdt. Sanambani pada tanggal 19 September 2020, hilangnya 2 orang yang mayatnya dibakar dan dibuang ke kali pada tanggal 21 April 2020 di Intan Jaya serta pembakaran rumah dinas kesehatan di Hitadipa 19 September 2020. 

Baca Juga :  Jenasah Tukang Ojek Diterbangkan ke Makassar

Data ini PAHAM dapat, namun sebelum Tim Gabungan Pencari Fakata (TGPF) Intan Jaya  dibentuk oleh Menkopolhukam melakukan investigasi di Intan Jaya. 

Dari Komnas HAM juga menurutnya ada investigasi dan kemudian hasilnya mereka yang umumkan oleh Daspuspom TNI pada tanggal 3 Desember 2020. Mereka umumkan dalam kasus pembakaran rumah dinas kesehatan oleh 8 oknum anggota TNI ditetapkan sebagai tersangka. Penghilangan 2 orang yang dibunuh dan debunya dibuang itu ada 9 oknum anggota TNI yang ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam jumpa pers sendiri belum jelas mengenai penembakan Pdt. Sanambani, tetapi kemudian setelah PAHAM cek secara langsung di Puspom TNI mereka katakan bahwa prosesnya sudah sampai di Oditur Militer.  Dengan demikian, penembakan terhadap Pdt. Sanambani juga oknum TNI yang terlibat. Hal ini merupakan data resmi dari TGPF dan diumumkan secara langsung oleh Daspupom TNI tanggal 3 Desember 2020.

“Saya jelaskan bahwa kondisi terkini bahwa penembakan terhadap dua orang anak dan satunya meninggal serta penembakan satu orang ibu di Intan Jaya sebenarnya menambah daftar panjang kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang sangat memprihatinkan. Karena kita mempunyai regulasi yang cukup, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Pengadilan HAM, UU Otsus yang memberi mandat kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melindungi HAM warganya,” jelasnya saat dikonfirmasi kepada Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Senin (15/11).

“Mandat untuk penegakan HAM diawali lewat Komnas HAM melalui penyelidikan, jaksa nanti penuntutan, penyelidikan sampai ke pengadilan. Saya lihat dalam kasus-kasus yang terjadi terkini pemerintah dan Komnas sebenarnya turut andil besar buruknya penegakan hukum di Papua,” sambungnya.

Baca Juga :  TPU Buper Dipalang, ini Tuntutan Suku Kaigere

Oleh karena itu, Gustaf meminta kepada pemerintah dan Komnas HAM bisa lebih mengambil bagian dan serius dalam menangani berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat ini di Papua, sehingga kedepan tidak terjadi lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang yang menimbulkan korban jiwa bagi warga sipil di Papua.

“Kasus yang terjadi saat ini sebenrnya pelulangan saja dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya. Saya sendiri bilang dari data ELSHAM sebelum integrasi, integrasi sampai reformasi ada 749 kasus yang terjadi di pesisir seperti Manokwari, Biak sampai ke daerah Meepago. Ini belum termasuk korbannya. Sedangkan kasus di daerah Lapago dalam durasi 1977-1978 kasusnya ada sekitar 4.146 korban masyarakat sipil di daerah pegunungan. Ini merupakan data dalam jangka waktu satu tahun,” ucapnya.

Berdasarkan hal ini, maka Gustaf yang sehari-hari bekerja sebagai advokat di Papua meminta kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman serta menciptakan daerahnya tetap damai.

Selain itu, Komnas HAM harus  serius dalam menangani masalah-masalah HAM yang ada di Papua, sehingga kedepan kasus-kasus HAM yang ada di Papua, terutama yang mengorbankan warga sipil agar segera dapat diproses hukum dan bisa diselesaikan, sehingga para pelaku dapat diproses hukum.

“Kami harapkan agar proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus HAM dapat diproses hukum dan perlindungan terhadap warga sipil dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah, sehingga kedepan tidak terjadi lagi masalah-masalah HAM di Papua,” tutupnya. (bet/nat)

JAYAPURA- Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universutas Cenderawasih (Uncen) Jayapura menilai bahwa kehadiran Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo selama kurang lebih 13 kali mengunjungi Papua, belum juga memberikan pemenuhan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kedamaian di tanah Papua.

“13 kali Jokowi ke Papua tidak ada kedamaian pemenuhan HAM dan kedamaian di tanah Papua,” ungkap ketua BEM Uncen Jayapura, Yops Itlay kepada Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Senin (15/11).

Tak hanya itu, Yops meminta Presiden Jokowi untuk serius mengatasi dan serta menghentikan berbagai konflik yang selama ini terjadi di tanah Papua. Apalagi konflik yang mengorbankan warga sipil di beberapa daerah di Papua.

“Hentikan konflik di Nduga, Intan Jaya, Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang dan Maybrat Papua Barat. Serta berikan jaminan keamanan bagi masyarakat setempat,” ucapnya.

Mantan Ketua BEM Hukum Uncen ini mendesak agar Presiden segera meyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang mengorbankan warga sipil di tanah Papua.

Pihaknya juga meminta pemerintah dalam hal ini Presiden untuk menghentikan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur dan harus dibangun di Papua.

Tak hanya itu, Yops menyampaikan, jangan menjadikan suksesnya PON XX dan Peparnas XVI di tanah Papua sebagai bahan kampanye internasional bahwa Papua damai. “Segera harus melakukan dialog dengan mereka yang bersebarangan,” pungkasnya.

Secara terpisah, Direktur Perkumpulan Advokat Hukum dan Ham (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer, SH., M.Si mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyurat kepada Kodam XVII/Cenderawasih untuk mempertanyakan kasus-kasus penembakan warga sipil. Seperti penembakan Pdt. Sanambani pada tanggal 19 September 2020, hilangnya 2 orang yang mayatnya dibakar dan dibuang ke kali pada tanggal 21 April 2020 di Intan Jaya serta pembakaran rumah dinas kesehatan di Hitadipa 19 September 2020. 

Baca Juga :  Komnas HAM Akan Surati Panglima TNI

Data ini PAHAM dapat, namun sebelum Tim Gabungan Pencari Fakata (TGPF) Intan Jaya  dibentuk oleh Menkopolhukam melakukan investigasi di Intan Jaya. 

Dari Komnas HAM juga menurutnya ada investigasi dan kemudian hasilnya mereka yang umumkan oleh Daspuspom TNI pada tanggal 3 Desember 2020. Mereka umumkan dalam kasus pembakaran rumah dinas kesehatan oleh 8 oknum anggota TNI ditetapkan sebagai tersangka. Penghilangan 2 orang yang dibunuh dan debunya dibuang itu ada 9 oknum anggota TNI yang ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam jumpa pers sendiri belum jelas mengenai penembakan Pdt. Sanambani, tetapi kemudian setelah PAHAM cek secara langsung di Puspom TNI mereka katakan bahwa prosesnya sudah sampai di Oditur Militer.  Dengan demikian, penembakan terhadap Pdt. Sanambani juga oknum TNI yang terlibat. Hal ini merupakan data resmi dari TGPF dan diumumkan secara langsung oleh Daspupom TNI tanggal 3 Desember 2020.

“Saya jelaskan bahwa kondisi terkini bahwa penembakan terhadap dua orang anak dan satunya meninggal serta penembakan satu orang ibu di Intan Jaya sebenarnya menambah daftar panjang kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang sangat memprihatinkan. Karena kita mempunyai regulasi yang cukup, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Pengadilan HAM, UU Otsus yang memberi mandat kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melindungi HAM warganya,” jelasnya saat dikonfirmasi kepada Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Senin (15/11).

“Mandat untuk penegakan HAM diawali lewat Komnas HAM melalui penyelidikan, jaksa nanti penuntutan, penyelidikan sampai ke pengadilan. Saya lihat dalam kasus-kasus yang terjadi terkini pemerintah dan Komnas sebenarnya turut andil besar buruknya penegakan hukum di Papua,” sambungnya.

Baca Juga :  Tak Miliki Jalur Evakuasi Tsunami

Oleh karena itu, Gustaf meminta kepada pemerintah dan Komnas HAM bisa lebih mengambil bagian dan serius dalam menangani berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat ini di Papua, sehingga kedepan tidak terjadi lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang yang menimbulkan korban jiwa bagi warga sipil di Papua.

“Kasus yang terjadi saat ini sebenrnya pelulangan saja dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya. Saya sendiri bilang dari data ELSHAM sebelum integrasi, integrasi sampai reformasi ada 749 kasus yang terjadi di pesisir seperti Manokwari, Biak sampai ke daerah Meepago. Ini belum termasuk korbannya. Sedangkan kasus di daerah Lapago dalam durasi 1977-1978 kasusnya ada sekitar 4.146 korban masyarakat sipil di daerah pegunungan. Ini merupakan data dalam jangka waktu satu tahun,” ucapnya.

Berdasarkan hal ini, maka Gustaf yang sehari-hari bekerja sebagai advokat di Papua meminta kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman serta menciptakan daerahnya tetap damai.

Selain itu, Komnas HAM harus  serius dalam menangani masalah-masalah HAM yang ada di Papua, sehingga kedepan kasus-kasus HAM yang ada di Papua, terutama yang mengorbankan warga sipil agar segera dapat diproses hukum dan bisa diselesaikan, sehingga para pelaku dapat diproses hukum.

“Kami harapkan agar proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus HAM dapat diproses hukum dan perlindungan terhadap warga sipil dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah, sehingga kedepan tidak terjadi lagi masalah-masalah HAM di Papua,” tutupnya. (bet/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya