Ngobrol Bareng Dosen Tari, Muhammad Ilham Murda Soal Konsep Pasar Seni Miliknya
Komunitas di Jayapura terus tumbuh dan berkembang. Berbagai genre atau aliran. Hanya saja saat ini terlihat banyak yang masih bingung untuk mendapatkan panggung ataupun pasar. Pasar Seni buah pikiran Muhammad Ilham Murda bisa jadi solusi.
Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura
Berbicara soal komunitas di Jayapura tak bisa dipungkiri jika dari waktu ke waktu ada saja kelompok baru yang muncul dan menunjukkan eksistensinya. Tak sedikit ragam aliran maupun bentuk hoby yang berbeda – beda. Ada yang sifatnya sosial yang lebih banyak berpikir bagaimana bisa membantu dan mendampingi serta mencarikan solusi. Ada juga yang memberi nilai edukasi lewat agenda-agenda literasi maupun religi termasuk yang berbau hobi, seperti otomotif dan seni. Namun ada juga yang sekedar ikut ramai sambil biar dibilang anak komunitas.
Hanya saja dari banyaknya komunitas ini, tak bisa dipungkiri jika ada yang sekedar ingin eksis, mencari cerita dan pengalaman, namun ada juga yang sudah mengembangkan konsep lebih jauh, berjejaring dan menjadikan semangat komunitas menjadi sesuatu yang menghasilkan atau bersinggungan dengan nilai ekonomi. Akan tetapi, meski semangat ini tumbuh, ternyata masih ada problem lain yang harus dicarikan solusi yakni bagaimana menciptakan wadah atau space untuk berekspresi dan bertukar cerita satu dengan yang lain.
Ini yang menjadi satu buah pikiran founder Indonesia Art Movement, Muhammad Ilham Murda terkait dengan gagasan bagaimana ada satu lokasi yang bisa digunakan oleh banyak komunitas untuk berkumpul dan menularkan kreatifitas yang dimiliki. Iapun berpikir untuk membentuk pasar seni.
Ia menuturkan bahwa banyak seniman di Jayapura yang menggarap 17 subsektor ekonomi kreatif yang juga tergabung dalam komunitas. Hanya ia melihat kebanyakan hanya bisa menciptakan atau menghasilkan produk tanpa tahu bagaimana menjual atau menyalurkan lewat muara untuk menghasilkan produk itu memiliki nilai ekonomi.
“Saya pikir memang harus ada ruang untuk teman – teman. Saya ambil contoh saja seperti saya dan teman – teman yang suka membuat film atau video temasuk musik yang selama ini hanya menaikkan di youtube sambil menunggu orang menonton. Lalu kadang menunggu festival baru bisa diputar atau ditunjukkan maupun diundang,” jelas Ilham Murda saat ditemui di pondok konservasi komunitas di Hamadi, pekan kemarin.
Ia berpendapat bahwa hal – hal yang memiliki nilai kreatifitas ini seharusnya memiliki ruang untuk disalurkan. Caranya bisa lewat sebuah space yang memang memberi ruang bagi komunitas maupun pekerja seni dalam hal berkreatifitas. Pria yang juga bekerja sebagai dosen tadi di ISBI Tanah Papua ini menyebut bahwa untuk pelaku seni dan kreatifitas perlu dibuatkan pasar seni. Ia sendiri tengah mendesign sebuah konsep pasar seni di Pondok Modiat, Pantai Hamadi yang bisa menjadi satu space bagi pelaku seni.
“Anak –anak kreatif mereka banyak disekitar saya, sayang jika akhirnya kemampuan mereka tersumbat atau akhirnya tak bermanfaat hanya karena tak ada tempat untuk menyalurkan,” katanya. Nah pasar seni yang sedang digarap ini disebut IAM Camp dimana ada pekerja seni yang perform, menciptakan karyanya seperti menggambar atau menulis nama di botol tumbler kemudian ada yang battle rap, ada yang bermain musik dan ada yang ngerap termasuk dance. “Ada kreatifitas seni yang tumbuh dan ada pasar yang bisa digunakan untuk menghasilkan nilai ekonomi,” jelasnya.
Hanya kata Ilham satu hal yang tak bisa dielakkan tentang pentingnya bersinergi atau berkolaborasi. Membangun jejaring seluas – luasnya untuk mengenal dan memperkenalkan. “Pondok Modiat ini sedang kami siapkan menjadi pasar seni dan kami ingin menumbuhkan kesan bahwa tempat ini adalah tempat bersama untuk belajar jadi kalau mau datang ke lokasi ini ada bahasa menuju mabes dan di mabes ini ada kamar – kamar produk,” jelasnya.
Ia melihat keberadaan pasar ini juga memperkuat kalangan komunitas untuk bersinergi. Ia mencontohkan dulunya di Mural lebih banyak berkarya secara individu tapi kini para personal ini lebih menghargai bentuk berkolaborasi.
“Wadah ini juga membangun jejaring. Tidak hanya saling sharing tapi juga berjejaring. Saya ambil contoh jika selama ini saya berkomunikasi dengan mas Garin Nugroho, mas Toni Trimarsanto dan Riri Riza yang kenyang di dunia perfileman saya coba berbagi ke yang lain untuk bisa berdiskusi dengan mereka, saya cuba membuka akses teman – teman ke pihak yang memang berkompeten. Lalu ada juga yang menukir nama di botol tumbler dimana sebelumnya dulu polos kini digambar dan memiliki nilai ekonomis,” imbuhnya.
Ia berpikir dari Pasar Seni yang memiliki luas 20 x 20 meter ini pengunjung atau kalangan komunitas tidak hanya belajar, saling bercerita tetapi bisa mendapat teman baru dan saling berkolaborasi. “Ada mindset yang harus dirubah dimana ada yang membuat produk bisa dipasarkan disini lalu berbicara ekonomi itu tidak harus bekerja di kantor tapi bisa lewat jejaring,” imbuhnya.
Ke depan harapannya setiap pekerja seni atau kalangan komunitas kreatif jika membuat hasil karya ia sudah paham dimana ia akan menjual atau memamerkan produknya. “Contoh teman – teman yang film juga tahu filmnya akan diputar dimana dan saya pikir peluang itu tidak hanya di sektor bisnis tapi juga managemen. Peluang kesenian juga besar tidak hanya di depan layar tapi juga di belakang layar dan dengan duduk bersama kita akan terus beride,” tutupnya. (*/tri)