Saturday, April 20, 2024
24.7 C
Jayapura

Menunggu Kasus Wasior Disidangkan

DISKUSI: Suasana diskusi Komnas HAM Perwakilan Papua bersama aktivis hukum di Kantor Komnas HAM, Kamis (14/2).(FOTO : Elfira/Cepos)

JAYAPURA-Menindaklanjuti deklarasi  Wasior tanggal 10 Desember oleh keluarga korban dan korban kasus pelanggaran HAM Wasior tahun 2001 silam, Komnas HAM adakan diskusi bersama aktivis hukum di Kantor Komnas HAM, Kamis (14/2).

Dalam diskusi tersebut, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengingatkan lima hal yang pernah disampaikan keluarga korban kepada Komnas HAM yakni kasus Wasior segera diselesaikan dan korban meminta adanya keadilan, adanya pertanggungjawaban mengembalikan  harta benda yang telah dirusak, pemerintah daerah Provinsi Papua Barat mengeluarkan regulasi yang berpihak kepada korban, korban ingin hidup sebagai manusia yang memiliki martabat dan berkas kasus Wasior yang dikembalikan jaksa agung segera  dilengkapi.

Dikatakan, diskusi yang dilakukan hampir 4 jam itu untuk mencari masukan semua pihak sebelum Komnas HAM melakukan langkah-langkah yang bisa dilakukan  berdasarkan kewenangan yang ada di Komnas HAM itu sendiri.

“Diskusi ini setelah adanya pengembalian berkas kasus Wasior dan Wamena pada 27 November 2018,  namun pada 23 Desember Komnas HAM sudah melengkapi dan menjawab surat tersebut dengan catatan- catatan yang diminta,”  ucap Frits.

Baca Juga :  Bank Papua Raih Penghargaan Top BUMD Awards 2021

Selama belasan tahun, demi mencari keadilan, korban kasus Wasior pada Januari 2019 membentuk satu wadah pelanggaran HAM. Para korban mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak keadilan hukum  agar tidak terdiskriminasi dituduh dengan  stampel  status lainnya.

“Dengan mengorganisir diri, para korban kasus Wasior bisa mengadvokasi diri mereka sendiri,” ucap Frits.

Di mata Komnas HAM, dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Wasior, Wamena dan Paniai, Presiden Jokowi punya komitmen politik. Bahkan di depan umum  mengumumkan secepatnya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan memberi intruksi kepada Jaksa Agung, Menkumham, Komnas HAM untuk  secara bersama-sama dengan kewenangannya masing-masing segera  menyelesaikan kasus tersebut.

Namun yang menjadi persoalan hingga saat ini, lembaga tersebut tidak bersinergi untuk menyelesaikan kasus  tersebut sehingga menjadi problem.

“Kalau Jaksa Agung menyebutkan kasus pelanggaran HAM Wasior, Wamena dan Paniai bukan kasus pelanggaran HAM berat dan cenderung membuat kasus ini tidak berjalan. Saya pikir perlu dipertimbangkan oleh  presiden untuk proses penegakan hukum dan HAM di masa depan perlu  dievaluasi,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Yali Papua, Denny Yomaki menyebutkan para korban kasus Wasior berdarah yang terjadi pada 2001 silam menjadi pertanyaan besar keluarga korban terkait dengan keadilan.

Baca Juga :  Demo PRP di Kampus Uncen Waena Dibubarkan Paksa Aparat 

“Ini bukan kasus baru namun sudah belasan tahun sejak tahun 2001. Namun proses penanganannya terkatung-katung seakan diam di tempat,” ucap Denny Yomaki kepada Cenderawasih Pos.

Beberapa kali pergantian Presiden, namun kasus Wasior kata Denny duduk di tempat. Ia menganggap pemerintah tidak serius dalam menangangani kasus Wasior berdarah. Padahal kasus tersebut tidak boleh dianggap remeh oleh negara.

“Kasus Wasior adalah kejahatan negara terhadap kemanusiaan. Ini kasus  tidak hanya terjadi di Wasior namun korbannya juga terjadi di Nabire, Serui dan Manokwari,” ungkapnya.

Kendati pemerintah telah menjadikan Teluk Wondama sebagai sebuah kabupaten, namun hingga saat ini korban hidup dengan rasa trauma. Apalagi yang melakukan kejahatan adalah negara, untuk itu negara harus bertanggung jawab terhadap persoalan ini tanpa membiarkan rakyat berjuang sendiri untuk mencari rasa keadilan.

“Kalau kasus ini tidak bisa diselesaikan ditingkat lokal, bisa saja kasus ini dibawa  ke mekanisme yang lebih tinggi. Kasus ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, korban dan keluarga korban kerap bertanya kapan kasus mereka diadili disebuah pengadilan HAM,” pungkasnya. (fia/nat)

DISKUSI: Suasana diskusi Komnas HAM Perwakilan Papua bersama aktivis hukum di Kantor Komnas HAM, Kamis (14/2).(FOTO : Elfira/Cepos)

JAYAPURA-Menindaklanjuti deklarasi  Wasior tanggal 10 Desember oleh keluarga korban dan korban kasus pelanggaran HAM Wasior tahun 2001 silam, Komnas HAM adakan diskusi bersama aktivis hukum di Kantor Komnas HAM, Kamis (14/2).

Dalam diskusi tersebut, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengingatkan lima hal yang pernah disampaikan keluarga korban kepada Komnas HAM yakni kasus Wasior segera diselesaikan dan korban meminta adanya keadilan, adanya pertanggungjawaban mengembalikan  harta benda yang telah dirusak, pemerintah daerah Provinsi Papua Barat mengeluarkan regulasi yang berpihak kepada korban, korban ingin hidup sebagai manusia yang memiliki martabat dan berkas kasus Wasior yang dikembalikan jaksa agung segera  dilengkapi.

Dikatakan, diskusi yang dilakukan hampir 4 jam itu untuk mencari masukan semua pihak sebelum Komnas HAM melakukan langkah-langkah yang bisa dilakukan  berdasarkan kewenangan yang ada di Komnas HAM itu sendiri.

“Diskusi ini setelah adanya pengembalian berkas kasus Wasior dan Wamena pada 27 November 2018,  namun pada 23 Desember Komnas HAM sudah melengkapi dan menjawab surat tersebut dengan catatan- catatan yang diminta,”  ucap Frits.

Baca Juga :  Sopir Mengantuk, Avanza Tabrak Beton

Selama belasan tahun, demi mencari keadilan, korban kasus Wasior pada Januari 2019 membentuk satu wadah pelanggaran HAM. Para korban mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak keadilan hukum  agar tidak terdiskriminasi dituduh dengan  stampel  status lainnya.

“Dengan mengorganisir diri, para korban kasus Wasior bisa mengadvokasi diri mereka sendiri,” ucap Frits.

Di mata Komnas HAM, dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Wasior, Wamena dan Paniai, Presiden Jokowi punya komitmen politik. Bahkan di depan umum  mengumumkan secepatnya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan memberi intruksi kepada Jaksa Agung, Menkumham, Komnas HAM untuk  secara bersama-sama dengan kewenangannya masing-masing segera  menyelesaikan kasus tersebut.

Namun yang menjadi persoalan hingga saat ini, lembaga tersebut tidak bersinergi untuk menyelesaikan kasus  tersebut sehingga menjadi problem.

“Kalau Jaksa Agung menyebutkan kasus pelanggaran HAM Wasior, Wamena dan Paniai bukan kasus pelanggaran HAM berat dan cenderung membuat kasus ini tidak berjalan. Saya pikir perlu dipertimbangkan oleh  presiden untuk proses penegakan hukum dan HAM di masa depan perlu  dievaluasi,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Yali Papua, Denny Yomaki menyebutkan para korban kasus Wasior berdarah yang terjadi pada 2001 silam menjadi pertanyaan besar keluarga korban terkait dengan keadilan.

Baca Juga :  Tempat Wisata Bukit Teletubbies Ditutup Sementara

“Ini bukan kasus baru namun sudah belasan tahun sejak tahun 2001. Namun proses penanganannya terkatung-katung seakan diam di tempat,” ucap Denny Yomaki kepada Cenderawasih Pos.

Beberapa kali pergantian Presiden, namun kasus Wasior kata Denny duduk di tempat. Ia menganggap pemerintah tidak serius dalam menangangani kasus Wasior berdarah. Padahal kasus tersebut tidak boleh dianggap remeh oleh negara.

“Kasus Wasior adalah kejahatan negara terhadap kemanusiaan. Ini kasus  tidak hanya terjadi di Wasior namun korbannya juga terjadi di Nabire, Serui dan Manokwari,” ungkapnya.

Kendati pemerintah telah menjadikan Teluk Wondama sebagai sebuah kabupaten, namun hingga saat ini korban hidup dengan rasa trauma. Apalagi yang melakukan kejahatan adalah negara, untuk itu negara harus bertanggung jawab terhadap persoalan ini tanpa membiarkan rakyat berjuang sendiri untuk mencari rasa keadilan.

“Kalau kasus ini tidak bisa diselesaikan ditingkat lokal, bisa saja kasus ini dibawa  ke mekanisme yang lebih tinggi. Kasus ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, korban dan keluarga korban kerap bertanya kapan kasus mereka diadili disebuah pengadilan HAM,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya