Beda Putusan Harvey Moeis dan Lukas Enembe,
JAYAPURA – Putusan vonis 6,5 tahun ke terdakwa Harvey Moeis pada kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun menjadi perbincangan hangat warga Indonesia. Putusan ini seperti menyayat rasa keadilan bagi masyarakat kecil yang melakukan pencurian, penganiayaan karena terdesak namun mendapat pidana 5 hingga 10 tahun.
Sementara untuk perbuatan yang merugikan negara dan disebut-sebut sebagai ekstraordinary crime ternyata hanya ditoki 6,5 tahun. Ini jelas-jelas membunuh nilai keadilan di negeri ini. Contoh konkrit yang masih hangat adalah kasus mantan Gubernur Papua, almarhum Lukas Enembe yang divonis 8 tahun penjara atas kasus gratifikasi Rp 1 miliar.
Direktur Papua Anticorruption Investigation dan Ketua Peradi Suara Advokat Indonesia Kota Jayapura, Anthon Raharusun menilai kasus suami dari Sandra Dewi itu berbanding jauh dengan almarhum Lukas Enembe. “Ini menunjukan hakim tidak memberikan keadilan bagi kasus-kasus tertentu,” kata Anthon kepada Cenderawasih Pos, Minggu (5/10).
Anthon menilai adanya putusan pengadilan yang diskriminatif. Dimana kasus tertentu yang nilainya kecil namun hukumannya besar, sebaliknya kasus dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun justru hukumannya kecil. “Saya yakin dalam penanganan kasus korupsi timah hakimnya dibayar, dan ini harus ditelusuri. Kenapa hukumann bisa serendah itu, padahal negara dirugikan ratusan triliun dibandingkan kasus gratifikasi Lukas Enembe namun dihukum 8 tahun penjara. Ini sangat tidak adil,” bebernya.
Anthon pun menyoroti rendahnya vonis hukuman yang diberikan kepada Harvey lantaran pertimbangan anak yang masih kecil. Menurutnya, itu pertimbangan yang tidak rasional. “Jika semua orang berpikir soal kemanusiaan, beginilah hukuman yang akan diterapkan di negeri ini. Semestinya tidak boleh tebang pilih, sebab kasus korupsi Harvey merugikan perekonomian negara, membuat masyarakat miskin, merusak lingkungan dan lainnya,” terangnya.
“Harusnya pengadilan atau hakim tidak boleh punya rasa kemanusiaan terhadap para koruptor,” sambungnya menegaskan. Dijelaskannya, hukuman bagi pelaku korupsi paling rendah adalah 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara atau hukuman seumur hidup. Untuk kasus Moeis ini menurut Anthon, idealnya hukuman seumur hidup.
Menurut Anthon, terjadi disparitas dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Artinya, ada perlakuan-perlakuan yang putusannya sangat diskriminatif. Bahkan, kehadiran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai belum mampu memberantas korupsi.
“Sejak kehadiran KPK hingga lembaga penegak hukum pada tingkat polisi, kejaksaan hingga pengadilan. Belum memberikan perhatian serius terhadap kasus-kasus korupsi, dan ini masih menjadi problem,” ucapnya. Dengan hal-hal seperti ini, tak salah jika Indonesia kemudian dikategorikan sebagai negara terkorup di dunia karena indeks presepsi korupsinya 3,85.
Hal ini disebabkan institusi penegak hukum belum memberikan perhatian serius dalam memberantas korupsi. Bahkan para hakim bisa dibeli. “Putusan itu bisa dibeli, baik dibeli pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun kasasi. Dan ini bukan rahasia umum lagi jika hakim bisa dibeli. Jika sudah seperti ini, maka lembaga-lembaga seperti KPK dibubarkan saja,” tandasnya. (fia/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos