MERAUKE – Adanya penolakan masyarakat adat Aywu di Kabupaten Boven Digoel terhadap kehadiran PT Indo Asiana Lestari, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit mendapat tanggapan Ketua Majelis Rakyat Papua Damianus Katayu. Menurut Damianus Katayu protes yang dilakukan masyarakat adat Aywu terhadap kehadiran perusahaan tersebut terkait dengan hak-hak masyarakat yang ada di sana.
‘’Yang pertama harus kita pikir bahwa investasi itu harus pro rakyat. Artinya investor punya uang, tapi kami pemilik yang punya tanah. Supaya kami tidak kehilangan bagaimana investasi itu harus pro rakyat. Artinya, kami juga harus menjadi pemilik modal dalam investasi tersebut. Itu yang harus dipikirkan,’’ katanya.
Yang harus diingatkan, kata Damianus Katayu, mengapa di Kalimantan orang bisa kaya dari sawit. Tapi di Papua, sawit justru menjadi sumber masalah.
‘’Berarti disini ada penanganan yang salah. Penanganan yang slaah itu seperti apa. Misalnya, 20 persen plasma itu harus diberikan kepada pemilik tanah. Ini yang sampai sekarang kiita belum lihat langkah-langkah nyata dari investor khusus di perkebunan kelapa sawit ini. Ini yang harus diperhatikan,’’ katanya.
Dikatakan, kalau hari ini masyarakat melakukan protes, berarti ada sesuatu yang salah dan tidak benar. Maka sesuatu yang salah dan tidak benar tersebut harus didudukan secara bersama. ‘’Hari ini mereka melakukan langkah-langkah hukum,’’ katanya.
Damianus Katayu mengaku bahwa sampai hari ini belum ada pengaduan dari masyarakat adat Aywu kepada Majelis Rakyat Papua Selatan dan pihaknya baru mengikuti di media terkait dengan langkah-langkah hukum dan penolakan yang dilakukan masyarakat adat Aywu atas hutan dan tanahnya yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit tersebut.
‘’Kami berharap ketika MRP mendapatkan pengaduan secara resmi maka kami akan mengundang para pihak,’’ katanya. Artinya, kata dia, dalam persoalan menghindari terjadi konflik. Kedua belah pihak antara masyarakat adat dan perusahaan didudukan, kira-kira permasalahannya apa. Soal nilai adalah urusan kedua. Tapi yang terpenting adalah adanya komitmen kedua belah pihak dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Damianus menambahkan bahwa jika keberatan dan penolakan datang dari masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat berarti masyarakat adat tidak dilibatkan dalam proses investasi tersebut.
‘’Kalaupun ada, biasanya peroknum saja. Tapi secara kelembagaan, masyarakat adat tidak dilibatkan. Ini menjadi penting agar penguatan kelembagaan adat ini penting. Karena kelembagaan adat hadir bukan untuk menghambat. Tapi bagian untuk memperkuat identitas masyarakat, supaya ada hal-hal untuk berbicara kepentingan masyarakat. Kalau hari ini kita katakan investasi untuk kepentingan masyarakat mengapa tidak. Tapi kalau itu merugikan masyarakat bagaimana kita memberikan dukungan,’’ tandasnya.
MRP Papua Selatan, sambung dia akan mengawal kasus tersebut ketika sudah mendapatkan pengaduan dari masyarakat dengan memanggil para pihak untuk duduk bersama. ‘’Soal proses hukum itu rananya berbeda. Tapi, kami menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku khususnya UU Otsus,’’ jelasnya.
Lalu, kapan kedua pihak dipertemukan? Damianus Katayu mengaku masih menunggu pengaduan dari masyarakat. ‘’Kalau hari ini ada pengaduan maka kita tentu segera turun ke lapangan terlebih dahulu, kemudian kita mengundang kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut berdasarkan perundang-undangan yang berlaku khususnya UU Otonomi Khusus Papua,’’ tambahnya. (ulo/wen)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos