Sunday, November 24, 2024
24.7 C
Jayapura

Kerajaan dan Kesultanan Beda Dengan Masyarakat Adat

SENTANI –  Adanya upaya para raja dan sultan yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) mendorong pemerintah dan DPR RI untuk secepatnya menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat menjadi Undang-Undang mendapat tanggapan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN . Melalui Ketua Dewan AMAN Nasional, Abdon Nababan menjelaskan bahwa antara masyarakat adat dan kerajaan/kesultanan merupakan hal yang berbeda.

“Kerajaan/kesultanan adalah realitas sejarah, tidak bisa disamakan dengan masyarakat adat,” Kata Abdon menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela sarasehan hari kedua yang berlangsung di Pendopo Sereh, Rabu (25/10).

Sarasehan hari kedua di Pendopo Kampung Sereh dengan tema Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan/ Kesultanan Indonesia, mendapat masukan dari berbagai peserta.

Menurut Abdon, isu yang diangkat dalam RUU yang diajukan Majelis Adat Kerajaan adalah budaya adat kerajaan dan kesultanan. Antara masyarakat adat dan kesultanan/kerajaan dua hal yang berbeda,  yang bisa mengaburkan batas antara masyarakat adat dengan kerajaan atau kesultanan.

Baca Juga :  Rakor Forkopimda Hasilkan 5 Keputusan Bersama

“Kongres ini memberikan  penegasan posisi dan status yang berbeda antara  masyarakat adat dan kesultanan. Dalam konstitusi kita memang sudah berbeda tetapi kita melihat ada suatu upaya yang bisa mengaburkan batas antara masyarakat adat dan kerajaan/ kesultanan.

Lebih lanjut Abdon menjelaskan, kerajaan/kesultanan merupakan negara yang ada sebelum NKRI terbentuk, tetapi jika mereka diterima lagi sebagai pemerintah artinya harus ada reorganisasi pemerintahan seluruh wilayah republik indonesia dan itu bisa berakibat pada pengambilalihan hak-hak masyarakat adat yang dulu dibawa kerajaan dan kesultanan.

” Masyarakat adat bisa berhadapan dengan dua negara sekaligus. Dengan satu negara Republik Indonesia saja masih banyak persoalan yang menimbulkan konflik apalagi ditambah kehadiran kerajaan dan kesultanan. Karena itu AMAN menegaskan masyarakat adat itu berbeda dengan entitas kerajaan dan kesultanan,” ujar Abdon.

Baca Juga :  Maksimalkan Pelayanan, Pemkab Hadirkan 2 Puskesmas di Distrik Sentani

Lebih lanjut Abdon menegaskan, pihaknya akan terus mendorong  RUU masyarakat adat  yang tidak boleh disamakan dengan kerajaan dan kesultanan. Apalagi posisi konstitusionalnya berbeda.

Sementara itu Alfrida Ngato, masyarakat adat Pugu mengatakan, kerajaan/kesultanan yang masih eksis di Ternate-Tidore, untuk itu negara harus mempertegas perbedaan antara  kerajaan/kesultanan dan masyarakat adat

“Kalau pemerintah tidak mengetahui perbedaan dan  ciri-ciri cobalah belajar sama AMAN. Dari situ  ditarik sebuah garis merah yang mempertegas perbedaan antara kita dengan mereka,”ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Kepala Desa Bonelemo, Baso Gandangsura. Menurut Baso negara harus mengakui keberadaan masyarakat adat yang sudah ada sebelum negara ada.

“Saya berharap kita semua bekerja dan bukan sekedar membuat statement tapi kita bekerja untuk bersama-sama memenuhi hak-hak dasar yang ada di masyarakat adat.  rancangan undang-undang masyarakat adat  akan melindungi kita semua di seluruh Nusantara,” tegasnya. (roy/ary)

SENTANI –  Adanya upaya para raja dan sultan yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) mendorong pemerintah dan DPR RI untuk secepatnya menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat menjadi Undang-Undang mendapat tanggapan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN . Melalui Ketua Dewan AMAN Nasional, Abdon Nababan menjelaskan bahwa antara masyarakat adat dan kerajaan/kesultanan merupakan hal yang berbeda.

“Kerajaan/kesultanan adalah realitas sejarah, tidak bisa disamakan dengan masyarakat adat,” Kata Abdon menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela sarasehan hari kedua yang berlangsung di Pendopo Sereh, Rabu (25/10).

Sarasehan hari kedua di Pendopo Kampung Sereh dengan tema Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan/ Kesultanan Indonesia, mendapat masukan dari berbagai peserta.

Menurut Abdon, isu yang diangkat dalam RUU yang diajukan Majelis Adat Kerajaan adalah budaya adat kerajaan dan kesultanan. Antara masyarakat adat dan kesultanan/kerajaan dua hal yang berbeda,  yang bisa mengaburkan batas antara masyarakat adat dengan kerajaan atau kesultanan.

Baca Juga :  Pasien Positif Covid-19 Bertambah Lima Orang

“Kongres ini memberikan  penegasan posisi dan status yang berbeda antara  masyarakat adat dan kesultanan. Dalam konstitusi kita memang sudah berbeda tetapi kita melihat ada suatu upaya yang bisa mengaburkan batas antara masyarakat adat dan kerajaan/ kesultanan.

Lebih lanjut Abdon menjelaskan, kerajaan/kesultanan merupakan negara yang ada sebelum NKRI terbentuk, tetapi jika mereka diterima lagi sebagai pemerintah artinya harus ada reorganisasi pemerintahan seluruh wilayah republik indonesia dan itu bisa berakibat pada pengambilalihan hak-hak masyarakat adat yang dulu dibawa kerajaan dan kesultanan.

” Masyarakat adat bisa berhadapan dengan dua negara sekaligus. Dengan satu negara Republik Indonesia saja masih banyak persoalan yang menimbulkan konflik apalagi ditambah kehadiran kerajaan dan kesultanan. Karena itu AMAN menegaskan masyarakat adat itu berbeda dengan entitas kerajaan dan kesultanan,” ujar Abdon.

Baca Juga :  Dorong  22 Puskesmas Berubah Jadi BLUD 

Lebih lanjut Abdon menegaskan, pihaknya akan terus mendorong  RUU masyarakat adat  yang tidak boleh disamakan dengan kerajaan dan kesultanan. Apalagi posisi konstitusionalnya berbeda.

Sementara itu Alfrida Ngato, masyarakat adat Pugu mengatakan, kerajaan/kesultanan yang masih eksis di Ternate-Tidore, untuk itu negara harus mempertegas perbedaan antara  kerajaan/kesultanan dan masyarakat adat

“Kalau pemerintah tidak mengetahui perbedaan dan  ciri-ciri cobalah belajar sama AMAN. Dari situ  ditarik sebuah garis merah yang mempertegas perbedaan antara kita dengan mereka,”ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Kepala Desa Bonelemo, Baso Gandangsura. Menurut Baso negara harus mengakui keberadaan masyarakat adat yang sudah ada sebelum negara ada.

“Saya berharap kita semua bekerja dan bukan sekedar membuat statement tapi kita bekerja untuk bersama-sama memenuhi hak-hak dasar yang ada di masyarakat adat.  rancangan undang-undang masyarakat adat  akan melindungi kita semua di seluruh Nusantara,” tegasnya. (roy/ary)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya